Di salah satu sudut di kota Semarang, beberapa minggu lalu. Seorang pria, dia bernama Avan, sedang nongkrong di salah satu cafe di kawasan Simpang Lima. Ia duduk di salah satu kursi. Di depannya, seorang wanita tampak sedang dalam keadaan bingung, dari ekspresi wajahnya.
"Gue harus gimana, Van?" tanya wanita yang bernama Mitha itu. Dia adalah seorang mahasiswi asli Jakarta, yang sedang menempuh pendidikan di salah satu universitas di kota yang mendapat julukan kota lumpia.
"Apa nggak bisa digugurin aja?"
Mitha menggeleng. "Nggak mungkin. Kita udah dosa ngelakuinnya. Masa iya, harus nambah dosa lagi?!"
"Ya terus kita harus gimana?"
"Menikah. Kita harus menikah sebelum perut gue kelihatan. Lo harus tanggung jawab."
"Tapi aku udah punya pacar, Mit."
"Putusin! Baru pacar, kan?!"
"Mendadak? Tiba-tiba? Ya nggak bisa lah."
Mitha berdecak. Bisa-bisanya pria yang sudah membuatnya hamil, lebih memilih perasaan pacarnya.
"Gue nggak mau tahu. Yang jelas, gue akan ngomong ke orang tua gue. Jujur sekalipun."
"Jangan gila, Mit!"
"Gue nggak gila. Lo yang gila, kalau sampai Lo angkat tangan sama apa yang udah Lo perbuat."
Awal mula Avan dan Mitha berkenalan adalah ketika pria itu membutuhkan seorang model wanita untuk salah satu project-nya. Lalu temannya mengenalkannya dengan Mitha. Avan yang saat itu sedang berpacaran dengan Asri, membuatnya salah langkah karena sampai mengkhianati si gadis desa. Alasan Avan tidak meminta bantuan sang pacar, karena menurutnya, Asri tidak fotogenik. Sementara sebagai fotografer, ia butuh model yang menarik.
Seringnya bertemu, membuat Avan dan Mitha merasa nyaman. Hingga akhirnya, terjadilah kekhilafan satu malam itu. Sebagai laki-laki, Avan tidak pernah sekalipun kur@ng aj@r terhadap Asri. Ia sangat menghargai gadis itu. Namun, ketika dekat dengan Mitha, entah mengapa ia mendapat dorongan untuk melakukannya. Tidak disangka, perbuatannya menghasilkan janin yang katanya saat ini sedang dikandung Mitha.
Avan mulai menjaga jarak dari Asri, tetapi ia belum juga tega memutuskan wanita yang bekerja di toko oleh-oleh itu. Mitha yang terus saja menuntut, membuat Avan tidak bisa berkutik sedikit pun. Akhirnya pria itu pun menemui orang tua Mitha di Jakarta. Pernikahan pun segera direncanakan.
***
Langkah Avan terasa begitu berat begitu turun dari sepeda motor matic-nya. Ia sampai di depan kostan Asri yang terletak di daerah Pekunden, Pandanaran. Asri memang mengekost di dekat tempatnya bekerja.
Pria itu mengetuk pintu kamar kost sang pacar. Hanya berselang beberapa detik, si empunya sudah membukanya dan mempersilakan Avan masuk. Pintu dibiarkannya tetap terbuka.
"Ke mana saja?" tanya Asri, membuka pembicaraan.
"Sibuk,” jawab Avan, singkat.
“Aku tahu, itu yang kamu katakan kemarin di chat w******p. Apa sekarang sudah tidak sibuk?” Asri memandangi pria di depannya yang tampak tak seperti biasanya.
“Masih ... tapi aku sempatkan untuk menemuimu.”
Wanita itu tersenyum. “Terima kasih.” Diraihnya tangan Avan, lalu menggenggamnya.
Avan mulai mau memandang Asri. Ada rasa bersalah yang begitu besar dari sorot mata pria itu.
“Kenapa?”
"Sebelumnya, aku ingin minta maaf."
"Maaf? Untuk apa? Masalah kamu nggak bisa nemuin aku, aku paham banget, kok."
Avan menggeleng lemah. "Bukan itu. Ada hal penting yang ingin aku katakan."
"Tentang apa?"
"Tentang hubungan kita."
Asri mulai merasa ada hal yang tidak beres. Ia melepaskan tangannya dari tangan Avan.
"Kenapa dengan hubungan kita? Semuanya baik-baik saja, kan?"
"Ya, semuanya baik-baik saja."
"Lalu?"
"Aku yang salah. Aku yang tidak bersyukur."
"Aku nggak ngerti maksud kamu."
"Maaf, kita harus putus, Sri."
Asri diam. Ia tidak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya. Putus? Apa salahnya? Bukankah belum lama ini, justru Asri mengenalkan Avan pada orang tuanya, tanda keseriusan hubungan mereka.
"Putus?"
"Maaf. Bukan kamu yang salah. Aku yang salah."
"Apa kesalahan kamu, yang membuat kita harus putus mendadak begini? Kita nggak habis berantem, nggak habis ribut."
Ponsel Asri bergetar. Beberapa pesan gambar masuk ke aplikasi w******p-nya. Ia membukanya. Dipandanginya gambar-gambar itu dengan ekspresi seperti tak percaya.
Di gambar itu terlihat Avan sedang memasangkan cincin di jari manis wanita lain. Asri pun meneteskan air mata dalam diamnya.
"Namanya Mitha. Ini semua salahku. Kamu nggak salah apa pun. Kamu tetaplah wanita terbaik yang pernah ada dalam hidup aku."
"Semoga kalian bahagia." Hanya itu yang terlontar dari mulut Asri. Dia masih menunduk, memandangi foto-foto itu. Air matanya jatuh menetes mengenai layar ponsel yang sedang dipegangnya.
Setelahnya, keduanya hanya saling diam. Avan pun tidak berani mengucapkan apa pun lagi.
"Aku pulang, ya. Jaga diri kamu baik-baik. Semoga kamu mendapatkan pria yang lebih baik dari aku." Kalimat terakhir yang Avan ucapkan, sebelum akhirnya ia meninggalkan kostan wanita yang beberapa menit lalu resmi menjadi mantan kekasihnya.
***
Dengan sangat singkat, pernikahan Avan dan Mitha terlaksana. Hanya ada keluarga dekat mereka. Pernikahan dilaksanakan di Semarang, jadi Mitha yang menumpang nikah, bukan Avan. Selama seminggu, mereka mengurusnya. Dari meminta restu, lamaran dadakan, hingga mendaftar di KUA . Untung saja, sedang tidak musim pernikahan, jadi mereka bisa mendapat jadwal kosong penghulu.
Keluarga Avan hanya ada keluarga inti, teman dekatnya, juga kakaknya yang datang dari Jakarta. Begitu juga dengan keluarga Mitha. Acara berlangsung dengan sangat sederhana karena mereka merencanakan resepsi akan dilaksanakan bulan depan, di Jakarta.
Menjadi pengantin baru tak seindah yang orang-orang katakan, terutama bagi Mitha. Meskipun Avan tidak mengasarinya, tetapi tetap saja, pernikahan yang terjadi karena keterpaksaan itu, membuat pria itu menjadi tak sehangat dulu.
"Ingat, Van! Ada anak kamu yang sedang aku kandung!" Mitha memeringatkan.
"Iya, aku ingat."
"Jangan pernah sekalipun kamu berpikir untuk semena-mena kepadaku!"
"Tenang, Mit! Ini bukan sinetron. Aku tidak akan selebay karakter cowok di sana."
"Baguslah."
Keluarga Avan dan Mitha tidak ada yang tahu kalau Mitha sebenarnya sedang hamil. Ketika mengatakan ingin menikah, dan lamaran secara mendadak, mereka hanya mengatakan ingin segera halal saja. Awalnya mereka tidak menginginkan resepsi, tetapi keluarga menyayangkan jika sampai tidak ada resepsi. Apalagi, Mitha merupakan anak bungsu di keluarganya. Akhirnya, mereka memutuskan untuk menikah secara negara lebih dulu, baru bulan depan merayakannya.
Tadinya kedua keluarga sempat bertanya-tanya, apa yang terjadi, mengapa menikah secara KUA harus buru-buru? Namun, baik Avan dan Mitha, hanya menjawab, ingin dalam keadaan halal saja ketika nanti mengurus segala urusan tentang resepsi. Padahal, itu hanya akal-akalan Mitha saja, agar nanti ketika perutnya mulai terlihat, dia bisa berdalih, bahwa mereka melakukannya setelah menikah.
Saat mengatakan kehamilannya pada Avan, Mitha sempat mengancam akan mengatakan kehamilannya pada keluarga. Nayatanya, ia tak berani, karena papanya merupakan tipe orang yang sangat menjaga kehormatan. Kakak Mitha saja dulu menikah muda karena papa mereka tidak ingin hal buruk terjadi pada kakak Mitha dan pacarnya.