5. Kali Kedua

1791 Words
"Kamu yakin Ra?" Untuk kesekian kalinya Moza kembali bertanya pada sahabatnya. Setelah drama bujukan demi bujukan diiringi tatapan memelas yang dilakukan oleh Nadira, akhirnya membuat Moza luluh. Mau tidak mau Moza mengikuti keinginan gadis itu. Dan kali ini, disinilah mereka. Tepat di depan gedung sebuah tempat hiburan malam. "Yakin. Ayo kita masuk!" ajak Nadira. Tanpa ragu Nadira mulai melangkahkan kakinya di tempat yang sama sekali belum pernah dia kunjungi seumur hidupnya. "Ra, tunggu!" Moza berlari lalu mencekal lengan temannya. "Jangan terburu-buru begitu. Kita harus berhati-hati di tempat seperti ini. Tetaplah di sampingku, jangan sampai kita terpisah," imbuhnya. "Ya," jawab Nadira singkat. Kedua gadis itu reflek menutupi telinganya manakala mereka telah masuk ke dalam ruangan berukuran luas tersebut. Dentuman musik yang bertalu seirama dengan sorot lampu yang semakin menyemarakkan suasana malam itu. Nadira mengedarkan pandangannya, dia melihat banyaknya pengunjung yang datang di sana. Gadis itu seketika membuang muka saat pandangannya tertuju pada pasangan yang tengah berciuman. "Gaya-gayaan kamu mengajakku pergi ke tempat seperti ini. Melihat orang ciuman saja reaksimu begitu," celetuk Moza. "Memang mereka nggak punya urat malu apa? Masa iya ciuman di tempat umum seperti ini." Nadira mencebik. Moza hanya bisa menggelengkan kepala melihat tingkah temannya. Cukup lama kedua gadis itu berdiri sambil terus mengawasi keadaan sekitar sampai akhirnya Moza melihat ada bangku kosong. Dia berjalan, setengah menyeret Nadira. Setidaknya mereka akan sedikit nyaman dengan duduk di sana. "Selamat malam, Nona," sapa seorang bartender yang sedang meracik minuman. "Malam." Moza sedikit berteriak, hentakkan musik yang cukup keras membuat suaranya hampir tenggelam. "Mau pesan apa?" "Apa?" Moza berusaha mendekatkan telinganya untuk mempertajam indra pendengarannya. "Mau pesan apa?" teriak pria berkemeja hitam itu. "Ooh ... Sebentar, Mas." Moza beralih menatap Nadira yang saat ini masih duduk sambil celingukan. "Ra, mau pesan minuman apa?" gadis itu mencolek bahu Nadira. "Kau bilang apa?" "Kamu mau pesan minuman apa?" Bartender yang sejak tadi lincah meramu minuman pun terkekeh geli melihat tingkah kedua wanita yang ada di depannya. Dilihat dari gerak-geriknya saja sudah menunjukkan kalau ini adalah kali pertama kedua gadis itu menginjakkan kaki di sana. "Apa saja. Minta minuman yang paling enak sama dia?" Nadira menunjuk pria berkemeja hitam itu dengan dagunya. "Disini mana ada minuman yang paling enak, semua minuman disini sepertinya rasanya sama saja. Pahit," balas Moza. "Ya kalau kamu mau minuman yang manis, bikin saja jus alpukat saja dirumah sana," cebik Nadira. "Ish, ini anak benar-benar ya." Moza menggelengkan kepalanya. "Jadi pesan apa, Nona?" tanya bartender itu lagi setelah puas melihat perdebatan kecil diantara dua wanita di depannya. "Minuman yang paling enak katanya." Moza memajukan sedikit tubuhnya kemudian berbisik pada bartender itu. "Apa semua jenis minuman yang ada disini bisa membuat orang mabuk?" tanyanya kemudian. Gadis itu mencebikkan bibirnya ketika melihat pria di depannya itu kemudian tertawa terbahak-bahak begitu dirinya selesai mengatakan hal tersebut. "Jangan meledek begitu!" seru Moza kesal. "Sorry." Pria itu pun mengulurkan tangannya yang kemudian dijabat oleh Moza. "Rendi," ujar pria itu menyebut namanya. "Moza," balasnya seraya menurunkan tangannya. "Bukannya aku meledek. Kamu baru pernah pergi ke tempat seperti ini ya?" tanya Rendi kemudian. "Hm." Moza mengangguk. "Pantas." "Sudah deh, Mas. Jangan banyak bicara! Cepat beri kami minuman." Moza menampilkan mode garangnya. "Siap," balas Rendi. Moza beralih menatap temannya, dilihatnya Nadira sedang bercengkerama dengan seorang pria yang juga duduk di sampingnya. "Ra, siapa?" bisik Moza. "Entahlah, tiba-tiba dia duduk dan mengajakku bicara." Moza memperhatikan pria itu dengan seksama. "Jangan dekat-dekat, sepertinya dia bukan orang baik-baik." "Siapa juga yang dekat-dekat, Moza. Dia mendadak muncul, masa iya aku melarangnya untuk tidak duduk disini," sahut Nadira. "Sepertinya dia sudah mabuk, lihat ...." Belum sempat Moza melanjutkan ucapannya, dia dibuat terkejut dengan teriakan Nadira. Gadis itu bangkit dari kursinya dan tangannya seketika menghalau pergerakan pria yang tiba-tiba hendak memeluk Nadira. "Jangan kurang ajar kamu!" hardiknya marah, tak terima temannya diperlakukan seperti itu meskipun dia paham betul jika pria yang sejak tadi mengajak Nadira bercengkrama itu, sedang dalam pengaruh minuman beralkohol. "Jangan munafik, aku tahu perempuan seperti apa kalian ini," racau pria itu. "Maksudnya apa!" sentak Moza. Gadis itu pasang badan untuk melindungi Nadira yang telah dianggapnya seperti saudara kandung. Berulang kali Nadira berusaha mengajaknya untuk pergi dari sana namun Moza sama sekali tak mengindahkan perkataan temannya. Nadira sudah bisa membaca situasi berikutnya, itu sebabnya dia terus berusaha menyeret temannya meskipun usahanya sia-sia. Moza masih saja menanggapi pria mabuk itu. "Jangan pura-pura bodoh, Nona. Tinggal katakan saja berapa uang yang Anda butuhkan." Ucapan pria mabuk itu telah mamantik emosi Moza hingga gadis itu tak segan-segan mendaratkan sebuah tamparan keras pada pipi kiri pria itu. "Jangan kurang ajar kamu!" Moza berteriak memaki pria di depannya. "Sialan, berani sekali kamu menamparku! Dasar perempuan jalang!" Moza memejamkan matanya ketika pria itu hendak melayangkan tangannya pada wajahnya sementara Nadira menjerit. "Jangan main kekerasan pada wanita, Bung. Tidak baik," ucap seorang pria menengahi. Kompak kedua gadis itu menoleh. Mereka bernafas lega setelah melihat kedatangan pria yang sepertinya hendak menolong mereka. "Jangan ikut campur urusanku!" teriak pria yang tengah mabuk itu. "Tentu saja ini menjadi urusanku." Suasana di sana mendadak panas dengan adanya pertarungan sengit antara dua pria yang masih saling baradu mulut. "Memang kau pikir kau ini siapa? Kenapa kau ikut campur urusanku?" "Tentu saja aku harus ikut campur karena kau berniat menggoda kekasihku," balas pria itu. "Apa?" pria mabuk itu menggeleng tak percaya. Pun sama, Nadira dan Moza saling tatap, memang siapa yang orang itu maksud sebagai kekasihnya? "Dia kekasihku, jangan coba-coba untuk menggoda apalagi menyakitinya kalau kamu tidak ingin berakhir di IGD." Ucapan pria itu seperti mantra yang membuat pria mabuk itu pun angkat kaki dari sana. Pria berhati malaikat itu pun membalikkan badannya dan seketika Nadira terbelalak dengan mata membulat penuh. "Anda." Nadira menunjuk pria di depannya. "Kita berjumpa lagi," ucap Kai ramah. "Apa kalian sudah saling mengenal?" tanya Moza. "Tidak." "Iya." Moza bingung ketika mendengar jawaban berbeda dari temannya dan juga pria yang telah menolongnya. Tawa Kai pun pecah, bahu pria itu sampai berguncang ketika melihat Nadira salah tingkah. "Ada baiknya kita berbincang, tapi tidak di sini. Kebetulan ada sebuah kafe di dekat sini, aku baru ingat jika ada orang yang mau mengajakku untuk makan sebagai ucapan terimakasih," kata Kai sambil melirik Nadira. Pria itu terus mengembangkan senyum di bibirnya manakala melihat ekspresi wajah Nadira. "Ayo, Za. Kita ikuti kemana pria ini," cicit Nadira. "Ikut kemana?" "Kau tidak dengar kalau dia mengajak kita ke kafe," ketus Nadira. Moza pun mengikuti Nadira yang telah berjalan terlebih dulu di belakang pria yang masih belum dia ketahui namanya itu. Sementara Kai, jangan tanya bagaimana perasaannya saat ini. Pria itu terus menyunggingkan senyum penuh kemenangan. Nadira terus melemparkan tatapan dinginnya pada Kai namun berbanding terbalik dengan gadis itu, Moza yang sedari tadi melihat keduanya saling beradu tatap malah menemukan tatapan mendamba yang terpancar dari sorot mata Kai. "Ya ampun, kalian anggap ini dunia kalian berdua apa? Sementara aku dan ...," Moza melirik Gibran, pria yang sejak tadi selalu berada di samping Kai. "Hei, katakan siapa namamu!" Gibran sama sekali tak berniat menjawab pertanyaan yang dilontarkan oleh Moza. Pria acuh itu lebih memilih membuang muka ke sembarang arah daripada menghiraukan ocehan gadis yang sejak awal bertemu tadi, membuatnya dilanda migrain. "Apa kau bisu!" sentak Moza, gadis itu terlihat sangat murka. "Cih, tampan begitu kalau bisu tetap saja, apa gunanya," cibir Moza terus memaki Gibran. Kembali Kai terkekeh, pria tampan itu benar-benar terlihat makin memukau jika sedang tertawa begitu. Seperti wanita normal pada umumnya, harus Nadira akui jika Kai memang tampan. Ah ... tidak, ralat. Kai tidak hanya tampan, tapi sangat tampan. Postur tubuh Kai yang tinggi dengan kulitnya yang putih pucat, manik mata hitam yang tegas namun dipenuhi sorot mata meneduhkan bagi siapa saja yang melihatnya. Alis hitam nan tebal dan juga bulu matanya yang sedikit panjang, ditambah dengan hidung mancung dan bibir yang sedikit bervolume, memberikan kesan sensual. Masih diperkuat dengan garis wajah yang kuat dan rahang yang tegas. Kai laksana titisan dewa, apa yang ada pada dirinya membuat pesonanya tak terkalahkan. Nadira segera membuang muka ketika Kai memergoki dirinya tengah menatap lekat pria itu. Nadira tergagap, dia bahkan tak sanggup membuka mulutnya sekedar menjawab ataupun menenangkan Moza yang sejak tadi terus merengek sambil mengguncangkan bahunya. "Hah, kau seolah bukan Nadira yang aku kenal dulu," cicit Moza. "Terlebih lagi dengan pria aneh itu, kalian berdua terlihat sangat ... ah, membosankan." Moza meraih gelasnya kemudian segera meneguk isinya hingga tandas tak tersisa. "Memang dia itu siapa, Ra? Tadi kalau tidak salah aku dengar dia menyebutmu sebagai kekasihnya," sambung Moza. "Bukan, kau tahu sendiri kan kalau aku baru saja ...," Nadira menggantung ucapannya begitu menyadari dia telah kelepasan bicara. "Gagal menikah, ya kalau itu aku tahu." Nadira segera membekap mulut temannya. Dia tak ingin Moza membahas masalah pribadi di depan orang asing. "Kenapa sih, Ra." seru Moza tak suka. "Kamu kalau mau ngomong lihat situasi dong, Za," ucap Nadira setengah berbisik. "Biar aku jelaskan," sela Kai. Dia yang sudah bisa menangkap arah pembicaraan kedua gadis di depannya itu tahu jika Nadira tidak ingin masalah pribadinya menjadi konsumsi publik. Dia harus bisa mengalihkan perhatian kedua gadis yang sedang berdebat kecil itu. "Ya, jadi apa yang mau kau katakan?" sambar Moza tak sabar. "Pertama-tama izinkan aku memperkenalkan diri terlebih dulu. Namaku Kai dan dia asisten pribadi aku, Gibran. Jadi begini, soal yang tadi itu kenapa aku bilang kalau dia itu kekasihku, itu aku lakukan agar supaya kalian bisa terbebas dari pria kurang ajar yang sedang mabuk tadi," oceh Kai. "Apa hubungannya?" kening Moza berkerut dalam. Gadis itu masih belum mengerti dengan apa yang diucapkan oleh Kai. "Tentu saja ada, buktinya tadi dia langsung pergi begitu aku selesai mengatakan hal tersebut kan? Seandainya aku tidak bicara begitu, dia pasti tidak akan melepaskan kalian," jelas Kai. "Ooh ... begitu? Lalu bagaimana kalian berdua bisa saling kenal?" "Mengenai aku dan Nadira, kami memang belum berkenalan secara resmi tapi kami pernah bertemu," urai Kai. "Bertemu? Di mana?" Moza yang sedari tadi fokus memperhatikan Kai kini beralih menatap temannya. Tatapannya tajam seolah bertanya 'kenapa kau tidak pernah mengatakannya padaku'. "Aku pikir nggak penting, lagian aku juga nggak kenal dia itu siapa," jawab Nadira. "Kalian pernah bertemu di mana?" tanya Moza lagi. "Kami bertemu di kantor ...," Kai melirik Gibran. "Kantor Almost advertising, perusahaan yang dipimpin oleh Tuan Alby," sahut Gibran seolah menjawab pertanyaan tuannya. "Di kantor Alby? Kamu kapan kesana Ra?" Moza meminta penjelasan dari temannya. Nadira terkesiap, gadis itu teringat sesuatu. "Tunggu, dari mana Anda tahu nama saya?" tanya Nadira. Tatapan matanya penuh selidik pada Kai yang masih setia membingkai senyum pada paras rupawannya. "Jangan kaget begitu, kita bahkan belum berkenalan," Kai menimpali. "Justru itu," sergah Nadira. Kai merogoh saku jaket jeans yang dipakainya kemudian menyodorkan sesuatu pada Nadira. Nadira langsung bisa menebak, pria dihadapannya pasti mengetahui namanya dari benda persegi panjang miliknya itu yang ternyata terjatuh. 'Pantas saja aku cari-cari nggak ketemu, tidak tahunya, jatuh.' Bersambung ....
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD