Sepanjang perjalanan Nadira terus menghadap ke arah luar jendela kaca mobil yang ditumpanginya. Suasana canggung tercipta selepas Kai mengungkapkan rasa sukanya pada gadis itu. Sejak saat itu keduanya bungkam, saling diam dengan berbagai pertanyaan yang bergelayutan di benak masing-masing.
'Kenapa malah jadi canggung begini sih?'
Nadira memejamkan matanya, menghirup udara sebanyak mungkin. Berharap dengan udara yang masuk ke rongga dadanya bisa menghilangkan segala rasa yang berkecamuk yang sejak tadi melingkupinya.
Sesekali Kai melirik Nadira. Masih jelas dalam ingatannya saat tadi semburat kemerahan muncul di pipi Nadira begitu dia selesai mengungkapkan perasaannya.
Benar kata Gibran, Kai memang bodoh dalam urusan cinta, setelah terang-terangan mengatakan kalau dia menyukai Nadira, sekarang bukannya melakukan sesuatu, pria itu malah diam saja.
Suasana dalam mobil itu sungguh sangat hening, hanya terdengar hembusan nafas keduanya saja yang terdengar lembut sampai tiba-tiba suara dering ponsel membelah keheningan yang tercipta.
"Ponselmu," kata Kai setelah yakin jika nada dering tersebut berasal dari ponsel milik Nadira.
Secepat kilat Nadira menyambar benda tipis tersebut dalam tasnya.
Kai bisa menangkap pembicaraan yang serius antara Nadira dengan seseorang yang tidak dia ketahui. Yang jelas, sesuatu pasti telah terjadi, pikir Kai.
"Ada masalah?" tanya Kai begitu melihat Nadira selesai dengan sambungan teleponnya.
"Ya, hm ... apa kau bisa mengantarku ke rumah sakit saja?" pinta Nadira.
"Tentu saja, memang ada apa?"
"Aku harus segera melakukan operasi darurat. Ada pasien yang mengalami kecelakaan cukup parah hingga operasinya harus dilakukan saat ini juga."
"Baiklah, di depan kita bisa putar balik," kata Kai.
Kai menekan pedal gas mobilnya menuju rumah sakit. Padahal tadi mereka hampir sampai di rumah Nadira, jadilah Kai merasa perlu sedikit mengebut karena jarak menuju rumah sakit cukup jauh.
"Apa kau sering mengalami kejadian seperti ini? Kau bilang sedang cuti tapi masih saja direpotkan dengan hal mendadak seperti ini," seloroh Kai.
"Kamu tidak boleh berkata begitu, tidak baik."
"Kenapa memangnya?"
"Aku begitu menikmati profesiku. Ada kebahagiaan tersendiri yang bisa aku rasakan setelah melihat keadaan pasien menjadi lebih baik setelah aku tangani. Aku merasa menjadi seorang dokter seutuhnya setelah melakukan kewajibanku. Ini bukan hanya sekedar cita-citaku, tapi ini telah menjadi jalan hidup yang telah aku pilih. Mungkin sama sepertimu, kau pasti seringkali mengabaikan keluargamu karena kesibukanmu. Dan aku bisa melihat kalau kau melakukannya lebih karena tanggungjawabmu terhadap orang-orang yang menggantungkan hidupnya dari perusahaanmu, bukan semata karena uang."
Kai terlihat serius mendengarkan penjelasan Nadira.
'Tidak salah jika aku jatuh cinta padamu, hatimu sungguh tulus kepada siapapun. Aku bahkan rela jika aku harus jatuh sejatuh-jatuhnya dalam kubangan cintamu.'
"Ya, ucapanmu ada benarnya juga. Kau sering mendapat panggilan operasi darurat seperti ini?"
"Tidak juga, tapi memang pernah. Dokter Juna yang seharusnya sedang bertugas malam ini sedang berhalangan hadir karena istrinya sedang melahirkan. Kebetulan Dokter Jeremy dan aku yang masih belum sold out di departemen bedah saraf jadi mau tidak mau, kami harus mengalah dengan rekan kami." Nadira menyelipkan sedikit candaan di sela-sela ceritanya.
"Sold out, kau pikir kau ini barang apa?" Kai terkekeh.
"Katakanlah begitu, karena aku dan Dokter Jeremy masih single." Nadira tertawa kecil.
"Hah, ada-ada saja."
Kai kembali fokus dengan kemudinya.
'Dia terlihat seperti remaja dengan pakaian seperti itu, sungguh sangat berbeda jika sedang memakai snelli.'
Mobil Kai memasuki pelataran rumah sakit. Tergesa ia melepas sabuk pengamannya dan berlari mengitari mobil untuk membukakan pintu untuk Nadira.
"Awas kepalamu," pesannya sambil menaruh tangannya di atas kepala Nadira agar gadis itu tak terbentur atap mobil.
"Kau tidak perlu melakukannya. Orang akan rawan terbentur atap mobil jika hendak masuk, tapi kan aku mau keluar."
"Sudah jangan banyak bicara. Lekaslah masuk dan tolong pasiennya ya."
"Aku akan berusaha semampuku tapi semuanya tetap pada kuasa Yang Di Atas," balas Nadira.
"Ya. Aku bisa menunggumu," kata Kai menawarkan diri.
"Tidak, jangan! Aku tidak tahu operasinya akan berlangsung lama atau tidak jadi sebaiknya kau pulang saja."
"Benar ini?" tanya Kai memastikan.
"Hm, aku bisa minta supir untuk menjemputku nanti. Kau pulang saja."
"Baiklah kalau begitu."
"Terimakasih untuk hari ini, aku akan menghubungimu nanti sepulang aku dari rumah sakit."
Kai masih berdiri di sana sampai bayangan Nadira lenyap dari pandangannya. Rasanya hari ini dia merasa sangat bahagia karena telah menghabiskan waktu dengan gadis yang telah menjadi pujaan hatinya.
.
.
Sore itu cuaca masih terasa panas, gumpalan awan putih menyerupai kapas terlihat begitu anggun menemani sang surya yang masih gagah memendarkan cahayanya.
Nadira telah selesai membereskan peralatan kerjanya. Gadis itu meraih ponsel dan juga tasnya, hendak pergi meninggalkan ruangannya.
"Kau dimana?" tanyanya dengan ponsel yang terselip di telinganya.
"Aku sudah stand by di parkiran, mau aku jemput juga sampai disitu?" timpal seseorang dari ujung telepon.
"Tidak perlu, aku sedang berjalan ke sana."
Nadira kembali memasukkan ponselnya ke dalam saku. Hari ini hari ke lima setelah kejadian pengungkapan isi hati Kai sewaktu di restoran, malam itu. Selama itu pula Nadira tidak pernah membahas mengenai perasaan Kai terhadapnya.
Bersyukur, kini hubungan keduanya sudah semakin dekat. Hampir tiap malam Kai melewatkan waktu sebelum tidur untuk berbincang singkat dengan pujaan hatinya. Dengan begitu setidaknya Kai bisa sedikit leluasa mengekspresikan diri. Dan sore ini, Kai sengaja datang menjemput Nadira. Setelah melalui perdebatan yang cukup alot dengan Gibran, tentu saja.
Gibran pun mau tidak mau harus mengalah dengan mengorbankan dirinya untuk tetap tinggal di kantor lebih lama lagi. Semenjak acara pendekatan yang dilakukan Kai dengan Nadira, ada banyak pekerjaan tambahan yang harus Gibran ambil alih.
Kai kembali mengulum senyum saat dilihatnya Nadira tengah berjalan semakin mendekatinya. Gadis itu, tak peduli sebanyak apapun, sesering apapun Kai melihatnya, dia tetap saja membuat Kai selalu mengalami kejadian seperti ini. Kai selalu saja kesulitan mengontrol dirinya, jantungnya tak bisa dikondisikan, selalu saja bertalu dengan cepat. Belum lagi darahnya yang berdesir, gugup, Kai masih harus direpotkan dengan perasaan bahagia yang menggelora yang siap membuatnya kehilangan kewarasannya kapan saja. Perasaan yang sama setiap kali dia melihat Nadira dan bodohnya, Kai selalu tak bisa mengendalikan semua itu.
"Apa kau menunggu lama?" cicit Nadira begitu sudah tidak ada lagi jarak diantara keduanya.
"Tidak juga, silakan masuk," ucap Kai seraya membukakan pintu mobil. Seperti biasa, tangannya selalu terulur di dekat atap mobil, memastikan Nadira tak terbentur ketika masuk.
"Terimakasih."
Kai menutup pintu mobil dengan hati-hati kemudian dia sendiri masuk dan segera memasang sabuk pengamannya.
"Mau mampir makan?" tawar Kai.
"Aku belum lapar." Nadira menggeleng.
"Kenapa wajahmu muram begitu?" telisik Kai.
"Aku hanya lelah," cicit Nadira.
"Baiklah, aku akan mengantarmu pulang."
"Jangan!" cegah Nadira.
Kai memandangi Nadira dengan tatapan penuh tanda tanya.
"Aku sebenarnya sedang ... ah, bagaimana mengatakannya padamu ya. Suasana hatiku sedang buruk," ujar Nadira, menjawab pertanyaan yang tak sempat Kai lontarkan.
"Apa kau mau pergi ke suatu tempat?"
"Kemana?" Nadira balik bertanya.
"Kau akan tahu nanti," balas Kai singkat.
"Baiklah."
Kai melajukan kendaraannya menuju suatu tempat. Mereka terlibat perbincangan hangat di sepanjang perjalanan, saling menanyai kesibukan masing-masing. Kai menangkap sorot mata lelah yang terpancar dari kedua telaga bening Nadira sekalipun gadis itu berusaha menyembunyikannya dengan terus tersenyum pada Kai.
"Kita telah sampai," kata Kai.
Pria itu melepaskan sabuk pengaman yang melekat di tubuhnya lalu berganti membantu melepaskan sabuk pengaman Nadira. Terlalu asyik berbincang hingga tak sadar kini keduanya telah berada di tempat yang dituju.
Cuaca mulai sejuk, semilir angin yang bertiup terus menggoyangkan surai panjang Nadira. Keduanya berjalan berdampingan.
"Kenapa kau mengajakku ke sini?" tanya Nadira. Gadis itu menyapu pandangannya ke sekeliling.
"Aku rasa kau hanya butuh sedikit ketenangan. Pemandangan, udara dan bau pantai bisa membuat suasana hatimu menjadi lebih baik."
"Semoga saja."
Mereka terus melangkah mendekati bibir pantai. Nadira sedikit terseok mengingat dia masih memakai sepatu hak tinggi, terlebih saat hak sepatunya merambah pasir yang lembab. Nadira kehilangan keseimbangan tubuhnya, untung dengan sigap Kai menangkapnya hingga tubuh Nadira tidak sampai jatuh di atas pasir.
Nadira bisa mencium aroma musk yang menyeruak dari tubuh Kai. Bulu kuduknya meremang saat hembusan nafas Kai menerpa kulit lehernya. Jarak keduanya sangat dekat hingga hidung Kai menggesek pucuk hidung Nadira.
"Lebih berhati-hatilah."
Tak ingin terjebak dalam suasana yang bisa semakin mempersulitnya, Kai sedikit menjauhkan tubuhnya.
"Sepatuku," cicit Nadira manja.
"Ya, aku lupa kalau akan mengajakmu ke sini, tahu begitu kita bisa mampir ke minimarket untuk membeli sandal jepit terlebih dulu."
"Kau tidak apa-apa?" tanya gadis itu setelah melihat Kai berulangkali mengelus dadanya.
'Tidak apa-apa bagaimana? Bertemu denganmu saja rasanya jantungku sudah mau copot, apalagi kalau harus bertatapan dengan jarak sangat dekat seperti tadi?'
"Ehm ... tidak apa-apa." Kai berdehem.
"Kau terus memegangi dadamu, aku trauma jika melihat seseorang memegangi dadanya. Aku melihat seorang pasien meninggal tak lama setelah memegangi dadanya dan kesakitan karena serangan jantung. Besok pergilah ke rumah sakit untuk mengecek jantungmu," ocehnya panjang lebar.
"Ya, sepertinya aku memang harus segera memeriksakan jantungku."
"Jadi dadamu benar-benar sakit?" seru Nadira, kaget.
Reflek dia menarik tangan Kai. Mendekatkan telinganya di sana seolah sedang memastikan sesuatu.
'Ya, dan kau yang harus bertanggungjawab atas jantungku. Kau sendiri yang selalu membuatku sport jantung.' lagi-lagi Kai membatin.
"Kenapa detak jantungmu tak beraturan seperti ini? Cepat duduklah!"
Nadira menyeret lengan Kai dan menyuruhnya duduk di bangku yang kebetulan berada tak jauh dari tempat mereka.
"Kai, jangan diam saja, katakan padaku apa ada yang sakit?" merasa panik, Nadira memeriksa denyut nadi Kai.
"Aku baik-baik sa ...,"
"Tapi detak jantungmu sangat cepat, kau seperti orang sedang ...."
Nadira tak melanjutkan ucapannya karena tepat pada saat dia mendekatkan telinganya di d**a Kai, secepat kilat Kai meraihnya dan malah membenamkan kepalanya di sana. Nadira mengangkat kepalanya namun Kai kembali membimbing kepalanya hingga berakhir seperti sebelumnya.
"Kau yang sudah membuatku seperti ini," bisik Kai seraya mengusap rambut Nadira.
"Aku? Memang apa salahku?"
Lagi-lagi Kai membenamkan kepala Nadira di dadanya saat gadis itu masih berusaha untuk memberontak.
"Kau ini polos atau bagaimana? Bukankah aku sudah pernah mengatakannya padamu tempo hari kalau aku menyukaimu."
Nadira menjauhkan kepalanya dari Kai, beruntung Kai tidak lagi menghalanginya kali ini. Tatapan keduanya pun saling beradu. Kai dapat dengan leluasa memandang wajah cantik Nadira dengan anak rambut yang terus berkibar tertiup angin, hampir menutupi wajah itu.
"Kamu ...,"
"Aku tidak pernah main-main dengan ucapanku, jadi tidak ada alasan lagi untuk kamu mengolok-olok aku dengan mengatakan kalau aku sedang bercanda," potong Kai. Sama sekali tak ada keraguan sedikitpun saat dia mengatakan hal tersebut. "Aku jatuh cinta padamu."
Dan kata-kata terakhir yang diucapkan Kai membuat Nadira mematung. Dia tidak menyangka akan mendapatkan pengakuan seperti itu dari Kai. Selama beberapa hari ini, Nadira berpikir jika Kai menyukainya hanya sebatas teman, tidak lebih. Namun dugaannya salah.
Di tengah pikirannya yang masih sibuk bergumul dengan berbagai macam pertanyaan, Kai kembali membuat Nadira terkejut saat mendadak pria itu turun dari bangku. Kai membiarkan celananya kotor bermandikan pasir saat dia melipat salah satu kakinya untuk berlutut di depan Nadira.
Sementara Nadira hanya mematung, dibiarkan tangannya digenggam oleh Kai. Tangan kokoh yang biasanya selalu digunakan untuk menolong Nadira, bahkan bergetar hanya dengan satu sentuhan saja. Kai menatap Nadira begitu intens.
"Aku mencintaimu, aku sendiri tidak tahu sejak kapan perasaan itu muncul karena yang aku tahu ... sejak hari dimana kita bertemu, sejak itu aku terus memikirkanmu, bayanganmu ketika sedang menangis, saat kau tersenyum padaku, itu terus menghantuiku. Kau tidak pernah lenyap dari mataku seberapapun kerasnya aku berusaha melupakanmu. Aku seperti orang bodoh menjalani keseharianku jika sehari saja aku tidak melihatmu. Hari ini aku telah memantapkan hatiku, izinkanlah aku untuk memilikimu."
Nadira menatap kedua bola mata Kai, mencoba mencari jawaban atas kebenaran ucapan pria itu. Dua buah telaga bening itu mungkin bisa menenggelamkannya jika Nadira terus mencoba untuk menyelaminya lebih dalam lagi.
Hingga beberapa saat kemudian. Kai begitu terkesiap saat Nadira menarik paksa tangannya yang masih berada dalam genggaman Kai.
Sorot mata Kai yang semula begitu teduh pun berubah menjadi sorot mata penuh tanda tanya.
"Maaf ...," cicit Nadira.
Bersambung ....