"Apa kau akan membiarkan aku terus berdiri di sini?"
Nadira bergeming di tempatnya, ditatapnya sinis wajah pria yang baginya sangat memuakkan itu namun dibalas dengan tatapan sendu oleh Alby.
Ya, pria yang menyerobot masuk begitu saja ke dalam ruangannya adalah Alby, mantan tunangannya yang berkhianat.
"Untuk apa kau kemari?" tanya Nadira datar.
"Tentu saja untuk membicarakan sesuatu hal yang penting denganmu," ucap pria itu sembari menarik kursi kemudian mendudukinya.
"Tidak ada yang perlu dibicarakan lagi. Semuanya sudah berakhir jadi pergilah, jangan membuang waktumu!" titah Nadira.
Ucapan gadis itu datar namun begitu dingin, laksana bongkahan gletser di musim salju.
"Aku hanya ingin berbicara empat mata denganmu, kenapa kau bersikap demikian?"
"Aku tidak punya waktu untuk meladenimu."
Nadira menyambar tasnya, bersiap pergi dari sana namun secepat kilat Alby sudah meraih tangannya dan menahan langkah gadis itu.
"Jangan berani-beraninya kamu menyentuhku dengan tangan kotormu itu!" pekik Nadira. Dia menepis kasar tangan Alby yang masih bertahta pada salah satu bagian tubuhnya itu.
"Maaf ...." lirih Alby.
Perlahan pria itu melepaskan tangannya, mundur beberapa langkah hingga kakinya terantuk kursi lalu kembali duduk di atasnya.
"Aku tahu kau sangat membenciku. Kau berhak marah. Aku sadar betul kalau aku telah banyak berdosa padamu. Ke depannya, jangan pernah menutup hatimu. Di luar sana masih banyak lelaki yang lebih baik dariku. Maaf untuk segala luka yang telah aku torehkan padamu. Aku pria yang buruk. Permata sepertimu tidak akan cocok bila disandingkan dengan batu kerikil sepertiku."
Nadira masih membeku di tempatnya, dia masih belum mengerti dengan maksud dari perkataan Alby. Kenapa mendadak pria itu datang dan berpidato panjang kali lebar di hadapannya.
"Tidak seharusnya aku menyia-nyiakan wanita sebaik dirimu. Aku hanya ... aku tidak bisa terus menerus membohongi perasaanku."
"Apa kau mencintainya?" tanya Nadira.
Detik berikutnya gadis itu merasa sangat menyesal, tidak seharusnya dia menanyakan hal bodoh yang jelas-jelas dia sendiri sudah mengetahui jawabannya. Memang mana ada orang yang mau bercinta tanpa adanya rasa cinta?
Benar-benar konyol.
"Maaf."
Lagi-lagi hanya kata itu yang selalu Alby ucapkan.
"Aku tidak butuh permintaan maaf darimu," sengit Nadira.
"Maaf telah banyak menyakitimu," lirih Alby lagi.
"Apa kau pikir dengan begitu aku akan luluh lalu pada akhirnya aku memaafkan segala kesalahanmu, begitu?" ucap Nadira sambil tersenyum sinis.
"Tidak. Bukan begitu," sanggah Alby.
"Aku harus segera pulang."
Nadira melirik arlojinya kemudian mengayunkan kakinya meninggalkan ruangan tersebut.
"Jangan pernah memaafkan aku, jika perlu bencilah aku seumur hidupmu. Aku pantas mendapatkannya," teriak Alby.
Nadira sempat menghentikan langkahnya, dia begitu terkesiap mendengar ucapan Alby. Entah kenapa perkataan pria itu terasa begitu menyentuh relung hatinya.
Gadis itu terus bertanya-tanya dalam hati, ada apa dengan Alby? kenapa juga pria itu mengatakan hal tersebut.
Ya sudahlah, persetan dengan apa yang dikatakan Alby yang jelas itu semua tidak akan pernah bisa berpengaruh terhadap dirinya lagi.
Terlalu banyak kebohongan dan rahasia yang disembunyikan oleh Alby selama keduanya menjalin hubungan. Alby bahkan masih menyembunyikan alasan kenapa dia membatalkan pernikahannya, meskipun Nadira pernah memergoki Alby dan sekretarisnya sedang memadu kasih bersama dalam satu ranjang. Namun biar bagaimanapun juga, Nadira hanyalah wanita biasa yang masih memiliki hati, dia juga menginginkan penjelasan yang keluar langsung dari mulut mantan tunangannya itu. Dengan begitu setidaknya dia akan tahu, apa kekurangan yang ada dalam dirinya yang menyebabkan Alby berpaling darinya.
Nadira terus melangkah menyusuri lorong panjang di hadapannya, meninggalkan Alby yang masih diam membisu di ruangannya.
Dan tanpa sepengetahuan Nadira, di dalam sana, Alby sempat menitikkan air mata melepas wanita yang selama ini begitu berjasa dalam hidupnya.
Di sisi lain.
Kedua insan yang memutuskan untuk berpisah itu tak mengerti jika percakapan yang terjadi diantara mereka tadi juga sempat ditangkap oleh sepasang telinga.
Seorang pria berpakaian rapi sedang berdiri dibalik pintu. Pria yang awalnya hanya ingin melintasi ruangan tersebut terpaksa harus bersembunyi agar dapat mencuri dengar perbincangan Nadira dan Alby.
Tubuh pria itu pun melemas, dia menjadikan dinginnya tembok sebagai sandarannya. Sedikit banyaknya dia telah mengetahui apa yang sebenarnya telah terjadi pada Nadira, dari percakapan yang di tangkap oleh indra pendengarannya.
.
.
Merasa sedikit terganggu dengan bayangan kehadiran Alby tadi membuat Nadira harus bersusah-payah untuk menyingkirkan sosok itu lagi dalam benaknya.
'Benar apa yang dikatakan Moza, tidak mudah melupakan orang yang telah singgah dan bertahta selama bertahun-tahun dalam hati kita. Dia sendiri sudah menunjukkan tanda-tanda move on dari Ibra sementara aku sendiri, aku bahkan masih belum yakin apakah bisa aku melupakan Alby atau tidak.' Nadira membatin.
Ada setitik cairan yang bersiap luruh dari sudut matanya namun bergegas Nadira mengusapnya.
Nadira bangkit dari tempat duduknya. Rasanya tidak pas duduk di taman rumah sakit sendirian. Suasana disana juga begitu lengang, nanti bukannya bisa melupakan Alby, yang ada malah dirinya semakin dibayang-bayangi oleh pria itu.
Baru beberapa langkah gadis itu meninggalkan taman saat dia mendengar ponsel dalam tasnya berdering nyaring.
"Kamu dimana?" tanya si penelepon yang ternyata adalah Moza.
Suara gadis itu terdengar sangat lembut, mirip seperti seorang ibu yang tengah mengkhawatirkan anaknya.
Moza tahu betul apa yang sedang menimpa Nadira bukanlah masalah sepele yang akan selesai hanya dalam hitungan hari. Ada beban moral yang temannya dan juga keluarganya tanggung akibat dari keputusan Alby. Luka mendalam yang Alby torehkan bahkan lebih mendalam dari sekedar luka yang diberikan Ibra padanya.
"Aku baru saja akan ke kantin, sepertinya aku tidak bisa menunggumu di taman. Terlalu sepi," ujar Nadira.
"Ish, kau ini. Memang mana ada orang atau pasien yang mau singgah di taman pada jam-jam seperti ini. Sudah tentu mereka tak mau kulitnya terbakar."
"Itu sebabnya. Aku akan ke kantin saja," cebik Nadira.
"Tidak usah. Aku baru saja selesai. Kau tunggu di parkiran saja."
"Benarkah? Cepat sekali, bukannya kamu juga harus mengecek pasien yang sedang dirawat?" tanya Nadira sangsi.
"Sudah selesai, Ra. Kebetulan tidak terlalu banyak pasien yang datang tadi jadi aku bisa mengecek pasien rawat inap lebih cepat."
"Ooh," balas Nadira singkat.
"Kamu tunggu di parkiran ya, jangan kemana-mana sebelum aku datang. Kita pergi bersama."
"Iya."
Gadis itu baru saja menurunkan ponselnya dari telinganya namun terdapat panggilan masuk lagi.
"Iya, aku tunggu di parkiran, bawel," gerutu Nadira.
"Dokter Nadira."
Tubuh Nadira membeku seketika, dia yang menyangka panggilan masuk itu berasal dari Moza lagi, nyatanya bukan suara temannya itu yang terdengar di seberang sana.
"Dokter Nadira, Anda di sana?" ulang orang itu.
"Ah, i ... iya, Dok," Nadira tergagap.
Gadis itu merasa panik bukan kepalang. Pasalnya dia merasa tidak melakukan kesalahan apapun lantas mengapa dokter kepala sampai menghubunginya?
Jelas sekali tadi itu adalah suara Dokter Jeremy, kepala dokter departemen bedah saraf. Dia tidak mungkin salah mengenali suara atasannya.
"Anda masih berada di rumah sakit, bukan?"
Entah kenapa setiap kata yang keluar dari mulut dokter itu membuat nyali Nadira sedikit menciut. Nadira begitu menghormati pria berusia tiga puluh tiga tahun tersebut karena kemahirannya dalam melakukan operasi. Dokter Jeremy hampir menguasai segala macam teknik bedah dan keahliannya itu sudah diakui dunia. Mungkin itu yang membuat gadis itu menaruh hormat hingga rasanya dia begitu enggan jika berhubungan langsung dengan pria itu.
Keduanya memang tidak begitu dekat secara personal namun mereka dekat dalam urusan pekerjaan. Sejauh yang orang-orang tahu, ada desas-desus yang mengatakan jika Dokter Jeremy begitu menyukai Nadira. Rasa suka dalam konteks pekerjaan tentunya mengingat Nadira merupakan dokter muda yang memiliki potensi menjadi dokter besar di kemudian hari.
Cara kerja gadis itu yang kemudian membuat Nadira dianggap sebagai anak emas oleh dokter Jeremy. Operasi yang dilakukan oleh dua orang itu akan menjadi sebuah kolaborasi yang menakjubkan dengan kenaikkan angka tingkat keberhasilan sebuah operasi.
"Iy ... iya, Dok. Saya baru saja akan menuju tempat parkir." Nadira berusaha menetralkan suaranya yang sedikit gemetar.
Canggung, satu kata yang mungkin saat ini tengah menggelayuti Nadira.
"Baguslah. Bisakah Anda menemui saya sebentar."
"Tentu saja, Dok."
"Saya sedang berada di paviliun Esther, kamar nomor lima," tutur Jeremy.
"Saya segera kesana, Dok."
Nadira membuang nafas panjang. Memangnya apa yang sedang dokter Jeremy lakukan di sana. Paviliun Esther yang terletak di lantai lima belas gedung tersebut diperuntukkan bagi orang-orang tertentu. Keluarga pemilik rumah sakit beserta kerabat atau salah satu kenalan dari keluarga besar Wijaya, sang pemilik rumah sakit ini tentu saja.
Mengambil langkah cepat Nadira bergegas menuju elevator. Alat angkut berukuran tidak lebih dari satu meter yang bisa membawanya naik ke lantai atas.
Tak lupa gadis itu kembali menjangkau ponselnya untuk mengabari temannya.
"Hallo, Za."
"Iya, ini sebentar lagi aku sampai di parkiran. Kenapa mesti telepon sih? Kangen ya sama aku, sudah nggak sabar mau ketemu aku?" gurau Moza.
"Kebiasaan banget itu mulut kalau ngomong nggak ada rem nya. Aku cuma bilang kalau kamu pulang duluan saja."
"Lha, kenapa memang? Kita kan sudah janjian mau shopping di mall habis itu kita mau ketemuan sama Bobby," oceh Moza.
Jika saja saat ini Nadira melihat wajah temannya itu, sudah dipastikan dia akan terbahak melihat raut wajah sebal Moza.
"Nanti aku kabari lagi, ya."
"Memang kamu mau kemana sih? Lagian juga mobil kamu masih di sini?"
Dapat dipastikan jika gadis itu telah sampai di tempat parkir.
"Aku dipanggil sama Dokter Jeremy," cicit Nadira.
"What!" teriak Moza.
"Ya ampun, apa tidak bisa kau mengecilkan sedikit volume suaramu? Kamu mau bikin telinga aku tuli apa?" Nadira mengusap daun telinganya beberapa kali.
"Sorry. Memang kamu bikin kesalahan apa sampai dipanggil?"
"Aku juga nggak tahu, aku merasa nggak berbuat salah."
"Kalau kamu nggak buat salah, kenapa juga dia manggil kamu?" cecar Moza.
"Jangan bikin aku tambah panik, kenapa. Dia menyuruhku untuk datang ke paviliun Esther, barangkali saja aku disuruh memeriksa orang penting," terang Nadira.
"Seriusan?"
"Hm."
"Ya sudah kalau begitu. Nanti kabari aku secepatnya ya. Aku mau pulang dulu."
"Ya. Hati-hati dijalan," pesan Nadira.
"Ya, kamu juga. Hati-hati!" Moza menimpali.
"Aku? Hati-hati untuk apa?"
"Sudah jangan banyak omong. Aku sudah mau pulang ini."
"Bye."
Nadira menekan icon merah pada layar ponselnya kemudian segera mengamankan benda canggih tersebut ke dalam tasnya. Kebetulan pintu lift telah terbuka, dirinya sudah sampai pada ketinggian lantai yang dituju.
Sepanjang menyusuri lorong sepi tersebut, Nadira dilanda perasaan gugup. Dia memang sudah sering keluar masuk paviliun tersebut namun entahlah, rasanya dia masih gugup seolah ini adalah yang pertama kalinya dia menginjakkan kakinya di sana.
Sampai di depan pintu kamar yang disebutkan oleh dokter Jeremy tadi, Nadira sempat berhenti sejenak. Gadis itu mengambil nafas dalam-dalam lalu menghembuskannya perlahan. Dia juga perlu mengatur detak jantungnya agar tak berpacu lebih cepat.
Biar bagaimanapun, dokter juga hanyalah manusia biasa yang juga memiliki rasa gugup, sama seperti kebanyakan orang.
Perlahan Nadira menaikkan jemari tangannya dan mulai mengetuk pintu.
Hingga terdengar sahutan dari dalam yang mempersilakan dirinya untuk masuk.
Nadira memutar kenop pintu, dia membungkuk hormat, menyapa beberapa orang yang ada di sana sambil terus memberikan senyum termanisnya.
Mendadak tubuh Nadira kaku ketika jaraknya kian mendekat, dia begitu terkejut melihat orang yang saat ini sedang berbaring di atas bed rumah sakit.
Gadis itu kepayahan menelan salivanya, kata-kata yang sudah sempat dia susun sepanjang jalan tadi, mendadak buyar seketika. Tenggorokannya serasa tercekat dengan mata membulat penuh.
Sesempit inikah dunia?
Bersambung ....