Nadira masih tercenung di tempatnya, tubuhnya membeku dengan leher seolah tercekik. Sia-sia saja dia menyusun kalimat terbaik untuk menyapa dokter Jeremy. Nyatanya begitu melihat sosok yang kini tengah berbaring pad bed rumah sakit, di sebelah dokter Jeremy itu, membuatnya kacau.
Sosok itu mengerdilkan keberaniannya yang sudah dia susun setinggi gunung.
"Mau sampai kapan Anda akan terus berdiam diri di sana, Dok?"
Bukannya merasa lebih baik, yang ada Nadira malah merasa semakin gugup ketika mendengar dokter Jeremy kembali berujar.
Gadis itu semakin menunduk. Ingin sekali rasanya dia berjalan maju namun kakinya terasa berat.
"Dokter Nadira."
Yang dipanggil pun mendongak, gadis itu melihat tatapan mata atasannya yang terlihat mengintimidasi.
Sedikit terseok, Nadira mengayunkan kakinya.
"Iya, Dok," ucap gadis itu begitu sudah tidak ada jarak lagi diantara mereka. "Apa dokter meminta saya untuk memeriksa pasien?" tanyanya hati-hati.
"Tidak perlu, aku sudah memeriksanya," balas Jeremy.
"Lalu, saya kemari untuk ...."
"Ini." Jeremy menyodorkan sebuah map. "Ini hasil tes kesehatan beliau. Saya ingin meminta pendapat Anda."
Nadira mengerutkan keningnya, menatap Jeremy sekejap kemudian beralih menatap pasien.
Mata gadis itu sangat jeli membaca huruf demi huruf yang tertera pada lembaran kertas dalam genggamannya.
"Bagaimana?" tanya Jeremy begitu melihat Nadira menutup map nya.
"Terdapat masalah herniasi pada tulang dan juga saraf pasien. Itu yang menyebabkan pasien menderita nyeri punggung."
"Apa dokter perlu melakukan tindakan?" telisik Jeremy.
"Tidak sampai sejauh itu. Pasien di sarankan untuk cukup istirahat dan mengkonsumsi makanan dengan gizi seimbang."
"Apa pasien perlu untuk di opname?"
Kedua alis hitam nan lebat milik Nadira saling bertaut, gadis itu menjauhkan wajahnya sejenak. Dia tahu betul jika Jeremy mengetahui segala sesuatu tentang pasien. Pasien juga tidak mengalami penyakit yang serius, lalu untuk apa Jeremy membuang waktu demi menanyakan hal yang jelas-jelas dia sendiri sudah tahu jawabannya.
"Saya rasa tidak. Pasien hanya perlu mengkonsumsi obat yang sudah diresepkan untuknya, mengoleskan salep topikal untuk mengurangi nyeri dan mematuhi anjuran dari dokter, saya rasa sudah cukup. Keadaan pasien akan berangsur membaik dalam dua hari ke depan."
Sebagai seorang dokter yang profesional, mau tidak mau Nadira menjawab dengan detail setiap pertanyaan yang diajukan oleh seniornya itu.
Barangkali saja Jeremy sedang mengetes kemampuannya. Siapa yang tahu.
"Jadi kalian bersekongkol untuk melawanku? Jelas-jelas aku merasakan sakit punggung yang sangat menyiksa sampai aku tidak bisa tidur. Jangankan untuk tidur, duduk saja aku merasa tidak nyaman. Aku membutuhkan pengobatan dan kalian malah mengusirku! Rumah sakit macam apa ini," celoteh pasien itu.
"Sungguh, Tuan. Kami tidak bermaksud demikian. Mana berani saya melarang Anda untuk istirahat di sini," sahut Jeremy.
Raut wajah pria itu diliputi ketakutan. Wajahnya memucat seakan tak teraliri dengan darah. Takut membuat pasien itu murka sehingga melakukan hal diluar nalar.
Kemarahannya ketika mendengar penjelasan Nadira yang menyuruhnya untuk istirahat di rumah saja sudah sedemikian rupa. Padahal dari hasil CT scan tidak ditemukan penyakit serius dalam tubuh pria itu, jadi apa yang menjadi keluhan pria itu murni hanya sekedar sakit punggung biasa.
Jeremy sengaja memanggil Nadira kesana karena dirinya manaruh harapan yang besar pada gadis itu. Berharap agar Nadira bisa meyakinkan pasien bahwa sebenarnya pasien tidak perlu mendapatkan perawatan. Tapi lihatlah sekarang, yang ada malah pasien itu makin meradang dengan menuduh antara Jeremy dan Nadira melakukan persekongkolan.
"Jadi sekarang apa maumu?"
"Itu ...." ucapan Jeremy terhenti ketika Nadira menarik lengan bajunya.
"Serahkan saja pada saya, Dok," bisik gadis itu.
Jeremy mengangguk. Mulutnya telah berbusa karena sedari tadi terus berusaha memberikan penjelasan pada pasien namun tak pernah ada satupun perkataannya yang di anggap oleh pria itu.
Mungkin sudah saatnya dia memberikan kepercayaan pada juniornya untuk mencoba. Siapa tahu saja kali ini akan berhasil.
"Begini, Tuan. Biar saya jelaskan. Jika Tuan memang merasa sakit punggung Anda sudah tidak tertahankan lagi, sepertinya memang ada baiknya Anda perlu dirawat," tutur Nadira dipenuhi kelembutan.
"Kenapa tidak sejak tadi saja kau mengatakannya? Kenapa malah membuatku marah terlebih dulu? Gara-gara kalian punggungku menjadi semakin sakit."
Jeremy tak berani menatap si pasien, pria itu lebih memilih diam dan mempercayakan semuanya saja pada Nadira. Dia sangat yakin jika Nadira bisa menjinakkan pasien garang tersebut.
Jeremy sendiri sudah sering melihat bagaimana sabarnya Nadira menghadapi pasien yang bertingkah bar-bar. Malah pernah sekali dia melihat dengan mudahnya Nadira mengambil hati pasien yang berasal dari ketua geng mafia yang waktu itu sedang terluka parah.
"Baiklah jika begitu, saya akan segera menghubungi suster untuk merawat Anda," imbuh Nadira.
"Jika sudah tidak ada yang perlu dibicarakan lagi, izinkan kami undur diri, Tuan." Jeremy masih membungkuk hormat.
"Iya, pergilah."
Mendapatkan persetujuan dari pasien yang membuatnya sport jantung sejak tadi, tidak disia-siakan oleh Jeremy. Pria itu bergegas menarik tangan Nadira dan mengajak gadis itu untuk secepatnya pergi dari sana.
"Tunggu!"
Reflek Jeremy menghentikan langkahnya dan membuat Nadira yang berada tepat dibelakangnya sempat menubruk punggung pria itu.
"Ada apalagi, Tuan?" Jeremy membalikkan badannya.
"Siapa yang mengatakan jika dia juga boleh pergi. Aku hanya mengizinkanmu, tidak dengannya."
"Maksud Anda?" Jeremy sempat mencuri pandang pasiennya yang masih memasang tampang dingin.
"Pergilah! Aku perlu berbicara sebentar dengan Dokter ini." menunjuk Nadira dengan dagunya.
"Dok," cicit Nadira lirih. Sorot matanya seolah mengatakan untuk 'jangan tinggalkan saya' namun urung diucapkannya, mana berani Nadira mengatakannya secara langsung.
Jeremy mengangguk, meyakinkan gadis itu jika tidak akan terjadi sesuatu yang buruk padanya.
"Baiklah kalau begitu, saya permisi dulu, Tuan."
Jeremy kembali membungkukkan badannya kemudian melangkah meninggalkan Nadira berdua dengan pasien nya.
"Kemarilah!"
"Kenapa Anda menyuruh saya untuk tetap tinggal disini sementara Anda membiarkan Dokter Jeremy pergi?" tanya Nadira penasaran.
"Hei, berhenti bersikap formal. Sudah tidak ada siapapun lagi disini. Kita bisa berbincang seperti biasanya."
"Tidak bisa. Tetap saja Anda adalah seorang pasien dan saya dokter yang menangani Anda," bantah Nadira.
"Jangan membantah. Kemari saja dulu!"
Nadira masih berdiri di tempatnya.
"Kau sendiri yang bilang kalau kau memiliki hutang budi padaku. Tempo hari aku yang membayarkan makananmu jadi kamu belum sempat membalasku sebagai ucapan terimakasihmu, kan?" oceh pasien itu yang ternyata adalah Kai.
"Apa yang harus aku lakukan?"
Nadira mengalah, Kai tahu betul kelemahan gadis itu. Nadira mendekati brankar lalu menaruh tasnya di atas nakas.
"Temani aku," celetuk Kai.
"Apa?"
"Tidak perlu berteriak begitu. Aku hanya memintamu untuk menemaniku ngobrol sampai nanti Gibran datang kemari. Memang apa yang kau pikirkan?"
"Tidak ada." Nadira menggeleng pelan. "Nanti kan juga ada suster yang akan menemanimu," kilahnya.
"Jadi kau tidak mau menemaniku?" tanya Kai sinis.
"Siapa juga yang bilang begitu? Aku pasti sudah meninggalkanmu sendirian disini kalau aku memang tidak ingin menemanimu. Ada-ada saja." gadis itu menggelengkan kepalanya.
Kai tertawa, dia merasa sangat gemas melihat raut wajah cemberut gadis yang saat ini ada di hadapannya.
"Kau sudah makan?" tanya Nadira.
Kai menggeleng. Dia baru ingat jika sejak pagi perutnya hanya terisi sepotong roti lapis isi daging dan segelas s**u.
"Mau makan apa?" tawar gadis itu.
"Panas-panas begini enaknya makan apa ya?" bukannya menjawab, Kai malah balik bertanya.
"Kau mau steak?"
"Sekarang?" kening Kai berkerut.
"Kau kelihatan lahap memakan steak mu semalam. Aku pikir itu makanan kesukaanmu," kata Nadira.
"Tidak juga. Kau sendiri ingin makan apa?"
"Bagaimana dengan nasi sapi lada hitam? Ceker ayam tanpa tulang yang dimasak pedas?" usul gadis itu.
"Seenak apa rasanya? sapi lada hitam mungkin aku pernah mencicipinya tapi ceker ayam yang kau bilang tadi ...."
"Sangat enak, itulah sebabnya aku merekomendasikannya padamu."
"Ya sudah kau atur saja semuanya."
Kai sedikit menggeser tubuhnya agar bisa meraih dompet kulit berwarna cokelat yang teronggok di atas nakas.
"Biar aku saja, kali ini biarkan aku yang membayarnya," ucap Nadira, mencegah pergerakan pria itu.
"Apakah pantas seorang wanita membayarkan makanan seorang pria?"
"Jangan bilang begitu, kau sudah sering membantuku. Dan lagi uang untuk membayar makanan ini juga tidak seberapa."
"Mana bisa begitu, tetap saja aku malu," sergah Kai.
"Anggap aku sebagai teman. Mari kita berteman, jadi buang jauh-jauh rasa malu itu," ujar Nadira sambil tersenyum.
"Baiklah."
Pria itu kembali menaruh dompetnya.
Cukup lama Nadira berselancar dengan gawainya. Gadis itu memesan makanan melalui jasa online. Kemajuan zaman dan kecanggihan teknologi memang memberikan kenyamanan dan kemudahan dalam segala hal.
Hal itu dimanfaatkan oleh Kai dengan sebaik mungkin. Dirinya terus menatap wajah cantik gadis yang masih sibuk dengan ponselnya. Dilihatnya sesekali Nadira menyelipkan anak rambutnya yang menjuntai ke depan menghalangi pandangannya.
Nadira yang masih asyik dengan benda pipih miliknya tak sadar jika Kai sedang menikmati kecantikannya.
Kai masih terdiam, matanya tak lepas barang sedetik pun. Ingin rasanya dia memuaskan dahaganya dengan terus menatap Nadira.
Semenjak pertemuan mereka dalam lift, Kai memang merasakan ada sesuatu yang tidak beres dalam dirinya. Wajah gadis yang sedang menangis pilu, selalu singgah di matanya. Suaranya yang manja namun menggemaskan bagai nyanyian rindu yang mendayu-dayu, seolah mengajaknya untuk memasuki dimensi lain. Sebuah alam yang sangat indah yang belum pernah dia singgahi sebelumnya.
"Aku memesan makanan itu untuk kamu makan, bukannya untuk kamu pelototi begitu."
Kai terkesiap, lamunannya buyar seketika. Suara bidadari itu membuatnya kembali ke alam sadar.
Kai kembali tersenyum, sebegitu dalamkah dia mengagumi nadira? Apa ini bisa disebut cinta? entahlah. Kai tidak menampiknya namun juga belum mengakuinya. Dia hanya perlu membiarkan waktu berjalan dengan semestinya.
Jika memang Tuhan menganugerahkan cinta di hatinya untuk gadis itu, dia tahu Tuhan akan mempunyai cara untuk mendekatkan keduanya.
"Kalau kau masih terus melamun, jangan salahkan aku kalau sampai aku menghabiskan makananmu," ucap Nadira dengan nada mengancam.
"Iya baiklah. Dasar cerewet," gumam Kai.
"Apa katamu?" Nadira mendelik.
"Tidak, aku tidak mengatakan apapun. Sudah cepat sebaiknya kau makan saja. Tidak baik makan sambil bicara."
Kai mulai menyuapkan sesendok nasi lengkap dengan potongan daging sapi berbumbu itu.
"Bagaimana rasanya? Enak?" tanya Nadira begitu melihat ekspresi wajah Kai.
"Tidak buruk."
Nadira terus mengembangkan senyumnya ketika melihat Kai makan dengan lahap.
Selang beberapa menit kemudian.
Kai mengelus perutnya yang terasa penuh, pria itu berhasil memindahkan satu bowl nasi beserta potongan daging sapi berbumbu lada hitam, beberapa potong ceker ayam tanpa tulang dan tak lupa, satu cup besar es jeruk ke dalam perutnya.
Kini dia tengah duduk sambil mengawasi Nadira yang sedang membersihkan meja lipat yang tadi dia gunakan untuk makan, kemudian membereskan sampah bekas makanannya.
"Apa temanmu masih lama?" Nadira menarik sebuah bangku yang ada di dekat brankar.
'Jelas saja dia masih lama, aku belum menyuruhnya untuk kemari.' Kai membatin sembari tersenyum licik.
"Teman yang mana?"
"Ck, Gibran. Memang kau punya teman lagi selain dia?"
"Dia asisten pribadiku, bukan temanku," sangkal Kai.
"Sama saja."
"Tentu saja berbeda," kilah Kai bersikeras.
"Ya sudahlah terserah apa katamu saja. Omong-omong, memang kemana keluargamu?"
Nadira memang tidak melihat siapapun yang mengunjungi Kai sejak dia masuk ke sana tadi.
"Keluargaku? Ada, tapi mereka semua sibuk."
"Ooh, pantas aku tidak melihat salah satu dari mereka yang datang kemari."
"Mungkin nanti malam. Kau bosan ya menemaniku disini?" tebak Kai.
"Tidak."
"Jangan bohong. Kau bisa pulang sekarang."
"Aku akan pulang tapi nanti, setelah Gibran datang. Aku tidak apa-apa sungguh, jadi jangan berpikiran macam-macam. Sudah tidur saja, biarkan obat yang kau minum tadi bekerja dengan baik," titah Nadira.
Melihat kebaikan hati gadis itu membuat Kai merasa bersalah. Dia telah membohonginya dengan menyuruhnya untuk menunggu padahal dia sengaja meminta Gibran untuk tidak datang ke sana.
"Kenapa malah diam? Tidurlah, ayo biar aku bantu." Nadira mendekat lalu membantu Kai membaringkan tubuhnya.
"Sudah tidur saja. Jangan berpikiran macam-macam karena aku akan menjagamu disini," imbuh gadis itu.
Kai mengangguk, sorot mata Nadira seolah menghipnotisnya hingga dia menurut apa saja yang perempuan itu katakan.
Nadira duduk menghadap jendela, tangan gadis itu masih sibuk membolak-balik majalah yang ada dalam genggamannya. Sudah satu jam yang lalu Kai terlelap dan hingga kini belum ada tanda-tanda kehadiran Gibran di sana.
Merasa bosan akhirnya Nadira menaruh kembali majalahnya di atas meja. Dia yang juga merasa mengantuk pun memutuskan untuk membasuh wajahnya di kamar mandi, berharap dengan begitu kantuknya bisa hilang.
Tepat ketika gadis itu keluar dari kamar mandi, bersamaan dengan itu ada yang memutar kenop pintu kamar tersebut.
Dia berjalan berjingkat agar tak menganggu tidur Kai dengan bunyi hak sepatunya yang beradu dengan lantai, hendak mengecek siapa yang datang.
Dan ketika pintu terbuka lebar, dia kembali dibuat terkejut ketika melihat sosok orang yang datang.
Kenapa hari ini begitu banyak kejutan untuknya?
Bersambung ....