Nyra begitu tersentuh dengan perkataan dan kebaikan Ferrin. Dokter asing ini, yang baru dikenalnya dalam keadaan paling rentan, menawarkan sesuatu yang lebih dari sekadar perawatan medis. Ia menawarkan harapan dan perlindungan. Sebuah rasa lega dan syukur membanjiri dirinya.
“Terima kasih, Dokter,” ucap Nyra pada akhirnya, suaranya masih serak namun kini diwarnai kelegaan. “Aku berharap tidak menyulitkanmu.”
Ferrin tersenyum lembut. “Nggak sama sekali. Kamu adalah pasienku sekarang.” Ia melihat ada secercah cahaya kembali di mata Nyra, meski masih terselip keraguan.
“Dokter,” Nyra melanjutkan, nadanya kini lebih berani. “Bila aku nggak tahu siapa diriku, nggak tahu namaku, bagaimana aku harus mengingat namaku?” Sebuah pertanyaan fundamental yang menghantui setiap penderita amnesia.
Ferrin berpikir keras. Ia tahu tekanan untuk mengingat nama sendiri bisa menjadi bumerang bagi seseorang yang baru mengalami amnesia. “Mengingat namamu sekarang mungkin terlalu berat untukmu,” katanya, menatap Nyra dengan empati. “Kita tidak perlu memaksanya. Ingatan perlu waktu untuk kembali, terkadang dipicu oleh hal-hal kecil, familiaritas, atau bahkan emosi.”
Ia menjeda sejenak, sebuah ide melintas di benaknya. “Bagaimana bila, untuk sementara, sampai ingatanmu pulih, aku memberimu nama baru? Sebuah nama sementara agar kamu tidak merasa kehilangan identitas sepenuhnya saat berinteraksi dengan dunia luar.”
Mata Nyra berbinar. Ide itu, meski terdengar sederhana, terasa seperti hadiah. “Sebuah nama... sementara?”
“Ya,” Ferrin mengangguk. “Aku punya satu. Aku selalu menyukai nama itu.” Ia menatap Nyra, mencari persetujuan di wajahnya yang penuh harap. “Grisel.”
“Grisel?” Nyra mengulang nama itu, mencoba merasakannya di lidahnya. Ada kelembutan sekaligus kekuatan dalam suku kata itu. “Nama yang bagus. Aku suka dengan nama itu.” Senyum pertama, tulus dan lega, terukir di wajah Nyra. Sebuah senyum yang membuat hati Ferrin sedikit menghangat.
Keesokan harinya, Ferrin kembali mengunjungi Grisel di kamarnya. Pagi itu cerah, namun suasana hati Grisel masih diselimuti mendung. Ia duduk bersandar di bantal, menatap kosong ke luar jendela. Ada kerutan di dahinya, seolah pikirannya tak pernah berhenti bekerja, mencari sesuatu yang hilang.
“Selamat pagi, Grisel,” sapa Ferrin lembut, masuk dan duduk di kursi dekat ranjang. “Bagaimana perasaanmu pagi ini?”
Grisel menoleh, tatapannya sedikit lesu. “Selamat pagi, Dokter Ferrin. Fisikku membaik, tapi... entahlah.” Ia menghela napas panjang. “Aku hanya merasa takut. Sangat takut.”
“Takut kenapa?” tanya Ferrin, matanya menatap Grisel dengan penuh perhatian.
“Takut akan ketidaktahuan ini,” jawab Grisel, suaranya pelan. “Aku nggak tahu siapa aku, dari mana asalku, kenapa aku ada di sini. Rasanya seperti... kosong. Seperti lembaran putih yang nggak pernah ditulisi. Aku sering melamun, mencoba mengingat wajah, nama, tempat, tapi yang ada hanya kehampaan yang menyakitkan.”
Ia mengangkat tangannya, menatap telapak tangannya seolah mencari petunjuk di sana. “Ini tanganku, tapi apakah ini benar-benar tanganku? Suara ini, apakah ini suaraku?”
Ferrin mendengarkan dengan seksama. Ia tahu betapa mengerikannya hidup tanpa identitas, tanpa sejarah. “Itu perasaan yang wajar, Grisel. Dan aku mengerti betapa menakutkannya itu.”
“Aku tidak tahu apa yang harus kulakukan,” lanjut Grisel, matanya mulai berkaca-kaca. “Apakah ada yang mencariku? Apakah aku punya keluarga? Teman? Tunangan?”
Kata 'tunangan' terucap begitu saja, membuat Ferrin sedikit terkesiap. “Atau mungkin... aku sudah menikah?”
“Kita akan cari tahu itu, Grisel. Tapi untuk sekarang, fokuslah pada dirimu sendiri,” Ferrin berusaha menenangkan. “Setiap hari adalah awal yang baru. Kita akan mencoba mengingat potongan-potongan kecil. Mungkin ada sesuatu yang familier di sekitar sini, atau sesuatu yang bisa memicu ingatanmu.”
Grisel menunduk, matanya menerawang. “Rasanya aneh sekali. Aku melihat wajahku di cermin, dan aku tahu itu aku, tapi aku tidak merasa mengenali orang itu. Seolah ada orang lain di balik wajah ini.” Ia menyentuh kepalanya. “Aku ingin mengingat. Aku sangat ingin mengingat.”
Ferrin tersenyum kecil. “Aku tahu, Grisel. Dan aku akan membantumu. Kita nggak akan menyerah.” Ia bangkit. “Untuk hari ini, bagaimana kalau kita mulai dengan hal sederhana? Ada buku di meja. Mungkin membaca bisa membantumu merasa lebih nyaman. Atau kau ingin mencoba sedikit berjalan-jalan di taman klinik?”
Grisel menatap Ferrin, ada sedikit kelegaan di matanya. “Mungkin berjalan-jalan, terdengar bagus.” Meski masih dilingkupi kabut amnesia, kehadiran dan kesabaran Ferrin memberinya sedikit kekuatan untuk menghadapi hari.
Sementara itu, di kediaman mewah keluarga Wijaya, Siva menikmati hidup seperti di negeri dongeng. Setelah memastikan tidak ada jejak yang tertinggal dari insiden di jembatan, ia melenggang masuk, berpura-pura baru kembali dari perjalanan bisnis singkat.
Wajahnya dipoles dengan riasan sempurna, senyumnya begitu meyakinkan. Para pelayan menyambutnya dengan hormat, tak menyadari bahwa wanita di depan mereka bukanlah nyonya rumah yang mereka kenal.
“Nona Nyra, Anda sudah kembali?” Bi Surti, kepala pelayan, menyambut dengan membungkuk. “Makan malam sudah siap di meja. Apakah Anda ingin langsung makan atau istirahat dulu?”
“Ah, Bi Surti,” Siva menjawab dengan nada suara yang meniru Nyra, namun dengan sentuhan kepuasan yang tersembunyi. “Aku sedikit lelah. Siapkan saja mandiku. Dan setelah itu, aku ingin makan malam di kamar saja. Tolong siapkan sup asparagus dan steak medium-rare, seperti biasa.” Ia menyebutkan menu favorit Nyra dengan percaya diri.
“Baik, Nona.” Bi Surti membungkuk lagi, lalu bergegas melaksanakan perintah.
Siva masuk ke kamar utama, kamar Nyra. Ruangan itu kini terasa sepenuhnya miliknya. Ia menjatuhkan diri ke ranjang king-size, merasakan empuknya kasur mewah. Tidak ada lagi rasa lapar yang menusuk, tidak ada lagi ketakutan dikejar rentenir. Hanya kemewahan, kenyamanan, dan kuasa. Sebuah senyuman puas terukir di wajahnya.
Ia mengambil ponsel Nyra, melihat deretan notifikasi. Panggilan tak terjawab dari Sakha, tunangan Nyra. Siva memutuskan untuk tidak langsung mengangkatnya. Ia ingin membiarkan Sakha sedikit cemas, menambah bumbu dramatis pada penyamarannya.
Ketika Bi Surti mengantarkan makanan ke kamar, Siva menyantapnya dengan lahap, menikmati setiap suapan. “Bi Surti, apa ada pesan penting dari kantor hari ini?” tanyanya, berusaha menunjukkan bahwa ia adalah CEO yang bertanggung jawab.
“Ada, Nona. Pak Rahmat dari bagian keuangan menelepon beberapa kali, sepertinya terkait proyek besar yang sedang Anda tangani,” jawab Bi Surti, meletakkan teko teh di meja.
Siva mengangguk. “Baiklah, nanti akan aku cek. Sekarang, aku hanya ingin istirahat. Jangan ganggu aku, kecuali ada hal yang sangat mendesak.”
Setelah Bi Surti keluar, Siva kembali menikmati kesendiriannya. Ia membuka lemari pakaian Nyra, memandangi deretan gaun desainer. Ia memilih salah satu gaun sutra paling mahal, memeluknya erat. “Ini benar-benar hidup seperti di surga,” gumamnya. “Sesuatu yang tak pernah berani kubayangkan, dan kini terjadi padaku.”
Ia tertawa pelan, tawa yang memenuhi kamar mewah itu dengan kebahagiaan yang penuh kemenangan, dan sedikit sentuhan kegilaan. Tidak ada yang akan tahu. Tidak ada yang akan curiga. Nyra yang asli sudah mati, dan ia, Siva, adalah Nyra yang baru.