"Baiklah Tuan, sepertinya sudah terlalu lama saya berada di sini." Alby melirik arlojinya. "Sebaiknya saya segera undur diri agar Anda bisa beristirahat."
"Saya justru senang karena mendapatkan teman ngobrol."
"Lekas sembuh. Semoga jika kita bertemu di lain kesempatan, kita berjumpa dalam keadaan sehat."
"Terima kasih, berhati-hati lah dijalan," pesan Kai.
Pembicaraan kedua orang itu terputus begitu mereka saling berjabat tangan.
"Anda sudah makan, Tuan?" tanya Gibran sepeninggal Alby dari ruangan tersebut.
"Sudah," jawabnya singkat. Raut wajahnya masih memancarkan aura kebahagiaan yang Gibran tak mengetahui penyebabnya.
"Kapan?"
"Tadi siang."
"Astaga, tapi ini sudah malam Tuan."
"Tanpa kau beritahu pun aku sudah tahu jika sekarang hari sudah malam. Memang kau pikir aku buta apa?"
"Anda harus mengisi perut Anda lagi."
"Kau lapar?" Kai balik bertanya.
Gibran menghembuskan nafas panjang, bukan hanya saat ini saja dia harus berurusan dengan sifat menjengkelkan dari tuannya. Dia sudah sering menghadapi sikap Kai yang berubah-ubah secepat kilat tanpa bisa diprediksi. Dan selama mengabdikan diri pada Kai, dia sudah paham betul watak pria itu. Dia harus memiliki stok sabar yang melimpah ketika berurusan dengannya.
Pria itu kembali mendesah panjang sebelum akhirnya kembali membuka mulutnya.
"Anda harus makan sebelum meminum obatmu, Tuan," ucap Gibran datar.
"Baiklah. Pesankan aku nasi sapi lada hitam, kaki ayam tanpa tulang yang di masak pedas dan jangan lupa juga es jeruknya."
"Baik, Tuan."
Gibran bisa bernafas lega sekarang, tadinya dia pikir dia masih harus melewati perdebatan panjang hanya untuk membahas soal makanan.
"Kau juga harus makan, pesanlah makanan yang kau inginkan," titah Kai.
"Saya samakan saja dengan yang di pesan Tuan."
Pria itu sesekali melirik atasannya. Rasanya ada yang berbeda dengan Kai. Tuannya itu sedang terbaring di rumah sakit akan tetapi raut wajahnya terlihat berbinar. Kai terus mengembangkan senyum di bibirnya, sungguh berbeda dengan raut wajah pesakitan pada umumnya.
.
.
Keesokan paginya di kediaman Kusuma.
Seperti biasa, Mutia tengah sibuk menyiapkan sarapan pagi untuk suaminya.
"Anak itu belum pulang juga? Mau sampai kapan dia akan menginap di rumah temannya?" Arif memulai percakapan.
"Apartemen, Pah. Bukannya rumah," ralat Mutia.
"Apa bedanya? Dia mau menikah sebentar lagi dan dia masih saja berkeliaran," keluh pria paruh baya itu.
"Resiko jadi seorang dokter kan memang seperti itu, Papah kan sejak awal sudah tahu lantas kenapa kita membahasnya lagi?" tukas Mutia.
"Apa dia baru akan mengambil cuti pada saat hari pernikahannya saja? Bukankah masih banyak hal yang juga harus dipersiapkan?"
"Baiklah, nanti Mamah hubungi dia," pungkas Mutia.
"Suruh dia pulang!" titah pria itu tak ingin dibantah.
Mutia hanya bisa mengangguk, menuruti keinginan suaminya. Bisa panjang urusannya jika dia terus menyahuti setiap ucapan pria itu.
.
.
Pagi ini Nadira dan Moza berjalan menyusuri lorong rumah sakit bersamaan. Kebetulan jadwal praktek keduanya sama-sama pagi, jadilah mereka berdua memutuskan untuk berangkat bersama meskipun tidak satu mobil. Nadira berniat pulang sore nanti untuk memberitahukan semua kekacauan yang terjadi pada kedua orang tuanya.
Rasanya gadis itu sudah tidak sanggup lagi jika harus memendam masalah ini lebih lama lagi. Biar bagaimanapun, ini juga menyangkut kedua orang tuanya, tidak baik menyimpan rahasia sekecil apapun.
Lebih cepat memberitahukan perihal kegagalan rencana pernikahannya, akan lebih baik. Nasehat Bobby terus menerus terngiang di telinga Nadira.
"Ada sesuatu yang sedang kau pikirkan?" tanya Moza.
Gadis itu paham betul jika temannya mendadak jadi pendiam, mengindikasikan jika dirinya tidak dalam keadaan baik-baik saja.
"Aku masih belum menemukan cara bagaimana mengatakannya pada orang tuaku. Aku harus memulainya dari mana?"
Moza menghentikan langkahnya sejenak. Dipandanginya lekat wajah sahabatnya itu.
"Kau tahu sendiri kan apa akibatnya jika menyimpan masalah terlalu lama? Aku takut mereka akan sangat terpukul jika mengetahuinya dari orang lain. Bicarakan dari hati ke hati, percayalah jika semuanya akan baik-baik saja. Aku tahu betul watak Oom Arif dan Tante Mutia, beliau pasti akan mendukungmu," ucapnya seraya meremas jemari Nadira.
"Hm." Nadira mengangguk.
"Jika kau mengalami kesulitan, aku dan Bobby selalu siap kapanpun kamu membutuhkan bantuan."
Nadira tersenyum simpul mendengar ucapan Moza, beruntung dia memiliki dua sahabat yang selalu menemaninya di segala situasi.
Seolah mendapat semangat baru, kini ia melangkah mantap ke dalam ruangannya. Dia tidak boleh berlarut-larut dalam masalah pribadinya mengingat ada banyak tanggung jawab yang harus diembannya.
Nadira masih harus berkeliling untuk mengecek keadaan pasien rawat inap dalam rumah sakit itu begitu jam prakteknya usai.
Benar-benar hari yang melelahkan.
Nadira baru saja menghempaskan bokongnya di bangku kantin rumah sakit ketika ponsel dalam saku sneli yang dipakainya bergetar.
Diliriknya sekilas benda pipih nan canggih hadiah ulang tahun nya yang ke 26 dari sang ayah, sebelum kemudian meletakkan di daun telinganya.
"Ya, Dok," sahutnya malas.
"Anda belum memeriksa pasien VVIP kita?"
Nadira memijit pelipisnya sekedar mengurangi pening yang tiba-tiba menderanya. Bukan tidak mau memeriksa pasien itu, dia hanya tidak ingin berurusan dengan pasien VVIP yang bisa membuatnya berakhir dengan mendapatkan kesulitan karena dia tahu betul siapa pasien VVIP yang dimaksud.
"Maaf Dok. Saya kira beliau pasien Anda karena kemarin Anda hanya meminta saya untuk membacakan riwayat pasien saja, kan?" tukasnya.
"Tapi pasien itu sendiri tidak mau jika saya yang menanganinya, beliau bersikeras meminta Anda yang menanganinya hingga beliau benar-benar dinyatakan sembuh," papar Jeremy.
Nadira berdecak kesal, sepertinya hari ini dia harus kembali merelakan waktunya untuk teman sekaligus pasien yang menyebalkan itu.
"Aku sarankan untuk Anda segera naik sebelum pasien hilang kesabaran dan semakin menyusahkan Anda."
Gadis itu menggaruk kepalanya yang tidak gatal, merasa geram bukan main. Padahal sedari tadi dia sedang berusaha menyusun kalimat yang pas untuk mengawali pembicaraan beratnya nanti pada ayah dan juga ibunya.
Mengurus pasien VVIP itu bukan hanya menguras tenaganya saja, emosinya pun akan terkuras ketika menghadapi kelakuan Kai yang tak menentu.
Mengaku sebagai teman, tapi tindakannya kadang melampaui sekedar teman. Terlebih untuk dua orang yang baru saja saling mengenal seperti mereka.
.
.
Nadira menghembuskan nafas panjang sebelum mengetuk pintu kamar bertuliskan angka 5 di depannya. Mendengar ucapan Dokter Jeremy tadi sudah membuatnya bergidik ngeri membayangkan bagaimana Kai akan mengerjainya jika dia terus mengulur waktu untuk datang ke sana.
Gadis itu berdehem dan memasuki ruangan berukuran lebih luas ketimbang bangsal pesakitan pada umumnya itu begitu dirinya mendengar sahutan dari dalam setelah dia mengetuk pintu.
"Selamat siang, Tuan." Nadira membungkuk memberi hormat pada pasiennya.
Meskipun Kai mengatakan jika mereka telah berteman saat ini, tapi dia tetap tidak boleh melupakan statusnya yang seorang dokter. Terlebih lagi pasiennya itu bukan sembarang pasien mengingat keberadaannya saat ini, pastilah dia kenalan atau malah mungkin kerabat dekat keluarga Wijaya.
"Kau pastinya seorang dokter yang memiliki daya ingat yang baik, bukan?"
Nadira tak mengerti kenapa Kai berkata demikian, gadis itu bahkan sempat membuang muka ketika tatapannya saling beradu dengan Kai. Ia tak tahan mendapatkan sorotan tajam dari manik cokelat milik pria itu.
"Sudah aku katakan untuk tidak bersikap formal padaku," imbuh pria itu.
Nadira tersenyum kaku, kemudian berjalan mendekati bed.
"Kau sudah diperiksa?" tanyanya masih sambil tersenyum.
"Apa gunanya aku memanggilmu kemari jika tugas itu sudah dilakukan oleh orang lain," cebik Kai.
"Barangkali saja sudah," balas Nadira.
"Tuan Kai tidak membiarkan sembarang orang untuk memeriksa ataupun menyentuh tubuhnya," sela Gibran yang sejak tadi berdiri di sisi kiri pria itu.
'Memang siapa dia, sampai sebegitunya? Atau jangan-jangan Kai ini bangsawan. Dia kan pebisnis, siapa yang tahu jika dia itu seorang pebisnis berdarah biru,' batin Nadira.
"Aku memerintahkan Jeremy untuk mengirim kamu kesini bukan untuk melamun."
Ucapan Kai membuat lamunan Nadira buyar seketika.
"Tentu saja. Maaf," cicit Nadira.
Gadis itu mulai meraih peralatan medis yang sengaja ditinggalkan Dokter Jeremy di atas nakas. Mula-mula dia harus memeriksa tekanan darah Kai sembari menanyakan beberapa hal mengenai kesehatan pria itu.
Sesekali Nadira menggelengkan kepalanya heran ketika mendengar ucapan Kai yang berisi keluhan yang kadang tidak masuk akal.
"Apa kau selalu tersenyum begitu ketika sedang memeriksa pasien?" tanya Kai.
"Tentu saja. Aku harus melalui banyak perjuangan untuk sampai di titik ini. Bagiku, menjadi seorang dokter bukan hanya sekedar profesi untuk menghasilkan banyak uang tapi lebih dari itu. Profesi ini begitu mulia, aku menikmatinya sekalipun banyak sekali hal yang harus aku korbankan. Dan perlu aku beri tahu, hati yang gembira adalah obat yang paling mujarab untuk segala macam jenis penyakit. Untuk bisa menyembuhkan pasien, kita harus bisa membuatnya bahagia terlebih dulu dan itu bisa kita lakukan dengan memberinya senyuman yang tulus dan memberinya semangat hidup." Nadira melepaskan alat itu dari lengan Kai.
Kai hanya tersenyum mendengarkan ocehan wanita cantik di hadapannya. Pun ketika Nadira mulai menaikan piyama pasien berwarna biru langit yang dipakainya agar gadis itu lebih leluasa ketika memeriksanya.
Rasanya Kai begitu menyukai wajah itu, wajah yang dalam keadaan apapun selalu saja terlihat cantik. Ingin rasanya jarinya mencubit gemas hidung mancung gadis itu ketika ia menampilkan wajah serius saat mendengarkan detak jantung Kai melalui stetoskop.
"Semuanya normal, lantas bagaimana dengan punggung mu? Apa masih terasa sakit?" Nadira kembali memasukkan ujung stetoskop itu ke dalam saku sneli nya.
Kai tergagap, dia tak ingin gadis itu tahu jika sejak tadi dirinya terus memperhatikan Nadira.
"It ... itu. Punggungku?"
"Iya, apa masih terasa sakit? Atau ada keluhan lain lagi?"
"Sedikit lebih baik," balas Kai.
"Kau sudah menghabiskan sarapanmu?"
"Tentu saja, memang jam berapa sekarang ?"
"Ah iya, sebentar lagi bahkan sudah masuk jam makan siang."
Nadira membetulkan sedikit selimut yang menutupi tubuh Kai.
"Masih ada waktu, istirahatlah sebelum makan siang lalu minum obatmu agar kau cepat sembuh. Maaf," izinnya ketika membetulkan piyama Kai yang sedikit tersingkap.
Tubuh Kai membeku, berada di jarak sedekat ini dengan Nadira membuat detak jantungnya kembali bertalu tak beraturan. Ia sempat mencium wangi rambut gadis itu yang menguar di indra penciumannya karena pada saat Nadira membetulkan letak piyamanya tadi, rambut gadis itu terburai dan menutupi wajahnya.
Sungguh, ini bisa membuatnya gila.
"Good, teruslah tersenyum karena dengan begitu kau bisa cepat sembuh," seloroh Nadira.
Kai yang tersipu malu karena kedapatan sedang tersenyum oleh gadis itu pun bergegas membuang muka ke sembarang arah.
Dan detik berikutnya Gibran tak lagi melihat wajah sumringah atasannya karena saat pandangan keduanya saling bertemu, Kai melotot padanya.
Tatapan mendamba yang sejak tadi sempat dia lihat ketika mencuri pandang pada Kai, berubah menjadi tatapan memperingati, tatapan yang sama jika dirinya melakukan kesalahan.
Gibran menunduk sembari mengelus d**a.
"Baiklah kalau begitu, aku harus pergi sekarang. Kebetulan jadwal praktekku sudah berakhir," ungkap Nadira.
"Hm."
Sejujurnya Kai masih ingin melihat gadis itu tapi dia sendiri tidak memiliki alasan untuk menahan Nadira tetap berada di sana.
"Lekas sembuh. Lain waktu kita bisa makan siang atau makan malam bersama. Aku masih punya satu hutang padamu."
"Huh, kau masih saja membahas soal itu," decih Kai kesal.
Nadira terkekeh melihat wajah cemberut pria itu. Kakinya mulai melangkah dari sana akan tetapi baru tiga langkah, perhatiannya kembali teralihkan. Ponsel dalam sakunya kembali bergetar, menandakan adanya panggilan masuk.
Gadis itu menyibakkan rambutnya ke belakang sebelum menekan icon hijau.
"Ya, Bobb. Ada apa?" tanyanya pada si penelepon yang ternyata temannya, Bobby.
"Kau ada dimana sekarang? Bukankah jadwalmu hari ini sudah usai tapi kenapa kau tidak ada di ruanganmu?"
"Ya, aku ada di lantai lima belas. Baru selesai memeriksa pasien VVIP," ungkapnya.
"Ada yang perlu aku bicarakan, cepat turunlah! Aku tunggu di IGD."
"Membicarakan hal apa, kedengarannya serius sekali. Dan kenapa kau tidak menunggu di ruanganku saja," telisik Nadira.
"Ini mengenai Oom Arif," lirih Bobby.
"Papah, kenapa dengan Papah?" pekik Nadira.
Mendadak tubuh gadis itu melemah, dia segera mematikan sambungan telepon dan berlari dari sana. Samar dia mendengar teriakan Kai yang terus memanggilnya. Namun, dia terus berlari. Dia hanya ingin sampai di IGD secepatnya.
Di sisi lain.
"Gibran, ikuti dia! Cari tahu apa yang membuatnya terlihat begitu panik!" titah Kai pada asistennya.
"Baik, Tuan."
Kai menatap punggung Gibran sampai bayangan pria itu lenyap dari pandangannya.
Tidak ada yang bisa dia lakukan saat ini selain hanya menunggu berita dari Gibran.
Bersambung ....