Bagian-5

1003 Words
Untuk beberapa malam, Asri cukup terganggu dengan panggilan telepon dari nomor yang tidak ia kenal. Sekalipun ia sudah memblokir nomor itu, esoknya akan ada lagi nomor yang lain. Pikirannya ada dugaan, kalau orang tersebut adalah Avan. Namun, ia tidak ingin terlalu percaya diri. Atau Yudha? Itu tidak mungkin, karena Asri sampai sekarang belum juga menghubungi nomor Yudha. Dalam keheningan malam, Asri duduk di atas kasur, menyenderkan tubuhnya ke tembok. Ia teringat ucapan sang ibu tadi sore, tentang pernikahan. "Umurmu wis selawe, Sri. Kapan ko arep mbojo?" Di desa, umur 25 tahun memang termasuk sudah tua. Karena banyak yang menikah di usia dua puluh. Bahkan, seumuran Asri sudah ada yang memiliki dua anak. Menikah? Bagi Asri bukanlah hal yang mudah. Bukan hal yang bisa diputuskan dengan cepat. Tidak bisa asal menentukan, pria ini yang akan menjadi suaminya. Lihat saja, hubungan yang sudah dijalin secara serius dengan Avan pun, harus berhenti di tengah jalan. Asri sadar, kalau dia bukanlah wanita yang good looking, tetapi tidak bisa juga dikatakan j3lek. "Urung due calone, Yung." Benar, kan. menikah itu harus ada pasangannya. "Kye, apa tek goletna? Pahal apa-apaha, sing penting rajin, tanggung jawab. Karo tukang ngarita ya ora papa." Tukang ngarit adalah orang yang pekerjaannya mencari rumput untuk hewan peliharaan. Selama ini, Asri memang tidak pernah terlihat menjalin hubungan dengan laki-laki di desanya. Dia hanya berpikir, kalau sampai ia menikah dengan laki-laki dari desanya, akan timbul banyak masalah. Karena sudah bukan rahasia lagi kalau hidup di desa itu, selain guyub, dunia perghibahan juga sangat menyeramkan. Asri tidak sanggup untuk menghadapi itu. Dulu saja karena Asih, kakaknya, menikah mendadak, hampir orang satu desa mengosipkan yang tidak-tidak. Karena terus kepikiran dengan ucapan sang ibu, Asri memutuskan untuk menyimpan nomor Yudha. Kemudian, ragu-ragu ia mengetik pesan. Masih dalam kebimbangan akan mengirimnya atau tidak, tetapi tanpa sengaja jempolnya menyentuh opsi kirim. [Assalamualaikum, Mas] [Ini Asri] Pesan Asri bertanda centang abu-abu dua. Hanya berselang beberapa detik, warna tanda centang itu berubah menjadi biru. Mata Asri terbelalak. Jam sudah menunjukkan waktu dini hari. [Wa'alaikumsalam] [Akhirnya kamu chat aku juga] [Kenapa belum tidur?] [Udah larut lho ini] Asri tersenyum. Kemudian, ia mengetik pesan balasan untuk Yudha. [Sebenarnya tadi sudah tidur] [Terus kebangun] [Eh, mau tidur lagi malah nggak bisa] Di tempat Yudha berada pun, ia sedang menggenggam ponselnya, sambil mengetikkan pesan. [Hm] [Kok lama banget baru chat aku?] Asri membalas lagi. [Iya. Beberapa hari ini, memang lagi jarang pegang hp] Saling berbalas pesan berlanjut. Pukul tiga dini hari, mereka baru mengakhiri kegiatan tersebut. Menghubungi Yudha yang tadinya Asri lakukan agar bisa pedekate, siapa tahu mereka bisa dekat, nyatanya justru membuatnya teringat lagi pada Avan. Dulu, mereka sering berbalas chat sampai dini hari seperti ini. Apalagi kalau esoknya Asri libur dan kekasihnya tidak ada janji pemotretan atau acara lain. Terkadang, tidak hanya chat, bisa telepon, ataupun video call. Asri membuka galeri ponselnya yang masih penuh dengan foto kebersamaannya bersama Avan. Pantai Marina, Simpang Lima, Masjid Agung, Lawang Sewu, Kota Lama, dulu menjadi tempat yang suka mereka kunjungi. Asri pasti akan sangat merindukan saat itu. Bukan hanya tentang Avan, tetapi lebih ke tempat-tempat yang memorable itu. Belum juga merasa ngantuk, Asri justru merasa ingin bu4ng a1r kecil. Ia gegas berdiri dan segera keluar kamar untuk ke kamar mandi. Saat keluar dari kamar mandi, bertepatan dengan ibunya yang juga sedang berjalan menuju dapur. "Ko rung turu, Sri?" tanya sang ibu menanyakan keberadaan putrinya. "Uwis, Yung. Cuma miki nglilir, terus kebelet. Rika arep wudu?" jawab Asri. Ibu Asri memang sudah rutin melakukan shalat tahajjud dari lama. "Iya." Asri kemudian mempersilakan ibunya masuk ke kamar mandi. Lantas ia kembali ke kamar. Dia akan memanfaatkan waktu yang tersisa untuk memejamkan mata, sebelum azan subuh berkumandang. Karena selain ketika datang bulan, Asri tidak diperbolehkan bangun siang. Pamali. Ora ilok, kalau ibu Asri bilang. *** Di tempat lain, Avan yang sejak menikah sangat susah untuk tidur, terus saja memainkan ponselnya setiap malam. Setelah menikah dengan Mitha, esoknya pria itu sempat mendatangi toko oleh-oleh tempat Asri bekerja. Namun, tak ditemukannya wanita itu. Setelah mencari tahu, ternyata mantan kekasihnya itu sudah keluar, dan sudah meninggalkan Semarang. Ingin rasanya ia mendatangi rumah Asri, tetapi ia sadar, ia sudah tak sendiri. Bagaimana kalau sampai orang tua Asri menagih janjinya untuk menikahi putri mereka. Ya, saat Avan bertemu dengan orang tua Asri, dia memang mengatakan untuk melangkah ke jenjang yang serius bersama Asri. Apa daya, ia melakukan kekhilafan yang sangat fatal. Kesalahan yang akhirnya seolah ia memberikan harapan palsu kepada Asri dan keluarganya. Padahal, sebelum ia mengetahui bahwa Mitha hamil, ia cukup serius dengan keniatannya. Toh, orang tua dan keluarganya sangat membebaskan dengan siapa Avan ingin menikah. Asal, tidak untuk mainan. Dan juga yang seiman. Mau berasal dari mana, dan bagaimana keluarganya, mereka tidak mempermasalahkan. "Setiap malam hanya itu yang kamu lakukan. Kalau tidak mau tidur denganku, setidaknya biarkan aku tidur dengan nyenyak," tegur Mitha. Ia memang berusaha untuk menjadi wanita yang tidak menye-menye. Menikah, namun seperti masih sendiri. Mempunyai suami, namun seperti masih lajang. Dan agar tidak keceplosan saat berada di depan mertuanya, Mitha memang sudah menggunakan aku-kamu, bukan lo-gue lagi. "Tinggal tidur saja. Aku kan tidak mengganggumu," jawab Avan, santai. Tanpa merasa bersalah sama sekali. "Kata siapa tidak mengganggu, aku cukup merasakan pergerakkan kamu. Sekalipun hanya jari kamu," ucap Mitha dengan ketus. "Kalau gitu, boleh aku di luar?" "Eh, enak saja! Nanti dikira orang tua kamu, kita ada masalah." Mereka memang memutuskan untuk tinggal bersama orang tua Avan. Orang tua Avan melarang putra dan menantunya untuk mengontrak ataupun mengekost. "Ya, terus? Aku belum bisa tidur. Harus ngapain, dong?" "Lupain dia." "Dia?" "Halah, nggak usah berlagak bingung. Aku tahu, apa yang membuat kamu nggak pernah bisa tidur. Kamu tahu? Aku ngerasa kaya jadi selingkuhan kamu." "Lha, emang benar, kan. Tadinya kamu kayak selingkuhan aku. Kan aku memang nggak ada niat buat menikah sama kamu." "Mulut kamu itu, lho!" "Aku ngomong fakta." "Setidaknya, hargai aku sebagai istri kamu. Aku lagi ngandung anak kamu, lho. Darah daging kamu. Kamu pikir enak, lagi hamil, diginiin sama suami?!" Avan hanya mengangkat bahu. Hal itu sukses membuat Mitha kesal bukan main.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD