Mas Yudha memperhatikanku. Mungkin karena pakaian yang kukenakan. Aku pun jadi ikut memperhatikan penampilanku. Kutundukkan kepala, ke arah ootd-ku kali ini. Kemudian, pria itu mungkin sadar kalau apa yang dilakukannya membuatku seperti tidak nyaman.
"Oh, kamu lagi ngapain di sini, Sri?" tanyanya.
"Kebetulan, aku orang sini, Mas. Sawah orang tuaku di area sini. Hari ini panen, jadi aku ikut ke sawah, timbang bosan di rumah." Aku menjawab apa adanya.
"Batire ko apa, Sri?" tanya si pemilik warung sambil meniriskan mendoan yang ada di serokan, menanyakan tentang pria ini.
"Enggih, Bu. Kenalan wingi teng kereta."
Lidahku memang sudah terbiasa menggunakan bahasa krama inggil kalau berbicara dengan yang lebih tua. Memang, bahasa Jawa itu ada tingkatan-tingkatannya, tergantung kepada siapa kita berbicara.
Dua orang yang kurasa adalah teman Yudha, masuk ke warung. Kemudian, duduk di salah satu kursi panjang. Kursi dan meja di tempat ini, semuanya terbuat dari bambu.
"Oya, Sri ... boleh aku minta nomor hape kamu? Aku lupa kemarin."
"Wah, aku nggak bawa hape, Mas." Ya, aku memang sengaja tidak membawa benda pipih itu. Aku harus berjuang mengendalikan diri agar tidak membuka media sosial.
"Tapi kamu hafal nomor kamu, kan?"
Aku meringis. "Kebetulan, aku baru aja ganti nomor. Jadi belum hafal."
"Yah...."
Kulihat, ada kekecewaan di raut wajah Mas Yudha. Ia membuka tas ransel yang digendongnya. Aku mengamati gerak-gerik pria itu. Ternyata, ia mengambil kertas dan pulpen.
Beberapa saat kemudian, ia menyerahkan kertas itu padaku.
"Nih, ini nomor hapeku. Nanti begitu pulang, kamu telepon atau chat aku, ya. Tahu ada tempat sebagus ini, aku bakal sering ke daerah sini. Kalau punya kenalan di sini, kan enak."
Aku mengangguk dan menerimanya. Entahlah, aku masih belum terlalu ingin dekat dengan lawan jenis lagi, meskipun hanya sebagai teman.
Mendoanku jadi. Ibu penjual menempatkannya di kertas minyak lalu memasukkannya ke dalam kantong kresek bening.
"Kiye Sri."
"Nggih, Bu. Matur suwun." Aku menyerahkan selembar uang sepuluh ribu kepada beliau. Sesuai jumlah mendoan yang aku pesan, sepuluh. Lalu mengucapkan terima kasih.
"Mas Yudha, aku ke sawah dulu," pamitku.
"Oke. Jangan lupa nomor hape kamu, ya!"
Aku mengangguk.
***
Hari ini cuaca begitu terik. Sampai azan asar berkumandang pun, panas masih terasa. Aku, Bapa, dan Biyung masih di sawah. Kami merapikan gabah yang tadi sempat terjemur di atas terpal. Karena belum terlalu kering, Bapa mengatakan kalau cukup menutup terpal saja kemudian ditutup dengan batang padi. Besok, dijemur lagi. Aku dan Biyung pun menurut.
Sebenarnya, aku sangat tidak menyukai aktivitas ini. Padi dan gabah itu membuat badanku gatal-gatal. Namun, mau tidak mau aku harus belajar melakukannya agar terbiasa. Kalau tidak, siapa yang akan meneruskan Bapa dan Biyung mengurus sawah.
Di sekitar sawah orang tuaku, sudah banyak sawah yang disewakan, bahkan tak sedikit juga yang dijual, tetapi mereka lebih memilih untuk tetap menggarapnya meskipun sudah pernah ada yang berniat menyewa dengan harga tinggi, katanya.
Selesai merapikan gabah dan batang padi, kami segera pulang. Aku sudah sangat tidak tahan. Rasanya ingin segera mandi, menggosok seluruh tubuh agar gatal ini hilang. Juga mencuci rambut yang terasa sudah sangat lepek.
Begitu sampai di rumah, aku segera melakukan apa yang sangat aku inginkan tadi. Selesai mandi, aku hanya berdiam diri di kamar. Memandangi kertas yang berisi dua belas angka, nomor ponsel Mas Yudha. Menimang-nimang, haruskah aku menghubunginya? Rasanya masih ragu saja.
Saat sedang dalam perasaan bimbang, aku mendengar suara anak kecil. Juga, ada suara orang dewasa. Ah, itu pasti Mbak Asih dan anaknya. Aku pun segera keluar dari kamar.
***
Pukul satu dini hari, ponselku berdering. Ada panggilan telepon. Namun, entah siapa karena tidak bernama. Aku mengabaikannya. Tak berselang lama, ponselku berbunyi lagi. Kuusap layar hape, kemudian kedekatkan benda persegi panjang pipih itu ke telinga.
"Hallo?" sapaku. Tak ada suara apa pun.
"Hallo? Ini siapa?" Masih juga belum ada jawaban.
"Tolong jangan main-main. Kalau ada yang penting, silakan ngomong! Kalau nggak ada, aku tutup, nih!"
Yang kudengar hanya suara helaan napas yang entah siapa. Oya, aku memang sudah berganti nomor. Namun, nomor lamaku masih tetap aku gunakan. Hanya saja tidak aku jadikan nomor utama.
"Baiklah. Aku tutup teleponnya, ya. Tolong jangan ganggu orang tidur!" Segera kumatikan panggilan itu. Bahkan, ponsel juga aku non aktifkan. Aku ingin lanjut tidur. Besok, harus kembali ke sawah membantu Bapa dan Biyung.
***
Pagi-pagi, kudengar suara ayam jantan sudah saling bersahutan. Ayam tetangga itu, bukan ayam orang tuaku. Mereka tidak tertarik memelihara ayam, 'jember' katanya. Ayam kampung memang suka buang kootoran sembarangan. Sering ketika aku sedang pulang, saat aku masih bekerja, setiap hari harus membersihkan kootoran ayam tetangga di teras rumah. Yang punya ayam ya tetap santai saja. Begitulah hidup di kampung, toleransinya harus sangat kuat.
Aku bangun, mengikat rambutku asal. Lalu keluar dari kamar. Seperti biasa, di dapur sudah ada Bapa dan Biyung. Aku duduk di kursi kayu panjang yang biasa Biyung gunakan untuk duduk ketika sedang meracik sayuran.
"Bocah Lanang wingi sapa, Sri?" tanya Biyung.
Aku berpikir. Laki-laki? Yang mana? Biyung sepertinya tahu kalau aku bingung.
"Sing wingi, sing pas ko lagi tuku mendoan neng gone Bu Siti." Biyung mengingatkanku.
"Ooh ... deneng rika ngerti?"
"Mau bengi maring warung, ketemu Bu Siti. Wonge kandah. Terus takon, kae sapa? Ya aku ra ngerti. Sapa jajal?"
Kata Biyung, Bu Siti yang bercerita. Apa-apa memang mudah menyebar di desaku ini.
"Kenalan. Wingi pas bali, ketemu neng kereta," jawabku jujur.
"Temenan? Ora ana hubungan apa-apa, mbok? Bocah lanang sing winginane kepriwe?" Biyung memang orangnya kaku. Namun, beliau cukup perhatian terhadapku.
Yang Biyung maksud adalah pria yang tiba-tiba saja menikah dengan wanita lain ketika baru saja memutuskan hubungan denganku.
"Wis putus, Yung. Wis lah, ora usah debahas." Aku meminta Biyung untuk tidak lagi membahas pria itu, masa laluku.
"Bocah ... bocah. Ko kue umure wis cukup nggo mbojo. Mbok iyaha gagean. Mumpung biyunge karo ramane esih sehat. Aja dolanan bae."
Aku tersenyum. Yung ... Yung, setiap menjalin hubungan, aku pasti serius. Mau gimana lagi, namanya belum ketemu jodoh. Aku hanya bisa mengucapkannya dalam hati.
Ya, beginilah di desa. Ketika usia sudah menginjak dua puluh tahun dan belum menikah, pasti menimbulkan kekhawatiran. Terutama pada orang tua. Apalagi seperti Biyung yang anaknya perempuan, takut aku menjadi perawan tua.