Bagian-6

1010 Words
Asri dan Yudha semakin intens berbalas chat. Sudah seminggu mereka melakukannya. Layaknya seperti ABG yang sedang melakukan pedekate atau pendekatan, tengah malam pun, benda pipih itu masih setia berada di tangan. Hingga sekarang sudah semakin akrab, meskipun baru lewat maya. Karena Yudha belum sempat datang ke desa Asri lagi. Perubahan pada sang adik, nyatanya dapat terlihat oleh Asih, walaupun ia tidak bertemu setiap hari dengan adiknya itu. Namun, ekspresi yang Asri tampilkan memperlihatkan kalau memang sedang ada yang terjadi. Hal baik tentu saja. "Sepertinya udah lebih bahagia kamu sekarang, Sri. Udah nggak seperti pas baru pulang," tebak Asih, yang sedang mengunjungi rumah orang tuanya. Asri tersenyum. "Kata siapa, Mbak?" Ia mencoba untuk menyembunyikannya. "Lha, aku kakakmu, masa nggak paham. Kata Ibu, kamu ganti pacar lagi, ya?" Ya, Tuhan ... ibunya ternyata bisa bergosip juga, begitu yang ada di benak Asri. Susah rasanya melakukan hal apa pun tanpa diketahui keluarga jika sedang berada di rumah. "Mbak ... Mbak, enggak lah. Punya kenalan, memang iya. Tapi bukan pacar. Kalau setiap teman laki-laki dianggap pacar, berarti pacar aku banyak, dong." "Yang dulu ikut kamu ke sini, gimana kabarnya? " tanya Asih, yang sudah memendam rasa penasarannya sejak lama. "Nggak tahu," jawab Asri yang sebenarnya enggan membahas soal Avan. "Kok, nggak tahu?" Asih justru semakin penasaran. Asih mengamati perubahan raut wajah sang adik. Ia tahu, ada hal yang telah terjadi pada adik satu-satunya itu. "Ada apa, sih? Kamu putus ya sama dia?" Asri menarik napas dalam, lalu diembuskan. "Ya gimana ya, Mbak ... aku juga udah ingin menikah, punya anak, tapi ya gimana lagi. Jodoh udah ada yang mengatur. Aku sama dia ya udah serius, udah ada niat mau nikah. Tapi kenyataannya bukan jodohnya, harus gimana. Siapa sih, yang bisa menolak kuasa Allah." Asih merangkul pundak adik perempuannya, mengusapnya, memberinya kekuatan. "Aslinya sakit hati aku, Mbak. Udah setahun lebih, udah aku kenalin juga ke Bapak sama Ibu, tetangga udah pada tahu juga, eh ... malah tiba-tiba diputusin." "Apa sebabnya?" tanya Asih. "Nikah sama orang lain," jawab Asri lesu. "Berarti Tuhan ngasih lihat ke kamu, dia orang nggak bener. Coba bayangkan, kalau kamu ngerti sifat aslinya setelah menikah, apa nggak lebih sakit?" Asih berkata bijak. Asri mengangguk. "Ya. Makanya aku memilih pulang. Mau mencari pekerjaan di sini saja. Udah capek merantau. Untuk saat ini, aku malas ketemu sama dia. Dia langganan di toko oleh-oleh tempatku bekerja." "Ibu tahu, masalah kamu sama orang itu?" "Masalah putus, aku udah cerita. Tapi ya nggak detail. Hanya bilang, sering bertengkar. Aku nggak mau nambah-nambahin pikiran." "Iyalah. Sekarang sudah seharusnya move on. Senang aku, lihat kamu udah lebih bahagia. Nggak kayak pas baru pulang." "Memangnya terlihat jelas banget, ya, Mbak?" "Kalau orang lain, mungkin nggak paham. Berhubung aku saudara kandung kamu, ya paham banget. Yah, meskipun terkadang, aku juga ada kalanya kurang peka." Asih terkikik. Asri pun akhirnya menceritakan tentang Yudha. Tentang bagaimana awal mula mereka bertemu. Juga tentang alasan akhirnya dia mau menyimpan dan menghubungi nomor pria itu. "Bismillah saja, Sri. Kalau jodohnya ya minta didekatkan. Kalau bukan ya minta agar dijauhkan. Mumpung belum terlanjur dalam perasaan kalian." "Iya, Mbak." *** Esoknya pukul dua siang, Yudha datang ke rumah Asri. Dia memang sudah janjian dengan Asri untuk datang. Kebetulan, orang tua Asri juga sedang di rumah. Biasa, selesai panen, mereka menyempatkan diri untuk libur ke sawah. Biar bagaimanapun, tubuh butuh istirahat. Yudha membawa dua kantong kresek besar berwarna putih, bertuliskan salah satu nama mini market yang sudah tersebar di berbagai penjuru kota dan desa. Dalam kantong plastik tersebut, ada gula pasir, teh, kopi, biskuit, juga beberapa es krim untuk keponakan Asri. Mendengar suara sepeda motor berhenti di depan rumah, Asri langsung melihatnya dari jendela kamar. Setelah tahu kalau itu Yudha, ia langsung keluar dan segera membuka pintu. Mempersilakan Yudha masuk dan duduk. "Repot-repot, sih, Mas. Bawa ginian segala," ucap Asri setelah menerima dua kantong plastik pemberian Yudha. "Kalau mau main mah, tinggal main aja," sambungnya. "Nggak repot, kok. Orang sekalian jalan. Lagian, masa iya, baru pertama datang, cuma tangan kosong." "Ya, udah. Makasih, ya." "Sama-sama. Oya, itu ada es krim buat keponakan kamu," ucap Yudha memberi tahu, takutnya Asri tidak tahu dan es krimnya mencair. Waduh, bisa-bisa meleleh, begitu pikir Asri. Karena di rumahnya memang belum punya lemari pendingin. "Makasih, Mas. Aku buatkan minum, ya. Mau minum apa?" "Apa aja." "Oke, aku buatkan dulu." Asri masuk menuju dapur. Ia melewati ruang tengah. Di ruangan tersebut, ada kedua orang tuanya sedang menonton televisi. "Siapa, sih, Sri?" tanya ibunya. "Yang waktu itu ketemu di sawah," jawab Asri, berharap orang tuanya masih ingat. Ibu Asri langsung berdiri, dan langsung ke ruang tamu, berniat menemui Yudha. "Eh, ada tamu," ujar wanita itu, berbasa-basi dengan menggunakan bahasa Jawa. Yudha langsung berdiri, kemudian mencium tangan ibu Asri. Dia paham apa yang wanita tua di depannya ucapkan. Namun, untuk menjawab dengan bahasa yang sama, lidahnya kaku. Yudha memang memiliki darah Purwokerto. Sayangnya, terlalu lama tinggal di Jakarta, ia jadi sulit untuk berbicara dalam bahasa Jawa. Apalagi Jawa ngapak. "Saya ibunya Asri." Ibu Asri memperkenalkan diri. "Nggih, Bu." Salah satu kata yang bisa Yudha ucapkan adalah kata nggih yang berarti iya. "Duduk lagi saja, silakan. Asri sedang buat minum." Ibu Asri mempersilakan Yudha untuk duduk kembali. Wanita itu pun juga duduk di salah satu kursi yang berseberangan dengan kursi yang Yudha duduki. "Nggih, Bu," jawab Yudha lagi. "Sudah lama kenal Asri?" tanya ibu Asri to the point. "Nggak sengaja kenalan pas di kereta, Bu." Yudha menjawab dengan bahasa Indonesia. Karena bisa dipastikan, jika Yudha menjawab dengan bahasa Jawa, akan terbentuk bahasa planet baru. Apalagi jika menggunakan bahasa krama inggil. Karena kalau bahasa ngoko, sangat tidak sopan jika digunakan untuk berbicara dengan orang yang lebih tua. "Ooh ... ya begitulah si Asri. Anaknya cuek, nggak suka dandan. Makanya mungkin karena itu, belum ada orang yang melamar anak saya. Padahal, umur ya sudah cukup. Kemarin udah bawa laki-laki ke rumah, dikenalkan ke kami, eh ... katanya putus. Entah anak saya yang kurang menarik atau apa." "Nggih, Bu." "Kalau kamu tertarik sama anak saya, yang diminta ya jangan lama-lama." Ucapan sang ibu didengar oleh Asri. Ia malu bukan main.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD