Kai terlihat begitu menikmati makan malamnya kali ini. Sedari tadi pria itu terus memasukkan sepotong daging steak ke dalam mulutnya sementara matanya tak lepas barang sedetik pun dari wajah gadis yang saat ini sedang duduk di hadapannya.
Seumur hidupnya, Kai telah mencicipi berbagai macam jenis steak namun entah mengapa steak yang dipesannya kaki ini terasa sangat berbeda. Bukan karena sepotong daging sapi berbumbu dengan tingkat kematangan medium rare itu diracik dengan bumbu rahasia dan dimasak oleh koki kenamaan negeri ini, bukan. Melainkan karena ini kali pertama Kai makan dengan di dampingi oleh wanita yang telah membuat degup jantungnya berpacu dengan cepat ketika ia melihatnya. Ya, meskipun mereka tidak benar-benar makan malam berdua.
"Apa steak nya terlalu enak atau kau memang lapar? Kelihatannya kau begitu menikmatinya," kata Nadira dengan nada menyindir temannya.
"Ini adalah steak paling enak yang pernah aku makan. Dagingnya lembut dan juicy, bumbunya juga meresap sampai ke dalam. Belum lagi sausnya yang sangat gurih di tambah potongan sayuran yang masih segar dan renyah," balas Moza yang di sela-sela kegiatan mengunyahnya. "Ini wajib masuk daftar agenda kuliner mingguan kita, Ra," imbuhnya lagi dengan mulut penuh berisi makanan.
"Hah, berlebihan! Memang sejak kapan kau jadi suka steak? Biasanya juga kau sudah cukup puas ketika makan sushi," sungut Nadira.
"Sejak b******n itu meninggalkan aku dan lebih memilih menikah dengan perempuan jadi-jadian bernama Clarence."
"Ternyata kau ini seorang yang pendendam ya?" Nadira melirik temannya.
"Memang kau baru tahu?" Moza balik bertanya.
"Marah-marah begini tidak baik bagi kesehatanmu, cepat habiskan steak mu atau aku yang akan menghabiskannya," gurau Nadira.
"Enak saja, makan saja punyamu!"
Moza menggeser piringnya.
"Omong-omong, kapan kamu bertemu dengan pria setampan itu?" Moza menunjuk Kai dengan dagunya. "Dan bagaimana kalian bisa bertemu di kantor Alby? Kamu belum menceritakannya padaku," cicit Moza.
"Aku akan menceritakannya nanti sepulang dari sini," balas Nadira setengah berbisik.
Dua orang gadis itu masih terlibat perbincangan seru tanpa sadar jika Kai dan juga Gibran terus menatap ke arah mereka.
"Boleh aku bertanya?" sela Kai tiba-tiba.
Membuat kedua gadis itu saling pandang.
"Padamu." Kai menatap Nadira.
"Apa yang ingin kau tanyakan?" tanya Nadira, raut wajahnya begitu serius.
"Kejadian apa yang membuatmu menangis tempo hari?" tanya Kai.
"Ya ampun, kapan dia menangis?" sambar Moza.
"Waktu pertama kali kami bertemu, saat itu dia sed ...."
"Cukup! Jangan diteruskan lagi. Mohon maaf tapi aku keberatan jika harus menceritakan masalah pribadiku pada orang asing meskipun jujur, aku sangat berterimakasih atas segala bentuk pertolonganmu tempo hari."
Kai tertegun, dia menatap lekat manik mata bak kacang almond milik wanita berambut panjang berwarna cokelat itu.
Nadira segera membuang muka setelah sekian menit Kai menatapnya dengan tatapan yang sulit diartikan. Sorot mata Kai begitu gelap dan dalam seakan bisa menenggelamkan dirinya hingga dia tak mampu berlama-lama menatap netra berwarna abu-abu itu.
"Tidak masalah," sahut Kai. "Apa kalian sudah selesai dengan makanannya?" imbuhnya lagi.
Ada sedikit raut wajah kecewa ketika Moza melihat temannya mengangguk padanya seolah mengisyaratkan pada gadis itu untuk segera mengakhiri makan malam tersebut. Akhirnya dengan berat hati Moza kembali meletakkan garpunya setelah sebelumnya sempat menusuk sepotong daging yang masih tersisa dalam piring sajinya.
Nadira mengambil tasnya, berniat mengambil dompet dan membayar tagihan makan malam mereka.
"Gibran,"panggil Kai pada asisten pribadinya.
"Baik, Tuan."
Seolah mengerti dengan perintah tuannya, Gibran bangkit dari kursinya kemudian memberikan kartu kredit pada pelayan yang kebetulan lewat di dekat sana.
"Apa yang kau Lakukan?" tanya Nadira.
"Kau bisa mentraktirku saat makan malam berikutnya. Kali ini biarkan aku saja yang membayarnya," jelas Kai.
"Tidak! Mana bisa begitu, kita sudah membuat kesepakatan sebelumnya kalau aku yang harus membayar makan malam ini sebagai ucapan terimakasihku. Jika kau yang akan membayarnya itu sama saja aku berhutang dua kali padamu."
"Jangan terlalu dipikirkan," tukas Kai.
"Mana bisa begitu, kau pikir aku tidak punya uang?" Nadira menaikkan volume suaranya.
"Bukan itu maksudku, sungguh. Jangan salah paham."
"Pakai ini saja, Mbak." Nadira menyodorkan kartu kreditnya pada pelayan wanita yang masih berdiri mematung di sana.
"Jangan! Ambil kartuku saja!" seru Kai.
"Jangan dengarkan dia Mbak," kata Nadira.
"Jadi saya harus menggunakan kartu yang mana?" tanya pelayan tersebut dengan nada putus asa.
"Tunggu apalagi? Cepat pergi dan gunakan kartuku saja!" seru Kai.
Tanpa menunggu perintah lagi, pelayan wanita itu pun telah berlari meninggalkan tempat itu. Dia tak mau berada lebih lama lagi di sana, bisa saja dia akan menjadi sasaran empuk dari dua orang yang sedang berdebat di depannya.
"Kenapa kau selalu seperti ini?" cicit Nadira kesal.
"Maksudnya?" Kai memasang wajah bingung.
"Kau sengaja menolak ucapan terimakasihku dan malah membuat hutang budiku bertambah padamu."
"Kan sudah kukatakan untuk jangan terlalu di ambil hati," sanggah Kai.
"Apa katamu?"
"Berdoa saja semoga kita diberi kesempatan untuk bertemu lagi." Kai membalikkan badannya kemudian meraih jaket jeans yang terlampir di bahu kursi. "Cepat pulanglah ke rumah, udara malam tidak baik untuk kesehatanmu."
Nadira terus bergumam, dia sama sekali tidak menyangka dirinya akan kembali dipertemukan dengan pria yang telah menolongnya itu dengan cara seperti ini.
"Ayo cepat pulang, tunggu apa lagi?" sentak Nadira.
"Iya baiklah. Tunggu aku, kenapa berjalan terburu-buru begitu?"
Moza kesulitan berjalan karena memakai heels setinggi sembilan centi yang membuatnya susah payah mengejar Nadira.
Gadis itu sampai terengah-engah dan sempat mengatur nafasnya begitu dia masuk ke dalam mobil.
.
.
Sesampainya di apartemen Moza.
"Apa kau mau sekalian aku buatkan mie rebus?" tawar Nadira.
"Astaga, sejak kapan porsi makanmu meningkat? Bukankah kau baru saja makan steak tadi?"
"Kau kan tahu sendiri kalau aku jadi suka makan jika sedang banyak pikiran."
"Ah ... iya. Ck, apa itu artinya kamu sedang dalam masalah?"
Nadira bungkam, gadis itu lebih memilih untuk fokus melanjutkan memasak mie instan.
Selang lima belas menit kemudian.
Nadira menaruh dua mangkuk mie instan kuah rasa soto dalam nampan dan membawanya menuju ruang tengah, sementara Moza berinisiatif membuat minumannya.
"Kapan terakhir kali aku makan mie instan, sepertinya sudah lama," seloroh Moza sembari mengaduk isi mangkuknya.
"Karena memang kau jarang makan mie instan, bahkan hampir tidak pernah."
"Benar juga." Moza terkekeh. "Hm, rasanya ternyata enak juga ya," imbuhnya setelah menyeruput sesendok kuah mie nya.
Hening.
Hanya terdengar suara sumpit dan sendok yang sesekali beradu dengan mangkuk.
"Za ...."
"Hm." Moza masih menikmati helai demi helai mie nya yang terasa kenyal.
"Pernikahanku batal."
Moza hampir saja tersedak, dia bahkan menelan sisa mie yang masih bersarang dalam mulutnya tanpa mengunyahnya terlebih dulu. Secepat kilat Moza menyambar satu gelas es jeruk untuk menyegarkan tenggorokannya yang terasa terbakar.
"Kau bercanda?" ucap gadis itu setelah kembali meletakkan gelasnya.
"Apa terlihat seperti itu? Apa wajahku terlihat seperti sedang bercanda?" tanya Nadira parau.
"Lantas, bagaimana bisa? Ra, pernikahan kamu tinggal menghitung hari, jangan main-main."
Nadira menaruh kembali sumpitnya.
"Alby yang membatalkan pernikahan ini, dia ...," ucapan Nadira terhenti begitu Moza kembali menyahut.
"Dia kenapa? Cerita yang jelas, Ra!" desak Moza.
"Dia yang sudah membatalkan rencana pernikahan ini secara sepihak. Malam dimana dia mengajakku makan malam, waktu dia menghubungiku pada saat kita sedang makan siang di restoran Jepang, kau ingat?"
"Ah, iya aku ingat. Lalu?"
"Dia mengatakan jika dia tidak bisa menikah denganku. Dia bilang dia sudah tidak mencintaiku lagi dan ini akan membuat kami sama-sama tersakiti jika pernikahan tetap diteruskan."
Moza meraih selembar tisu lalu memberikan pada temannya. Melihat genangan cairan bening di pelupuk mata Nadira membuat Moza merasa trenyuh.
"Alasan yang tidak masuk akal, kemana saja dia selama ini? Kenapa baru sekarang dia bicara begitu, kalian sudah sejak lama merencanakan pernikahan ini dan ... tinggal sepuluh hari lagi, Ra."
"Awalnya aku juga curiga. Aku merasa ada yang dia sembunyikan dariku itu sebabnya aku memutuskan untuk mencari tahu sendiri apa penyebab dia membatalkan pernikahan kami." Nadira menjeda ucapannya sejenak, gadis itu menyesap es jeruk buatan tangan temannya.
"Lalu apa yang kamu lakukan?" tanya Moza penasaran.
"Aku datang diam-diam ke kantor tanpa sepengetahuannya. Aku sengaja mampir untuk membelikan kue kesukaannya, berharap aku bisa membujuknya untuk kembali melanjutkan rencana pernikahan kami tapi ...,"
"Tapi apa?" cecar Moza.
"Pada saat aku masuk ke ruangannya tidak ada siapapun di sana. Aku berniat meninggalkan tempat itu namun pada saat bersamaan aku ... aku melihat dia, mereka sedang ...," Nadira terbata, dia tak sanggup melanjutkan ucapannya dan memilih untuk menghambur ke dalam pelukan temannya.
"Tidak apa-apa, aku tahu kamu gadis yang kuat. Menangis saja, itu akan membuatmu merasa lebih baik." Moza menepuk lembut punggung Nadira.
Moza begitu terhanyut ketika menangkap suara tangis Nadira yang terdengar menyayat hati. Air matanya pun lolos, meluncur jatuh dan berakhir di kepala Nadira yang saat ini masih terbenam di dadanya.
Entahlah, rasanya begitu sakit. Moza bahkan belum mendengar semua cerita Nadira dengan jelas namun jantungnya seolah sudah tercabik-cabik. Ingatan tentang kisah cintanya dengan Ibra yang begitu kelam kini kembali berputar dalam benaknya.
"Dia sedang melakukan hal menjijikkan dengan sekretarisnya di kamar pribadi ruangan kerjanya, Za," lirih Nadira, tangisnya kembali pecah begitu gadis itu selesai mengucapkan hal tersebut.
"Apa maksudmu?" Moza meraih bahu Nadira, sedikit menjauhkan dari tubuhnya. "Apa yang sedang Alby lakukan di sana dengan Alice?" Katakan padaku!" Moza mengguncang bahu temannya.
"Mereka ... mere ... ka, sedang bersama dalam satu ranjang tanpa memakai busana."
"Astaga, dasar lelaki kurang ajar. Lalu apa yang kau lakukan setelah melihat kejadian itu? Apa kau menjambak rambut perempuan jalang itu? Kau menamparnya kan? Seharusnya kau memberikan pelajaran lebih dari itu," ucap Moza berapi-api.
Nadira menggeleng.
"Apa? Kau tidak melakukan apa-apa pada kedua makhluk tidak bermoral itu? Astaga Nadira. Bodoh kamu!" Moza memaki temannya. "Apa yang mereka lakukan itu jauh diluar batas. Bisa-bisanya kamu membiarkannya begitu saja. Besok kita kesana, kalau kamu masih bisa sabar, tidak denganku. Akan aku hajar mereka."
"Jangan, Za."
"Jangan? Huh, aku benar-benar tidak habis pikir dengan jalan pikiranmu," omel Moza lagi.
"Buat apa Za? Tidak ada gunanya juga, semuanya tidak akan berubah sekalipun kamu bikin mereka babak belur."
"Tetap saja aku tidak bisa tinggal diam. Aku nggak terima kamu diperlakukan seperti ini oleh mereka."
"Jangan pernah mengotori tanganmu dengan menyentuh manusia seperti mereka, Za," lirih Nadira. "Mungkin memang sudah jalannya harus seperti ini. Kedua orang itu saling mencintai, Za. Urusan dosa biarkan mereka berdua yang menanggungnya. Aku sudah terima keputusan Alby. Mungkin ini yang terbaik."
Moza menyandarkan punggungnya pada bahu kursi kemudian memijit pelipisnya.
"Aku tidak menyangka kamu akan berkata seperti ini. Benar-benar diluar dugaanku."
Senyap.
Hanya terdengar suara jarum jam yang memenuhi ruangan tersebut.
.
.
Nadira menggeliatkan tubuhnya, setengah terpejam tangan gadis itu terulur ke atas nakas untuk mematikan alarm. Dia merasa masih mengantuk namun alarm yang dia pasang otomatis sudah berbunyi. Pertanda pagi telah datang.
Gadis itu kemudian menyibakkan selimutnya, ada lengkungan tipis di bibirnya ketika melihat temannya masih tergolek lelap.
Selesai membersihkan diri dan berganti pakaian yang memang sengaja dia bawa dari rumah, kini Nadira sudah berada di dapur. Dia berpikir keras hendak membuat apa untuk sarapan pagi, pasalnya selama ini dia tidak pernah memasak. Jangankan memasak, masuk dapur pun jarang.
Setelah cukup lama berada di sana akhirnya Nadira memilih untuk membuat sereal. Kebetulan dia melihat sekotak sereal yang masih terbungkus rapi dalam lemari gantung.
"Kamu sudah rapi, Ra? Memang kamu praktek pagi?" tanya Moza yang mendadak muncul di sana dengan suara serak khas orang bangun tidur.
"Iya, Za."
"Kenapa tidak membangunkan aku?"
"Takutnya kamu masih mengantuk. Ini sudah aku siapkan sarapan buat kamu. Hanya semangkuk sereal dengan potongan buah. Tinggal tuang susunya saja." Nadira bangun dari duduknya.
"Mau berangkat sekarang?"
"Takut telat. Nanti malam aku menginap lagi, kita lanjutkan obrolan semalam. Aku berangkat dulu, Bye." Nadira meraih tasnya.
"Hati-hati di jalan."
"OK."
Obrolan keduanya berakhir begitu Nadira menutup pintu apartemen Moza.
.
.
Nadira membereskan mejanya, ada beberapa lembar kertas yang berceceran di sana. Begitu selesai mencuci tangannya, dia pun meraih gawainya. Benda pipih persegi panjang yang sejak empat jam lalu dia biarkan tergeletak begitu saja di atas meja.
Sesuai dugaannya, ada beberapa pesan masuk dari Ibunya, ada juga pesan dari Moza. Tangannya mulai lincah menggulir layar ponselnya untuk membalas pesan yang menumpuk. Begitu selesai membalas pesan-pesan tersebut, dia terkejut ketika melihat ada sebuah pesan masuk yang hampir luput dari penglihatannya. Sebuah pesan singkat yang dikirim dari nomor yang dihafalnya.
"Permisi, Dok. Diluar ada orang yang ingin bertemu dengan Anda. Dia mengatakan jika ini sangatlah penting."
Belum sempat Nadira membuka pesan tersebut, pintu ruangannya sudah terbuka dan seorang suster cantik memberitahukan padanya mengenai kedatangan seseorang yang ingin menemuinya.
"Siapa orang itu? Suster tahu namanya?" Nadira menaruh kembali ponselnya.
"Seorang pria, Dok. Mohon maaf, saya lupa menanyakan namanya."
"Kita perlu bicara, Ra."
Seorang pria memaksa masuk sebelum Nadira memberikan izin.
"Tuan, sudah saya bilang untuk menunggu di luar terlebih dulu," cicit suster cantik itu.
"Sudah biarkan saja, Sus. Sudah terlambat, lagipula orang ini juga sudah masuk," sela Nadira.
"Maafkan saya, Dok."
"Tidak masalah."
"Baiklah kalau begitu, saya permisi."
Suasana hening tercipta begitu suster cantik itu keluar dari ruangan berukuran cukup luas tersebut.
Bersambung ....