bc

Kereta Patah Hati

book_age12+
1.6K
FOLLOW
14.2K
READ
love-triangle
HE
goodgirl
boss
stepbrother
drama
bxg
female lead
city
others
like
intro-logo
Blurb

Hatiku patah. Aku terluka. Kesekian kalinya, gerbong menjadi saksi. Sekali, dua kali, tiga kali, aku menangis dalam hati. Ya, mana mungkin aku membiarkan orang-orang asing melihat air mataku membasahi pipi.

Sepertinya, kereta api selalu menjadi teman kegalauanku. Atau, memang aku yang terlalu nyaman bersamanya ketika kesedihan melanda.

Rasanya, mereka harus aku beri nama. Kereta Patah Hati.

-Asri-

chap-preview
Free preview
Bagian-1(Kereta Patah Hati)
Kulirik jam di tangan. Baru setengah delapan. Kereta Joglosemarkerto yang akan membawaku ke kota di mana aku dibesarkan belum juga tiba di stasiun Tawang, Semarang. Di tiket tertera kalau kereta akan membawaku pukul 08.10 nanti. Waktu yang tersisa aku gunakan untuk membuka social media instagram. Bodoh! Kenapa aku begitu bodoh? Sudah tahu dengan mencari tahu tentangnya akan membuat luka ini kembali menganga, tapi kenapa aku tetap melakukannya. Kemarin pagi, saat aku sedang bermalasan di kostan, dia datang. Ekspresi wajahnya terlihat berbeda. Tak seperti biasanya. Kami duduk di lantai, di sebelah ranjang. Dia memang sudah biasa masuk kamar kostku, tetapi pintu kamar tetap aku buka agar tidak menimbulkan prasangka buruk penghuni kost lain. "Ke mana saja?" tanyaku. Sudah satu minggu lebih dia tidak menemuiku, sibuk katanya, ketika aku bertanya melalui chat. "Sibuk," jawabnya singkat. Ya, kan. Pasti begitu jawabannya. "Aku tahu, itu yang kamu katakan kemarin di chat. Apa sekarang sudah tidak sibuk?" Aku pandangi wajahnya. Matanya tidak mau menatap mataku. Tak seperti biasanya. "Masih ... tapi aku sempatkan untuk menemuimu." Aku tersenyum. "Terima kasih." Kuraih tangannya, lalu menggenggamnya. Dia mulai mau memandangku. Entah ada apa dengannya. Matanya seperti menyimpan sesuatu. "Kenapa?" Suara rem kereta mengagetkanku. Kuusap wajah dengan telapak tangan. Melafalkan istighfar beberapa kali. Aku harus melupakannya. Aku berdiri di peron tiga sambil menunggu penumpang yang turun. Karena kereta yang akan kutumpangi berada di jalur empat. Di tiket tertera, aku mendapat kursi 17B di gerbong empat. Setelah penumpang yang turun habis, aku bersama penumpang yang lain mulai masuk ke gerbong. Kursiku berada di dekat toilet. Karena kelas ekonomi, tempat duduk saling berhadapan, 2-2. Penumpang di depanku adalah dua bapak-bapak yang terlihat sudah berumur. Sementara tempat duduk di sebelahku masih kosong. Penumpang yang lain mulai masuk memenuhi kereta. Mereka meletakkan barang-barang miliknya di bagasi yang terletak di atas tempat duduk, di bawah langit-langit kereta. Suara anak-anak mulai muncul. Bersahutan dengan suara orang tuanya. Senang rasanya kalau bisa memiliki makhluk kecil itu. Sayang, meskipun usiaku sudah dua puluh lima tahun, rasanya harapanku untuk memiliki satu atau beberapa dari mereka masih jauh. Tidak lama, muncul pemuda yang dengan grasak-grusuk duduk sampai menyenggolku. "Sorry," ucapnya. Aku hanya tersenyum kaku. Dia terlihat bernapas tersengal. Sepertinya, dia baru saja sampai di stasiun saat jam keberangkatan kereta sudah hampir tiba. "Turun di mana?" tanyanya. "Di Purwokerto." "Wah, sama kalau gitu. Ada acara apa?" "Mudik." "Kamu naik dari sini?" Aku mengangguk. "Di Semarang kerja? Atau kuliah?" "Kerja." Dia mengangguk-angguk tanda mengerti. Setelah itu, kami hanya diam. Biasanya, aku ramah pada siapa pun, tapi untuk kali ini aku sedang dalam mode tidak ingin mengakrabkan diri. Patah hati bisa membuat orang berubah ternyata. Pemuda itu akhirnya berbincang-bincang dengan dua bapak-bapak di depan kami. Kereta berangkat meninggalkan Tawang. Fokusku hanya ke pemandangan di luar jendela. Ini masih di Semarang. Tentu saja, yang aku lihat masih suasana kota. Rasanya aku sudah ingin memanjakan mata dengan pemandangan sawah yang hijau. Pemandangan yang sering kulihat sebelum aku menjadi makhluk perantauan. Kereta terus berjalan. Jam terus berputar. Poncol, Weleri, Pemalang, Pekalongan, Tegal, Slawi, Prupuk, hingga saat ini kereta yang kutumpangi berhenti di stasiun Bumiayu. Tidak seperti sebelumnya yang berhenti hanya sepuluh menit, di stasiun kota yang merupakan pusat keramaian di Kabupaten Brebes ini, kereta berhenti lebih lama karena bertepatan dengan waktu sholat dzuhur. Merasa wajahku sudah cukup kusam, aku memutuskan untuk ke toilet. Siapa tahu dengan membasuhnya, akan terasa lebih segar. Ini yang aku sukai dari alat transportasi yang memiliki jalan sendiri berupa rel, dia memiliki toilet di setiap gerbongnya. Mau itu kelas ekonomi maupun eksekutif, tidak lagi ada pembeda. Sehingga, aku yang biasanya beser kalau banyak minum, tidak perlu bingung jika panggilan alam memanggil. Keluar dari toilet, aku masuk ke kantin kereta yang berada di antara gerbong empat dan gerbong lima. Hal kedua yang kusukai ketika melakukan perjalanan menggunakan kereta, adalah kantin atau cafetaria. Apa saja sudah tersedia. Namun, kondisi di dalam kereta tetap bersih, ber-AC. Tidak berdesak-desakkan, tidak ada pedagang asongan, tidak juga terasa panas dan rawan kejahatan seperti dulu. Masuk ke kantin, aku memesan satu porsi mi instan cup dan segelas teh hangat. Harga yang dibandrol juga cukup terjangkau. Aku celangak-celinguk mencari tempat duduk yang kosong. Dengan tangannya, pria yang duduk di sebelahku mangode agar aku duduk satu meja dengannya. Aku pun mengiyakan. Kulihat dia sedang menyantap makan siangnya berupa ayam geprek. Teh botol kemasan berdiri kokoh di samping menu nasi ayam gepreknya di meja. "Kenapa cuma pesan mi?" tanyanya. Bodohnya, aku hanya ber-hah saja. Fokusku memang sedang hilang entah ke mana. "Itu, kamu nggak apa-apa, makan mi begitu? Kalau aku punya asam lambung. Kalau makan mi, langsung kambuh." "Oh ... enggak. Nggak apa-apa. Udah biasa juga. Maklum, anak kost." Aku membuka tutup cup mi instan. Kemudian kuaduk dengan garpu plastik berwarna putih. Asapnya mengepul, bau bumbunya menguar menusuk hidung. Aku sangat menyukainya. Sambil menyantap makan siang, kami mengobrol. Saling memperkenalkan diri. Ternyata, nama pria yang saat ini sedang meneguk teh botol miliknya itu bernama Yudha. Ia datang ke Semarang untuk menghadiri pernikahan sang adik. Selesai makan siang, kami kembali ke kursi. Kereta akan berangkat kembali. Terlihat petugas kereta sedang mengganti papan bertuliskan nama masinis. Setiap akan berganti masinis, memang selalu seperti itu. Beberapa saat kemudian, terdengar suara pria dari pengeras suara yang sedang memperkenalkan diri. Dialah yang akan membawa kami, para penumpang, ke stasiun berikutnya. Sisa perjalanan hanya kugunakan untuk melihat pemandangan di luar sana. Sungguh, patah hati ini membuatku menjadi pendiam. Apa yang harus kukatakan pada Bapa dan Biyung nanti. Pria itu pernah kukenalkan sebagai pacarku, tapi ternyata tidak akan pernah menjadi menantu mereka seperti yang diharapkan. Tanpa terasa, kereta yang kutumpangi ini sudah mulai memasuki kawasan Purwokerto. Petugas kereta sudah mengumumkan agar penumpang bersiap untuk turun. Aku berdiri, mengambil ransel yang berada di bagasi. Melihat aku kesusahan, Yudha membantu menurunkan ranselku. "Terima kasih," ucapku sopan. Suara rem terdengar kembali. Laju kereta semakin lambat. Hingga akhirnya benar-benar berhenti. Kami, penumpang yang akan turun, antre di pintu. "Nggak mampir ke rumahku dulu? Rumahku deket stasiun, lho," tanya Yudha. Aku menggeleng. "Enggak. Terima kasih. Kapan-kapan saja." Kapan-kapan? Apa iya kami akan bertemu lagi? "Baiklah. Semoga kita bertemu lagi. Kapan-kapan." Dia tersenyum. Kubalas senyumnya, meskipun hanya senyum tipis. Turun dari kereta, suasana Purwokerto sudah sangat terasa. Tidak sepanas di Semarang. Aku keluar dari stasiun. Sudah banyak calo yang menawarkan kendaraan umum. Aku mengiyakan salah satu dari mereka yang menawarkan ojek. Sebenarnya, aku lebih nyaman dengan ojek online. Ongkos lebih murah. Namun, mau bagaimana lagi ... untuk mendapat ojek online, aku harus berjalan kurang lebih dua ratus meter. Lumayan jauh. Jadi, aku lebih memilih ojek biasa. Meskipun jatuhnya lebih mahal. Bapak calo mengantarkanku ke salah satu tukang ojek. Bapak tukang ojek memberiku helm untuk kukenakan. "Ke mana, Mbak?" "Karang Salam, Baturraden, Pak." "Oh, nggih," jawabnya dengan logat ngapak, khas kota ini. Aku naik ke motor setelah bapak itu menghidupkan mesin. Mungkin ini memang hanya sebuah pelarian. Namun, aku harap pelarianku tidak sia-sia. Jam baru saja menunjukkan pukul setengah dua lebih, tetapi ketika sepeda motor melewati desa Rempoah, awan terlihat begitu pekat. Inilah Baturraden yang begitu akrab dengan hujan. Atau ... memang langit sedang mengasihaniku saja sehingga ia juga murung?

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Tentang Cinta Kita

read
189.7K
bc

Dinikahi Karena Dendam

read
205.0K
bc

My Secret Little Wife

read
96.6K
bc

Siap, Mas Bos!

read
12.8K
bc

Single Man vs Single Mom

read
97.1K
bc

Iblis penjajah Wanita

read
3.5K
bc

Suami Cacatku Ternyata Sultan

read
15.3K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook