'Kenapa aku harus melihat wajahnya lagi? Sudah dua kali aku melihatnya dalam sehari, kalau sampai aku melihatnya untuk ketiga kalinya apa bisa disebut sebagai bonus?' Nadira membatin sembari menggelengkan kepalanya.
Pun sama terkejutnya seperti Nadira, Alby masih membeku di tempatnya. Pria itu masih tidak menyangka jika dari sekian banyak dokter yang ada di rumah sakit itu, ternyata Nadira yang menangani rekan kerjanya.
Ya, Alby datang kesana memang bertujuan untuk menjenguk rekan bisnisnya.
"Apa Anda tidak memiliki sopan santun? Kenapa Anda langsung masuk tanpa mengetuk pintu terlebih dulu?" cecar gadis itu.
"Itu ... aku sudah berusaha mengetuknya tadi tapi tidak ada yang menyahut. Makanya aku putuskan untuk masuk saja."
Kai mengerjapkan matanya perlahan, mendengar sedikit kegaduhan yang terjadi disana membuatnya meninggalkan alam mimpi yang tadi sempat ia diami.
"Siapa yang datang, Ra?" tanyanya sembari memicingkan mata.
Alby begitu terkesiap saat mendengar ucapan rekan bisnisnya. Ia tak mengerti bagaimana mungkin antara dokter dan pasien bisa sedekat ini hingga membuat Kai memanggil Nadira tanpa embel-embel dokter yang terkesan mencerminkan jika keduanya memang memiliki hubungan akrab.
'Bagaimana bisa dia memanggil Nadira tanpa disertai dengan kata dokter. Seolah mereka sudah saling kenal.' Alby membatin.
"Saya," jawab Alby.
Pria itu kemudian berjalan meninggalkan Nadira yang masih terpaku di tempatnya.
Alby meletakkan paper bag berisi buah tangan yang sengaja ia beli tadi dalam perjalanan menuju rumah sakit.
"Seharusnya Anda tidak perlu repot-repot, Tuan," tutur Kai.
Kai mempersilakan tamunya untuk duduk. Bibirnya masih terus bergerak menanggapi ocehan Alby sementara ekor matanya terus mengawasi sosok seorang gadis yang masih saja berdiri di depan pintu.
"Kau sudah boleh pulang, Gibran akan datang sebentar lagi," titah Kai.
Pria itu paham betul dengan apa yang saat ini sedang dirasakan oleh Nadira. Gadis itu pasti sangat canggung berada di sana.
Sementara Alby makin dibuat bingung saat lagi-lagi dia mendengar ucapan Kai pada Nadira yang entah kenapa terdengar begitu lembut di telinganya.
Antara dirinya dan Kai telah terlibat beberapa kali hubungan kerja sama yang membuat keduanya sering berinteraksi. Dia paham betul orang seperti apa rekan bisnisnya itu. Kai bukanlah orang yang mudah akrab dengan siapa saja, terlebih dengan seorang wanita. Selama ini jika keduanya bertemu pun Kai selalu menampilkan wajah datar nan dingin. Asisten pribadinya yang lebih dominan jika sedang membicarakan masalah bisnis atau dalam hal lain.
Sungguh berbeda dengan apa yang dilihat Alby saat ini.
Nadira berjalan mendekati nakas, bermaksud mengambil tasnya. Wajahnya memperlihatkan betapa tidak nyamannya dia saat ini, terlebih lagi posisi tasnya yang berada persis di samping Alby.
Menyadari hal tersebut, Kai gerak cepat dengan menyambar tas berwarna hitam yang teronggok di atas nakas.
"Tunggulah sebentar! Gibran sebentar lagi sampai. Biar dia yang mengantarmu pulang," ucapnya seraya mengulurkan tas tersebut pada Nadira.
"Tidak perlu. Aku bawa mobil sendiri," tolak Nadira halus.
"Tidak masalah, Gibran bisa mengantarmu dan besok dia juga yang akan menjemputmu. Mobilmu aman sekalipun ditinggal di tempat parkir."
"Bukan itu masalahnya. Gibran kan juga punya pekerjaan."
"Keras kepala," cicit Kai.
"Apa?" gadis itu berjengit mendengar Kai berkata demikian.
"Ah, tidak ada. Hm ... sebelum pergi, kemarikan dulu ponselmu!"
Alby yang tengah duduk di kursinya merasa tak nyaman melihat cara keduanya berinteraksi. Mereka terlihat begitu akrab, dan yang lebih membuatnya heran adalah bagaimana bisa Nadira mengenal Kai?
Pria itu duduk dengan gelisah dan beberapa kali mengubah posisi duduknya. Namun pandangannya sama sekali tak lepas untuk mengawasi dua orang yang sedang mengobrol di depannya.
"Untuk apa aku memberikan ponselku padamu?"
Alby menatap lekat gadis yang beberapa waktu lalu pernah menjadi tunangannya itu.
"Aku tidak memintanya, aku hanya meminjam sebentar," sahut Kai.
"Memangnya dimana ponselmu?"
"Jangan banyak bicara, cepat kemarikan ponselmu!"
Awalnya Nadira ragu untuk memberikan ponselnya pada Kai tapi ingin rasanya dia pergi dari tempat itu secepatnya. Jadilah dia mengalah.
Gadis itu terus menatap Kai yang mulai sibuk menggulir layar benda pipih berwarna dark silver miliknya. Pandangannya sempat bertemu dengan Alby ketika dia menoleh sejenak tapi tak bertahan lama karena setelahnya, Kai mengembalikan ponselnya.
"Apa kali ini aku benar-benar sudah diperbolehkan untuk pulang?" tanyanya sambil mengerucutkan bibirnya.
"Ya, hati-hati dijalan. Jangan mengebut," pesan Kai.
"Kau sudah seperti Ibuku saja." Nadira mencebik. "Ingat! Cukup istirahat, banyak minum air putih dan jangan lupa minum obatmu," imbuhnya.
"Baiklah, aku bukan anak kecil lagi yang harus kau ingatkan banyak hal."
"Terserah apa katamu. Aku pulang."
Nadira mengayunkan kakinya meninggalkan ruangan tersebut.
Kai terus memandangi kepergian gadis itu hingga kini Nadira tak terjangkau lagi oleh pandangannya. Pria yang terus mengulum senyum itu tak menyadari jika Alby terus mengawasinya sedari tadi.
.
.
'Sepertinya hari ini adalah hari yang paling sial sepanjang hidupku.' batin Nadira.
Ia terus melajukan mobilnya menembus pekatnya malam yang mulai mendekap bumi sejak satu jam yang lalu. Dia sendiri tak menyangka akan membutuhkan waktu cukup lama untuk menjaga Kai di rumah sakit.
Tujuannya kali ini tentu saja apartemen Moza. Temannya itu terus saja mengiriminya pesan agar segera pulang begitu urusannya selesai. Acara menghabiskan akhir pekan dengan jalan-jalan terpaksa di tunda.
"Aku pulang ...." ucapnya begitu memasuki apartemen Moza.
Moza memang sempat memberinya passcode pintu apartemennya, mengantisipasi jika sewaktu-waktu Moza tengah sibuk jadi gadis itu bisa keluar masuk dengan leluasa.
"Pulang juga kau rupanya? Aku pikir kau akan menginap," celoteh Moza dengan nada menyindir.
"Cih, menjengkelkan." gadis itu bersungut sebelum akhirnya menghempaskan tubuhnya yang terasa penat di sofa.
"Mandilah dulu, aku sudah menyiapkan makan malam."
Nadira menyambar minuman kaleng yang ada di atas meja. Meneguknya perlahan kemudian menaruhnya kembali di tempatnya.
"Eh, kenapa minuman ini ada dua?" tanya Nadira begitu menyadari ada dua buah minuman kaleng di depannya.
"Yang kau minum itu punya Bobby."
"Ya ampun, iyakah? Kapan dia pulang? Dimana dia?" Nadira mengubah posisi duduknya.
"Kau lupa, dia kan memang sudah pulang sejak kemarin sore dan rencana jalan-jalan ke mall sirna sudah karena kau harus menemui seniormu tadi," beber Moza.
Baru saja kedua gadis itu membicarakan Bobby bersamaan dengan keluarnya pria itu dari kamar mandi.
"Bob ...." panggil Nadira girang.
Yang dipanggil pun setengah berlari kemudian menghamburkan diri memeluk Nadira.
"Hamsterku, hanya seminggu kita tidak bertemu dan ku lihat badanmu kurus begini?"
Bobby melepaskan pelukannya dan beralih menyentuh rahang gadis itu, memperhatikan wajah temannya dengan seksama.
"Wajahmu tirus sekali, kau diet?" ucapnya lagi dipenuhi dengan tatapan menyelidik.
"Dia itu sudah terlahir dengan sebuah kutukan. Berat badannya tidak akan bertambah meskipun dia menghabiskan porsi makan kita bertiga," sela Moza.
"Tapi aku perhatikan kau lebih kurus dari biasanya." Bobby kembali menatap temannya.
"Aku baik-baik saja," tukas Nadira setelah mendapatkan tatapan dari Bobby yang seolah mengasihaninya.
"Dia hanya sedang depresi," celetuk Moza.
"What? Memang apa masalahnya?" pria itu tak dapat menyembunyikan keterkejutannya.
"Nanti kita bicarakan lagi setelah makan." Moza berganti menatap Nadira. "Bersihkan tubuhmu, setelahnya kita makan," imbuhnya.
Nadira mengangguk, sedikit lesu gadis itu kembali menjangkau tasnya dan berjalan menuju kamar.
.
.
Bobby masih saja menampakkan raut wajah yang berubah-ubah antara kesal, marah dan terkejut ketika mendengarkan Moza bercerita dengan runtun mengenai kegagalan pernikahan Nadira.
Satu jam berlalu setelah mereka selesai menghabiskan makan malam yang sempat Moza pesan melalui jasa kurir dan kini mereka bertiga tengah duduk santai di kursi rotan yang berada di balkon apartemen.
"Sejak dulu sudah sering aku ingatkan kalau dia itu bukanlah pria baik-baik. Aku menahan diri untuk tidak terlalu turut campur dalam urusan pribadi kalian. Dan sekarang apa yang aku takutkan akhirnya terjadi juga," ucap Bobby kesal.
"Kenapa kau malah memarahinya?" bisik Moza.
"Karena dia itu tidak pernah mendengarkan kita. Kecurigaanku selama ini ternyata benar kan?"
"Sudahlah, tidak perlu marah begitu. Kau membuatku takut," tutur Nadira.
"Apa katamu? Hah ... tidak bisa dipercaya. Lihat saja nanti, aku sendiri yang akan menghajar laki-laki b******k itu." pria itu mengeratkan rahangnya dengan tangan terkepal, kesal karena tak bisa melampiaskan kekesalannya.
"Kendalikan dirimu!" Moza meraih bahu Bobby agar temannya itu lebih tenang. "Semuanya sudah terjadi, tidak ada gunanya kamu marah-marah. Alby tidak akan menikahi Nadira sekalipun kau menghajarnya."
"Kau ...."
Moza masih bisa melihat dengan jelas kilatan amarah yang berkobar di mata Bobby.
"Begitu Nadira menceritakannya padaku aku juga menunjukkan reaksi yang sama sepertimu. Ingin sekali aku menghajarnya dengan tanganku sendiri tapi ketika melihat bagaimana Nadira dengan santainya menghadapi pria itu, aku sadar akan satu hal. Manusia bisa saja merencanakan sesuatu tapi bukankah ada pemilik kehidupan yang menentukan segalanya?" Moza menjeda sejenak kalimatnya.
"Coba kau pikir ulang. Ternyata selama ini ada begitu banyak tanda-tanda yang memang telah menunjukkan bahwa Nadira dan Alby memang tidak berjodoh. Nadira pada akhirnya mengetahui kebusukan pria itu, tidakkah kau berpikir kalau Tuhan justru menyayangi Nadira kita dengan menunjukkan semua ini sebelum Nadira lebih menderita lagi jika saja keduanya jadi naik ke pelaminan?"
Bobby berusaha mencerna setiap ucapan yang keluar dari mulut Moza. Dia berdecak, bagaimana bisa wanita yang menjadi temannya selama lebih dari lima tahun itu terlihat sangat bijaksana sementara di situasi berbeda seringkali gadis itu bersikap manja dan kekanak-kanakan.
Patah hati memang bisa merubah orang dalam sekejap.
"Kenapa diam? Ada yang salah dengan ucapanku?" telisik Moza saat dilihat teman prianya itu terdiam sembari menggelengkan kepalanya beberapa kali.
"Seminggu ... hanya seminggu aku meninggalkan kalian berdua dan segala sesuatunya sudah berubah sekarang. Bagaimana bisa kau seperti seorang yang sedang memberikan pidato keagamaan? Selama satu pekan ini memang apa saja yang kau makan? Semua yang keluar dari mulutmu itu benar-benar hal yang berkualitas, tidak seperti Moza yang biasanya. Kau benar-benar menggunakan mulutmu dengan baik," celoteh pria itu.
"Dasar menjengkelkan," cebik Moza.
Nadira terkekeh melihat tingkah kedua temannya. Setidaknya dia bisa melupakan sejenak masalahnya. Ya, hanya sejenak karena tak lama setelahnya mereka kembali membahas masalah itu lagi.
"Oom Arif sudah mengetahuinya?" tanya Bobby penuh selidik. Di tatapnya Nadira yang sedari tadi terdiam. Hanya dirinya dan Moza saja yang mendominasi pembicaraan.
Pria itu kembali berdecak manakala melihat Nadira menggeleng pelan.
"Kau harus segera memberitahukan hal ini pada kedua orang tuamu!" titah pria itu.
"Aku hanya sedang menunggu waktu yang tepat," cicit Nadira.
"Kapan? Mau sampai kapan? Waktu cepat berlalu, apa kau mau memberitahukan semua ini menjelang hari H?"
Bobby membuang kaleng bekas minumannya yang tak bersisa setelah isinya tandas dia pindahkan ke dalam perutnya.
"Kau mesti berburu dengan waktu, Ra." kali ini nadanya melunak.
"Besok. Besok aku akan menceritakan semuanya pada keluargaku. Sepertinya lebih cepat lebih baik. Aku juga tidak mau memberikan banyak harapan atas pernikahan ini."
"Hubungi kami jika kau memerlukan bantuan," pesan Bobby.
Gadis itu mengangguk. Dia memberikan seulas senyum yang dipaksakan.
Dia harus segera memberitahukan segala kekacauan yang terjadi meskipun di saat yang bersamaan dia harus mengubur impian kedua orang tuanya yang saat ini begitu ingin melihatnya naik ke pelaminan.
Bersambung ....