"Kau ...." Nadira membuang muka kesal.
Gadis itu sama sekali tidak menyangka kalau Alby berani menemuinya lagi. Terlebih secara diam-diam begini mengingat Alice pasti tidak akan mengizinkannya untuk kembali menemui mantan tunangannya sendirian seperti ini.
"Untuk apa kau kemari!" ketus Nadira.
"Aku minta maaf atas kelakuan Alice tadi," jawab Alby. Tangannya masih menggantung di udara karena Nadira masih belum meraih sapu tangan yang dia sodorkan.
"Tidak perlu, aku baik-baik saja. Pergilah!"
"Tapi kau menangis karena ulahnya."
'Dan semua ini berawal darimu. Kaulah sumber kesakitan itu, Alby.' Nadira memaki Alby dalam hatinya.
"Aku ... tolong jangan menangis. Aku merasa ...," Alby terbata, dia kebingungan saat ingin melanjutkan ucapannya.
Satu sisi dia ingin sekali bisa menenangkan Nadira akan tetapi di sisi lain, dia tidak ingin membuat Nadira semakin tersakiti dengan sikapnya yang plin-plan. Alby tidak bisa lagi berbuat apa-apa setelah dia memutuskan untuk meninggalkan gadis itu.
"Terima ini dan hapus air matamu!" Alby meraih tangan Nadira dan menaruh sapu tangan tersebut dalam genggaman gadis itu.
"Hei!" teriak seorang gadis dengan lantangnya.
Nadira dan Alby reflek menoleh secara bersamaan.
"Dasar wanita tidak tahu malu, dia sudah menjadi milikku kenapa kau masih saja menggodanya? Tidakkah kau lihat ini." Alice menunjuk perutnya yang sedikit membola. "Ini cukup menjadi bukti kalau Alby lebih mencintaiku, itu sebabnya dia meninggalkanmu. Kami akan menikah dalam beberapa hari ini jadi kuminta, tolong jaga sikapmu!" maki Alice.
"Diam kataku! Kau terlalu banyak bicara hari ini," omel Alby.
"Kau bahkan berani membentakku," balas Alice dengan nada tak kalah tinggi. "Hanya karena wanita jalang ini."
Plakk!
Nadira memejamkan matanya, bunyi tamparan yang cukup keras membuatnya ngilu. Nadira melihat Alice menitikkan air mata saat ia kembali membuka matanya.
"Kau berani menamparku hanya karena w************n ini!" teriak Alice murka.
"Itu karena kau pantas mendapatkannya, kau tidak pantas berkata seperti itu pada Nadira." Alby menyahut.
'Di sini siapa sebenarnya yang w************n? Astaga ... benar-benar menjijikkan. Bisa gila aku.' Nadira meraih tas selempangnya, berniat pergi dari sana.
Baru beberapa langkah dari sana, Nadira terpaksa menghentikan kakinya saat tiba-tiba dia merasakan sesuatu mengalir di tubuhnya. Alice menuangkan isi cangkirnya hingga cairan berwarna cokelat kehitaman itu kini membasahi sekujur tubuhnya.
'Ya Tuhan, aku telah berusaha berdamai dengan mereka, selama ini aku selalu diam karena aku tidak ingin menyakiti mereka. Apa bedanya aku dengan mereka jika aku membalas perbuatan mereka? Tapi bukan berarti mereka bisa memperlakukan aku seenaknya. Jika diperbolehkan untuk meminta, aku mohon ... jangan pernah pertemukan aku lagi dengan dua orang ini, Tuhan.' Batin Nadira.
"Alice! Kau keterlaluan." Alby mendekati Nadira untuk mengecek keadaan gadis itu.
"Kau tidak apa-apa?" tanyanya.
"Cukup! Mulai detik ini, tolong ... jangan pernah menemuiku lagi dan aku harap sekalipun kita bertemu di kemudian hari, tolong bersikaplah seakan kita tidak saling kenal," ucap Nadira.
"Tidak salah? Bukannya kamu yang selalu mencari-cari kesempatan untuk bisa menemui calon suamiku? Kau pasti sengaja kan menguntit kami? Jika tidak, kenapa kita bisa bertemu di toko buku, itu pasti karena kau telah mengetahui sebelumnya jika kami akan ke sana."
Nadira menghela nafas panjang, dia sungguh bingung harus bagaimana. Mau pergi pun dia masih di cegah. Sebenarnya dia sudah sangat muak untuk meladeni dua makhluk menyebalkan itu, terlebih saat dia mendengar bisik-bisik pengunjung cafe yang terganggu akibat keributan tersebut dan mulai menggunjing dirinya.
"Kenapa diam saja? Aku minta padamu, tinggalkan calon suamiku dan biarkan kami hidup bahagia." Alice kembali membuka mulutnya. "Menyingkirlah dari kehidupan kami untuk selamanya, wanita jalang!"
Nadira benar-benar bisa hilang akal jika terlalu lama di sana, dia sudah tidak sudi melihat wajah Alice dan Alby lagi. Dan, tepat saat dia kembali mengayunkan kakinya, mendadak seseorang muncul lalu memakaikan selembar jas padanya.
"Kenapa kau pergi?"
Nadira menoleh ke arah sumber suara. Dilihatnya paras rupawan seorang pria yang sudah dia kenal. Kai sedang berdiri dengan tegaknya seraya melemparkan senyum terindah padanya.
"Kau tidak bersalah, jadi kenapa kau harus pergi?" ulang Kai.
"Kai ... aku sama sekali tidak ...,"
"Aku tahu," potong Kai. Pria itu mendekap bahu Nadira dan kemudian beralih menatap Alice. "Hei Nona, kau bertingkah layaknya seekor burung merak akan tetapi kelakuanmu mencerminkan sikap seorang iblis. Semua makian dan hinaan yang kau tujukan untuk Nadira, itu lebih pantas jika kau gunakan untuk dirimu sendiri. Aku harap kau tidak lupa bagaimana kau menggunakan cara murahan untuk mendapatkan Alby. Kau tenang saja, aku pastikan kau tidak akan kehilangan Alby jadi berhenti menyalahkan Nadira atas semua yang telah terjadi."
Kai mengeratkan pelukannya pada Nadira, dia bisa mendengar saat ini gadis itu tengah menangis tertahan.
"Tuan, Kai. Sebenarnya ini hanya kesalahpahaman saja," alibi Alby.
"Cukup! Aku tidak ingin mendengarkan apapun itu dari mulutmu karena kau hanyalah seorang laki-laki pengecut."
Nyali Alby menciut seketika. Kai menyorotnya dengan tatapan dingin yang seakan bisa membunuhnya dalam kebekuan.
Sementara Alby dan Alice terpaku dengan kedatangan Kai yang tidak mereka perkirakan sebelumnya. Keduanya saling beradu pandang.
"Bukankah seorang pengkhianat juga akan mendapatkan pasangan sesama pengkhianat juga," sambung Kai. "Jadi tidak usah khawatir. Nadira sama sekali tidak selevel dengan kalian, dia berada di kelas yang jauh tingkatannya di atas kalian jadi jangan pernah kalian berani menyakiti atau bahkan menghinanya lagi dengan mulut kotor kalian."
Alby juga Alice yang telah mengetahui siapa Kai, pun tak bisa berkutik.
"Sebaiknya kita pergi dari sini," bisik Kai lembut pada Nadira.
Nadira merasakan hatinya sedikit menghangat saat Kai kembali menggendong tubuhnya, ini kali kedua Kai melakukan hal tersebut padanya. Kai mulai mengayunkan kakinya meninggalkan tempat terkutuk itu namun mendadak pria itu teringat sesuatu. Kai membalikkan badannya, masih dengan tubuh Nadira dalam dekapannya.
"Jika kau punya kaca di rumah, bercerminlah. Kau akan lihat seperti apa dirimu yang sesungguhnya. Rupamu bahkan lebih buruk dari monster sekalipun dan aku harap kau tidak malu jika kau telah melihat wujud aslimu. Sering-seringlah bercermin," nasehat Kai pada Alice sambil melemparkan tatapan tajam pada gadis itu.
Satu tangan Alice mengguncang lengan Alby sementara satu tangannya lagi meremas kuat bagian bawah dress yang dipakainya. Alice berharap Alby akan membela akan tetapi jangan mimpi, karena Alby tidak mungkin berani menginterupsi Kai. Di sini, mereka berdua lah yang salah.
"Kalian semua salah jika menggunjing gadis ini," kata Kai sambil melihat pengunjung yang sibuk memperhatikan kejadian itu. "Dia hanyalah korban dari pengkhianatan dua orang itu." Kai menunjuk di mana Alice dan Alby tengah berdiri, dengan dagunya.
Merasa telah puas memberikan Alice sedikit pelajaran, Kai kembali melangkahkan kakinya. Dia tersenyum tipis saat mendengar para pengunjung mulai bergosip tentang pasangan pengkhianat itu. Ada kebahagiaan tersendiri saat Kai melihat beberapa dari mereka melemparkan tatapan sinis pada Alby dan juga Alice, ada yang menyorakinya bahkan ada yang melempari keduanya dengan botol air mineral.
"Tidak apa-apa. Menangislah, tidak perlu ditahan begitu nanti yang ada kamu akan semakin sakit," kata Kai begitu keduanya telah masuk ke dalam mobil Kai.
Sepulang dari menghadiri undangan pernikahan salah satu rekan bisnisnya, Kai berniat untuk mencari salah satu buku yang bisa dia baca sebelum tidur. Beberapa bulan terakhir dia tidak bisa tidur, bukan karena insomnia melainkan karena bayangan Nadira terus saja menghantuinya. Kai berharap dengan membaca sebelum tidur bisa mengalihkan perhatiannya dari gadis itu.
Belum sempat Kai memasuki toko buku namun dia melihat sosok yang sangat dikenalnya itu sedang berada ditengah keributan dalam cafe saat dia sedang melintas di sana, jadilah dia segera menghampiri Nadira.
Lupakanlah soal buku karena apa yang terjadi saat itu lebih penting daripada sebuah buku.
"Hei." Kai menangkup wajah Nadira dengan kedua tangannya. "Bukankah kau juga pernah menangis di depanku sebelumnya? Jadi jangan ragu, menangislah!" Kai menyelipkan sedikit candaan dalam ucapannya.
Tangis Nadira pecah, dia merasa sangat kecewa dengan hidupnya saat ini. Seumur hidupnya, Nadira belum pernah dipermalukan seperti ini dan kejadian di cafe tadi benar-benar membuat dunianya seakan gelap.
Tubuh Kai membeku ketika Nadira memeluknya, bukan sebuah pelukan biasa namun pelukan erat nan hangat. Tak bertahan lama karena Kai segera membalas pelukan Nadira begitu dia menyadari jika saat ini Nadira sangat membutuhkan dukungan darinya. Diusapnya lembut punggung gadis itu, membiarkan lelehan air mata membasahi kemeja yang membalut tubuhnya.
Sementara Nadira masih menangis sesenggukan, Kai berjuang kuat untuk menetralkan gejolak dalam dirinya. Tidak dipungkiri jika Kai merasa melambung ke awan karena dipeluk oleh wanita yang menjadi pujaan hatinya.
Kai melajukan mobilnya setelah beberapa saat lalu Nadira menghentikan tangisnya.
"Ada apa?" tanyanya saat memergoki Nadira mencuri pandang ke arahnya sesekali.
"Tidak ada." gadis itu menggeleng pelan.
"Katakan saja, terkadang seseorang akan merasa lega setelah menceritakan masalahnya pada orang lain. Orang yang kau percayai, tentu saja," balasnya.
Ada begitu banyak pertanyaan dalam benak Nadira, tentang kenapa Kai bisa berada di sana tadi? Apa saja yang diketahui olehnya dan apa pendapatnya setelah mendengarkan pertengkaran yang terjadi antara dirinya dan Alice. Namun, rasanya dia enggan untuk bertanya dan lebih memilih untuk menyimpan dalam hati.
"Sekali lagi kau menyelamatkan harga diriku," cicit Nadira.
"Aku kira kau mau bicara apa." Kai tergelak lalu mengacak rambut Nadira lembut.
"Kenapa sejak tadi aku perhatikan kau terus tersenyum?" tanya Nadira sarkastik. " Apa kau sedang mentertawakan aku?"
"Sstt!" jari telunjuk Kai berada tepat di depan bibir Nadira. "Tidak baik berpikiran buruk pada orang lain. Aku tidak sejahat itu, mentertawakan kesedihanmu."
"Lantas?"
"Aku hanya senang karena kau telah kembali bersikap seperti biasa." Kai kembali fokus mengemudi.
"Memang seperti apa biasanya aku?"
"Kau selalu ceria, kau ramah dan juga tulus pada semua orang, siapapun itu."
"Kau bicara seakan-akan kau telah lama mengenalku," decak Nadira.
"Beberapa bulan mengenalmu dan sering bertemu denganmu cukup bagiku untuk menilai kepribadianmu," balas Kai.
"Jangan cepat menilai orang. Jangankan hitungan bulan, orang yang telah bertahun-tahun saling mengenal pun terkadang bisa salah menilai."
Kai menangkap kesedihan dalam ucapan yang dilontarkan Nadira.
Hening sesaat.
"Kai ...,"
"Hm. Ada apa?"
"Kau mau membawaku kemana?" tanya Nadira saat melihat Kai membawa mobilnya melewati jalanan yang berlawanan arah dengan rumahnya.
"Kau perlu mengganti pakaianmu. Memang kau mau pulang dengan keadaan berantakan seperti itu?"
'Benar juga yang dikatakan Kai, Mamah sama Papah pasti curiga dan bertanya macam-macam nanti.'
"Lalu kamu akan membawaku kemana?"
"Ke hotel," jawab Kai asal, yang kemudian dihadiahi sebuah tatapan tajam dari gadis di sampingnya.
"Aku bukan orang jahat, tenang saja."
"Siapa yang tahu?" Nadira menggendikan bahunya seraya mencebikkan bibirnya. Membuat Kai gemas dibuatnya.
Mobil yang ditumpangi kedua insan itu telah sampai di pelataran parkir sebuah pusat perbelanjaan.
"Kau tunggulah di sini," pesan Kai.
"Hm." Nadira mengangguk.
Kai turun dari mobilnya dan berjalan masuk ke dalam gedung tersebut.
Sambil menunggu, Nadira memilih untuk mengecek ponsel yang sejak tadi dia biarkan tersimpan rapi dalam tasnya. Ada beberapa pesan masuk, selain dari Ibunya, ada beberapa pesan juga yang dikirimkan oleh Moza dan juga Bobby.
Selesai membalas pesan tersebut satu persatu dia kembali memasukkan ponselnya ke tempat semula, bersamaan dengan itu Kai telah kembali dengan membawa sebuah paper bag berukuran besar ditangannya.
"Jangan melihatku seperti itu, aku tahu aku sangatlah tampan," cetus Kai yang mendapati Nadira terus menatapnya.
"Dasar!" gumamnya.
Nadira mengakui kalau Kai memang tampan, sangat tampan malahan dan Alby tidak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan Kai.
Sial! lagi-lagi Nadira mengutuk dalam hati, kenapa dia masih saja mengingat Alby.
"Kenapa kau ikut ganti baju?"
Nadira melihat kaos warna tosca yang membalut d**a bidang Kai. Kaos yang bahkan tidak mampu membendung otot-otot perutnya yang menonjol.
Untuk pertama kalinya Nadira melihat apa yang orang sebut dengan 'roti sobek' yang tercetak jelas di balik kaos yang dikenakan pria itu.
"Kemejaku kan basah tadi terkena air mata sama ingusmu," jelas Kai.
"Sembarangan bicara! Mana ada ingus, aku memang menangis tapi tidak sampai ...,"
"Ya ... ya, aku hanya bercanda. Pergilah ganti bajumu."
"Disini?" tanya Nadira.
"Kalau kau mau."
"Enak saja!" desis Nadira.
"Kau bisa ganti di kamar mandi. Ada di sebelah sana." Kai menunjuk tempat yang dia maksud.
Tanpa bertanya lagi, Nadira pun segera menuju tempat tersebut. Tak butuh waktu lama baginya untuk berganti pakaian. Kini gadis itu telah kembali ke dalam mobil.
Kai terus menatap Nadira tanpa berkedip. Gadis itu terlihat sangat cantik mengenakan kaos lengan pendek warna kuning cerah yang dipadukan dengan button skirt selutut berwarna hitam. Ditambah sepatu boot sebatas mata kaki dan topi baret dengan warna senada, makin membuat penampilannya memukau mata siapa saja yang melihatnya.
"Aku tahu aku sangat cantik sampai-sampai matamu hendak keluar karena terus memelototiku," gurau Nadira, mengembalikan ucapan Kai padanya tadi.
Kai tertawa, tidak seperti tawa biasanya. Kali ini pria itu tertawa lepas.
"Ternyata kau sangat manis jika sedang tertawa. Sering-seringlah tertawa, jangan terlalu serius dan hilangkan wajah datar juga dinginmu itu. Kau membuat orang yang melihatmu menjadi takut."
Kai tidak tahu harus bahagia atau malah sedih menanggapi ucapan Nadira. Hal tersebut tidak bisa dikatakan sebagai pujian, tapi juga bukan sebuah hinaan.
"Hm ... Kai," panggil Nadira lirih.
"Ini ...," Nadira menggaruk kepalanya yang tidak gatal.
"Ini, apa? Bicara yang jelas!"
"Ini, hm ... pakaian dalamnya apa kamu juga yang memilihnya untukku?" tanya Nadira hati-hati.
"Tentu saja tidak," balas Kai.
"Lalu bagaimana ukurannya bisa pas begini?"
"Aku hanya mengira-ngira saja. Aku bilang pada pelayan tokonya kalau ukuran dadamu segini."
Nadira melotot melihat Kai mengangkat tangannya ke udara dan melakukan gerakan seolah sedang menangkup sesuatu.
"Kai!" seru Nadira.
"Kenapa?" tanyanya heran. "Kalau celana dalammu aku juga mengira-ngira dari ukuran pinggangmu saja pada saat kamu memelukku tadi."
"Kai."
"Apalagi? Hotpants juga aku minta yang warna hitam dan yang paling mahal, apa masih kurang?"
"Bukan itu," desis Nadira.
"Lalu?"
"Bisa-bisanya kau mengatakan hal tersebut pada pelayan toko, memang kau tidak malu?"
"Aku bilang pada mereka kalau aku membelinya untuk istriku," ucap Kai, bangga.
"Apa? Istri?"
"Tidak perlu kaget begitu, kau tentu masih ingat kejadian waktu di lift kan? Aku dikira menjahati istriku sendiri."
Kai tersenyum jika mengingat kejadian konyol saat pertama kali mereka bertemu.
Bersambung ....