Bagian-2(Bertemu Lagi)

1638 Words
Aku sampai di gapura desa tempatku dibesarkan. Kanan kiri jalan penuh dengan hijau sawah yang membentang. Ya, inilah desaku yang masih sangat asri. Dingin ketika mendung atau hujan. Namun, sejuk ketika udara panas. Mungkin, orang yang tidak pernah menyambangi desaku, akan mengaggap tidak ada desaku ini. Bagaimana tidak, tanpa ada gapura nama desa, lokasi pembuka desaku memang tidak ada satu rumah pun. Seperti jalan menuju hutan. Bapak ojek masih mengendarai sepeda motornya dengan kecepatan sedang. Sesekali, aku memberitahu arah mana yang harus diambil. Semakin mendekati rumah, dada ini semakin deg-degan. "Mbak Asri ...." "Mbak Asri ...." Anak-anak tetangga yang sedang sibuk bermain memanggil, begitu melihat kedatanganku. "Dalem," jawabku sambil menyunggingkan senyum ramah. Sesampainya di depan rumah orang tuaku, sepeda motor berhenti. Aku turun, kemudian melepas helm yang kukenakan. Setelah itu, mengambil selembar uang lima puluh ribuan dari dalam dompet. "Matur suwun, Mbak," ucap si bapak tukang ojek setelah menerima uang itu. "Sami-sami, Pak." Si bapak tukang ojek kembali menghidupkan mesin motor dan segera pergi. Aku membalik badan, mengamati rumah yang terlihat sepi. Pasti Bapak dan Biyung masih di sawah. Oh, ya ... namaku Asri. Nama panjangku Asri Wahyuni. Bungsu dari dua bersaudara, di mana mbakku, Mbak Asih sudah menikah dan ikut suaminya di desa tetangga. Usiaku 25 tahun. Seorang gadis lulusan SMA, yang sudah sejak lima tahun lalu, merantau di Semarang, ibu kota Jawa Tengah. Bapak dan Biyung, panggilan kami kepada kedua orang tua, belum terlalu tua. Bapak 53 tahun, sedangkan Biyung 50 tahun. Itulah kenapa mereka masih aktif di sawah setiap harinya. Entah untuk mencangkul, merawat tanaman padi, atau hanya sekadar menyibukkan diri. Mencari kayu bakar, atau mencari bahan makanan. Sambil menunggu Bapak dan Biyung, karena rumah dikunci dan aku tidak tahu di mana mereka menyimpan kunci atau mungkin dibawa ke sawah, aku memilih untuk memainkan ponsel. Sengaja data kumatikan agar tidak tergoda membuka media sosial. Game offline yang menjadi pilihanku untuk menemani kebosanan. Azan asar berkumandang, berbarengan dengan suara yang sangat tidak asing menyapa telingaku. "Lho, Sri? Ko bali maning deneng?" tanya Biyung menanyakan keberadaanku. Aku hanya nyengir, lalu menghampiri Bapak dan Biyung, mencium tangannya. Tentu saja Biyung merasa heran dengan kehadiranku. Baru saja sepuluh hari yang lalu aku pulang. "Pengin, Yung." "Ngode koh nggo dolanan. Ngode kue sing temenanan. Nggo masa depanmu dewek. Nyelengi sing akeh. Ora sedela-sedela bali." Biyung memang seperti ini. Namun, aku sama sekali tidak tersinggung. Benar yang beliau katakan, harusnya aku memikirkan masa depanku. Bukan hanya karena patah hati saja, langsung pulang melarikan diri. "Wis, Yung. Bocah nembe bali malah diomeih. Kon mlebu disit. Ngaso. Toli ya kesel." Bapak mencoba menengahi. Beliau mengambil kunci yang ternyata disimpan di lubang ventilasi di atas pintu. "Bapane maning, sih, bocah lagi diomongi sing bener malah diilungi." "Iya, mengko toli ana wektune." Aku mengulum senyum. Beginilah mereka. Sering tidak sependapat, tetapi bisa bertahan sejauh ini. Semoga mereka berjodoh sampai maut memisahkan. Semoga juga, kelak aku menemukan jodoh yang seperti Bapak. Aamiin. Kami masuk ke rumah. Aku ke kamar, sementara Bapak dan Biyung ke dapur. Biasanya, mereka langsung membersihkan diri. *** Setelah mengganti baju dan celana panjang dengan kaus dan celana pendek, aku ke dapur. Terlihat Bapak sedang menyalakan api di tungku. Sebenarnya ada kompor gas, tetapi orang tuaku lebih senang masak menggunakan tungku, kami menyebutnya pawon. Termasuk masak nasi. Kata Biyung, nasi yang dimasak dengan tungku hasilnya lebih wangi. Meskipun aku sangat tidak suka dengan air yang dimasak menggunakan tungku. Bau asap. Kalau kami bilang, sih ... bau sangit. Selain itu, aku juga tidak suka karena jika masak menggunakan tungku semua perabotan pasti akan hitam. Dan membersihkannya pun harus ditambahkan dengan abu gosok. "Lagi ana masalah apa, Sri?" tanya Bapak masih dengan fokusnya menata kayu bakar agar api tidak padam. "Ora ana, Pa. Pengin bali bae. Malah kayane pengin golet sing perekan bae." Aku tidak mau jujur tentang apa yang membuatku ingin pulang. Jangan sampai mereka kepikiran. "Bodoa ko. Sing penting kepenak neng awake ko. Ngode ora betah, dipaksa malah mengkone ko gering." Aku tersenyum. Bapak memang selalu menjadi cinta pertamaku. Setelah api sudah menyala stabil, Bapak mengambil singkong yang baru saja dipetiknya dari sawah. Lalu mengupasnya. "Kumbah kue nganah kulite. Sing bersih. Biyunge jere kepengin jangan." Aku mengangguk, kemudian mengambil kulit singkong yang berwarna putih-merah jambu kemudian mencucinya. Di desaku, orang-orang suka mengoseng kulit singkong bagian dalam itu. Caranya, setelah dicuci bersih, kulit singkong direbus hingga empuk. Kemudian diiris ukuran korek api. Setelah itu tinggal dioseng seperti biasa. Rasanya? Jangan ditanya ... sudah pasti enak. Ketika merantau, itu adalah salah satu menu yang aku rindukan. Orang-orang menyebutnya jangan atau oseng klika budin alias mi Jawa. *** Hari sudah malam. Biyung sudah tidur di kamar. Sementara Bapak masih menonton berita di televisi. Aku terdiam di ranjang. Menatap layar ponsel, berharap tiba-tiba ada panggilan atau pesan darinya. Ah, itu tidak mungkin. Dia sedang bahagia-bahagianya menjadi pengantin baru. Pasti sedikit saja dia sama sekali tidak mengingatku. Tanpa bisa mencegahnya, aku buka galeri ponsel. Kota Lama, Lawang Sewu, Simpang Lima, Pantai Marina, begitu banyak foto kenanganku dengannya. Termasuk saat kami ke Baturraden saat beberapa waktu lalu dia ikut aku pulang. Kini semua tinggal kenangan. Mungkin memang benar mitos yang mengatakan, kalau kita punya pacar, terus dibawa ke Baturraden, kalau jodoh maka akan segera menikah. Namun, kalau tidak jodoh, maka akan segera dipisahkan atau putus. Kuhela napas dalam, lalu mengembuskannya kasar. Mengapa dia begitu tega padaku. Tiga tahun kurasa bukanlah waktu yang singkat. Namun, dengan mudahnya dia mengakhiri semua. Aku berdiri. Berjalan ke arah jendela, membukanya. Udara malam langsung menusuk wajah. Aku menghidu aroma kembang sore yang tumbuh di bawah jendela. Menenangkan. Bunga yang mekar ketika sore hari itu memang tumbuh subur meskipun tidak dirawat. Si cantik yang memiliki nama ilmiah abutilon indicum itu memang memiliki warna yang indah. Dari pantulan cahaya kamarku, terlihat mereka berwarna kuning dan merah jambu tua. Begini saja sudah cukup membantuku untuk lebih rileks. Puas dengan itu, jendela kembali kututup. Aku kembali ke ranjang. Merebahkan diri, berharap bisa memejamkan mata. *** Suara ayam jantan mengusik tidurku. Kuraih ponsel yang berada di meja rias samping ranjang. Pukul lima pagi. Aku segera bangun. Lantas segera ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Aku biasa mandi pagi. Meskipun air di desaku ini sangat dingin, persis seperti air es batu yang mencair, dan terasa sangat menusuk tulang, pantang bagiku untuk melewatkannya. Sudah ada Biyung dan Bapak di dapur. Kami memang keluarga petani yang biasa bangun pagi. "Lagi direwangi apa, Yung?" tanyaku ketika melihat Biyung sepertinya masak lebih banyak. "Iya. Arep ngarit mengko, rebah. Kari gelem ya ko melu ming sawah." "Iya, Yung. Nyong melu." Asyik ... tanaman padi orang tuaku akan dipetik hari ini. Aku sangat menyukai kegiatan itu. Karena di saat panen padi, akan banyak belalang kecil yang menclok di daun talas. Aku senang mengumpulkannya. Jangan salah, meskipun usiaku sudah 25 tahun, aku masih menyukai kegiatan semacam itu. Makanya, anak Mbak Asih yang berusia delapan tahun, sangat cocok denganku. Harapanku hanya satu, perlahan aku bisa melupakan patah hatiku dan segera move on. Iya, hanya itu. *** Karena ada aku, aku dan biyung ke sawah dengan berjalan kaki. Sedangkan Bapak menggunakan sepeda motornya sambil membawa makanan dan kebutuhan apa saja yang harus dibawa. Seperti terpal untuk alas panen dan menjemur padi, juga karung untuk tempat gabah yang sudah bersih dan kering, siap giling. Sawah di desaku, rata-rata sekarang bisa dijangkau dengan sepeda motor. Karena desaku sedang merintis menjadi desa wisata. Banyak sawah yang sudah dijadikan tempat wisata, tempat makan, juga penginapan. Kami terus berjalan. Meskipun sudah diaspal, jalan tidak selalu rata dan lurus. Karena daerah pengunungan, jelas ada tanjakannya. Saat matahari sudah mulai tampak, kami belum juga sampai. Huh, terasa jauh ternyata. "Deneng kaya adoh temen, ya, Yung? Kaya ora butul-butul," tanyaku pada Biyung. "Pengrasamu, anu sue ora klayaban Ming sawah." Ya, mungkin saja seperti itu. Sawah milik orang tuaku, dekat dengan curug tiga, pionir wisata alam di desaku. Pagi-pagi begini, sudah banyak pemilik dan pekerja tempat makan dan tempat wisata yang sudah berdatangan. Pokoknya, gambaran sawah zaman dulu yang cenderung sepi dan hanya terlihat hamparan padi dan beberapa gubug, di masing-masing sawah orang, sudah tidak terlihat lagi. "Lho, Sri? Bali kapan ko?" tanya seorang wanita yang sepertinya akan membantu di sawah orang. Beliau mengenakan baju dan celana lengan panjang yang sudah lusuh, kebanyakan mereka memang menggunakan baju khusus untuk ke sawah. Tidak lupa caping yang bertengger di kepala untuk melindungi dari sinar matahari. "Wingi sonten, Mak." "Ooh. Lha ya kaya kue. Pas neng ngumah ya rewangi biyunge." "Nggih, Mak. Monggo, Mak." Wanita itu mengangguk sambil berucap ya. Setelah itu, aku dan Biyung kembali berjalan. Sawah kami sudah mulai terlihat. Akhirnya, setelah melewati tanjakan, jalan berkelok, sampai juga di tujuan. Begitu sampai di sawah kami, aku dan Biyung langsung ke gubug. Sudah ada tiga orang bapak-bapak selain bapakku yang sedang duduk di depan gubug sambil membuat rokok dari tembakau yang dibungkus kertas khusus. Mereka memang akan membantu kami memanen padi. Selain bapak-bapak, juga ada ibu-ibu yang akan membantu menampinya. Aku membantu Biyung sebisanya. Meskipun hasil pekerjaanku harus dikerjakan ulang oleh Biyung karena banyak kulit pada yang tidak terbuang. "Bocah jaman siki, ya, jarang kayane sing teyeng pegawean neng sawah. Napeni bae ora teyeng," celetuk salah satu ibu-ibu yang jujur, lumayan membuatku tersinggung. Namun, aku hanya bisa tersenyum. Beliau memang terkenal julid di desaku. Saat semua yang berada di sawah orang tuaku sedang menikmati makan siang, aku memesan mendoan di salah satu warung yang tidak jauh dari sawah kami. Mendoan adalah makanan khas daerahku yang terbuat dari tempe yang digoreng dengan adonan tepung terigu dicampur daun bawang dan bumbu halus bawang putih, kemiri, ketumbar, dan garam. Kemudian digoreng tidak perlu sampai kering. Aku sedang duduk menunggu pesananku matang sambil mengobrol dengan pemilik warung. "Ada kopi hitam, Bu?" Terdengar suara yang tidak asing bagiku. "Ada, Mas," jawab pemilik warung. "Kopi tiga sama mendoannya satu porsi, ya, Bu." "Iya, Mas." Aku menoleh ke arah pria itu. Benar saja. "Asri?" Aku tersenyum padanya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD