Bagian-8

1087 Words
"Mbak, kemarin saya lihat Asri di curug tiga. Sama calonnya, ya?" tanya seorang ibu-ibu yang sedang belanja sayur, yang kebetulan bertemu dengan ibu Asri. "Entahlah. Katanya sih, hanya teman. Namanya orang tua, hanya bisa mendoakan yang terbaik buat anak," jawab ibu Asri yang sebenarnya kesal juga, karena tetangga selalu heboh dengan hal tentang Asri. "Sepertinya beda lagi apa ya, sama yang kemarin?" Ibu-ibu lain yang juga melihat Asri saat berboncengan, juga ikut berkomentar. "Namanya teman, sama siapa pun ya nggak apa-apa." Ibu Asri menjawab dengan nada kesal yang sudah tidak bisa disembunyikan. "Tapi si Asri kan seumuran sama anak Pak Lurah, anaknya saja sudah sekolah PAUD." Telinga ibu Asri terasa semakin panas. Ia ambil sepotong tempe dan seikat kangkung saja. Setelahnya, ia meminta ibu penjual sayur untuk menghitungnya. "Sudah itu, Mbak. Dihitung. Lupa, ninggal tungku masih nyala." "Ini saja?" "Iya. Masih punya bumbu di rumah." Setelah membayar, ibu Asri meninggalkan warung. Tanpa pamit, kepada siapa pun yang ada di sana. Hatinya sudah cukup kesal. *** Sesampainya di rumah, ia menggerutu sendiri. Sang suami sudah pergi ke sawah pagi tadi. Hanya ada Asri yang masih berada di kamar. "Sri ... Sri, makanya buruan menikah. Biar Ibu tenang. Sumpek rasanya jadi omongan tetangga." Ibu Asri sedang menyiangi kangkung di ruang tengah. Asri yang mendengar keluhan ibunya, lantas keluar kamar. "Ada apa lagi, Bu?" "Kamu nggak tahu. Kamu itu jadi omongan orang. Tahu sendiri, hidup di desa itu seperti apa." Asri lelah. Mengapa masalah seperti ini, masalah pribadi, orang lain harus ikut campur? Bagaimana jika ada yang memilih untuk hidup sendiri, selamanya, tanpa pendamping? Dua puluh lima tahun, bukankah usia yang belum terlalu tua? Mengapa seolah orang-orang memandang, usia itu usia yang sudah sangat tua? Sudah terlalu telat untuk menikah. "Bagaimana kemarin? Di curug melakukan apa saja?" Pertanyaan sang ibu membuyarkan lamunan Asri. "Di curug adanya air, ya mainan air saja, Bu." "Sudahlah, Sri. Kalau dia serius, ya buruan. Biar ayah dan ibumu tenang." "Iya, Bu." Tidak ingin mendengar keluhan ibunya lagi, Asri masuk ke kamar. Ia bingung. Hubungannya dengan Yudha belum sampai di tahap apa pun. Tidak mungkin, kan, dia menanyakan keseriusan Yudha. Namun, jika pasti ibunya akan terus mencecarnya. "Sri, besok kalau kita menikah, kamu ingin pakai adat apa?" "Adat apa? Kedua orang tuaku kan asli Jawa, sudah pasti pakai adat Jawa." "Mau di rumah, atau di gedung?" "Di rumah. Aku kan orang kampung. Saudaraku juga banyak. Akan terasa kekeluargaannya, kalo acaranya di rumah saja." "Baiklah, aku akan kumpulkan modal buat kita nikah. Nanti, aku mau ngomong serius ke ayah kamu. Tahun depan, kita harus menikah pokoknya." Air mata Asri menetes ketika ia mengingat perbincangannya dengan sang mantan saat di kereta, dalam perjalanan pulang bersama Avan. Seperti yang dibilang Avan, begitu bertemu bapaknya, ia mengatakan niat untuk melamar dan menikahi Asri. Sayang, semuanya hanya omong kosong. Sedang apa pria itu? Pasti sedang bahagia-bahagianya sebagai pengantin baru. *** Asri sedang mematut diri di depan cermin. Ia akan menghadiri acara pernikahan saudaranya di tetangga desa. Keluarga kecil Asih, anak dan suaminya, sudah berkumpul di rumah. Mereka akan pergi menggunakan mobil angkot milik suami Asih yang bernama Yanto. "Sri, jangan lupa nanti, ya!" ucap ibu Asri nengingatkan. "Lupa apa, Bu?" "Ketika bersalaman, nanti ambil bunga milik pengantin. Biar kamu cepat mendapat jodoh." Bunga yang dimaksud adalah bunga melati yang menjuntai di pundak pengantin wanita, atau yang berada di keris pengantin pria. Mitosnya, siapa yang susah jodoh, jika mengambil bunga tersebut tanpa diketahui si pemilik, kemudian menyimpannya, maka tak lama akan bertemu jodoh. Asri mengangguk enggan. Ia bosan, mengapa trending topic di keluarganya saat ini hanya seputar jodoh dan pernikahannya? Apa mereka tidak memikirkan perasaannya saat ini? Ingin rasanya ia pergi merantau lagi. Namun, ke mana lagi harus pergi? *** Mereka segera pergi ke rumah saudara Asri. Di daerah sini, termasuk juga di desa Asri, orang hajatan biasanya memakan waktu sedikitnya tiga hari. Tiga hari itu hanya hari yang tertera di undangan. Para tetangga dekat dan saudara yang tinggal di desa yang sama, biasanya akan datang lebih dulu sebelum hari itu. Bahkan rumah tempat hajatan, sudah ramai sejak tiga atau dua minggu sebelum hari-H. Ada persiapan merapikan rumah, dari mengecat, merapikan dapur, membuat tempat megari—tempat menyimpan makanan, bawaan orang yang kondangan, juga tempat mengganti bawaan orang dengan oleh-oleh—, juga persiapan yang lain termasuk membuat kue-kue kering untuk ditaruh di toples di meja sebagai sajian orang yang kondangan. Di sini, orang-orang lebih banyak kondangan beras, gula pasir, telur, dan yang lainnya. Jarang yang kondangan uang. Paling hanya bapak-bapak dan teman pengantin yang tidak membawa kado yang kondangan uang. Biasanya, untuk bapak-bapak di desa yang sama, lebih banyak kondangan pada malam hari. Sementara ibu-ibu lebih banyak siang sampai sore. Mobil angkot yang Yanto kendarai, sampai di tempat tujuan. Suara khas musik Jawa sebagai pengantar pengantin terdengar. Pembawa acara, seorang bapak-bapak bertubuh gemuk yang menggunakan pakaian adat Jawa yang bernama beskap, sedang mengarahkan pengantin dengan bahasa Jawa yang khas khusus untuk acara resepsi pengantin. Beskap bentuknya seperti jas dan memiliki warna yang sangat beragam. Beskap juga memiliki kerah baju namun tidak bisa dilipat seperti kerah pada kemeja saat ini. Umumnya beskap tidak memiliki motif atau corak yang mencolok, hanya jas dengan warna gelap polos. Potongan bagian depan Beskap tidak simetris, hal ini untuk mengantisipasi adanya pemakaian aksesori. Semua yang berada di dalam mobil Yanto turun. Ayah Asri menggunakan pakaian batik lengan panjang dan celana bahan, begitu juga dengan Yanto. Ibu dan Asih menggunakan gamis sederhana, sementara Asri menggunakan tunik di bawah lutut dengan rambut yang ia biarkan tergerai. Asri dan Asih yang membawa kado, berhenti di depan meja penerima tamu. Menuliskan nama mereka di buku tamu yang disediakan. Setelah itu, mereka mengambil snack yang berisi lemper, kacang telur, puding, pie, juga suvenir berupa centong kayu. Ayah dan ibu Asri terus saja masuk untuk menyerahkan bawaan mereka berupa telur sepuluh kilogram. Asri mengedarkan pandangannya, mencari kursi kosong. "Mbak, itu sana kosong," ucapnya sambil menunjuk salah satu sudut. "Ya, udah, yuk ... ke sana saja." Ternyata, area kursi kosong tersebut, mayoritas diduduki oleh kerabat pengantin pria, saudara Asri adalah keluarga pengantin wanita. Banyak laki-laki yang duduk di situ, kemungkinan teman si pengantin. Mata Asri terkunci pada sosok pria yang juga sedang memperhatikannya. "Cantik." Begitu yang Asri lihat dari gerak bibir si pria. Karena pria itu menggerakkan bibir tanpa suara. Asri tersenyum malu. Sementara si pria terpesona pada tampilan Asri kali ini. Biasanya, ia melihat wajah polos Asri yang tanpa make up dan rambut ekor kuda. Dan hari ini, wajah wanita itu dilengkapi dengan riasan tipis serta rambut tergerai sehingga ia terlihat sangat manglingi.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD