Pagi hari, suasana ruang makan dipenuhi aroma harum dari aneka hidangan yang baru saja selesai dimasak. Siva, yang kini sedang menyamar sebagai Nyra Vilja, berusaha menjaga sikapnya tetap tenang. Namun tatapannya yang lama pada makanan mewah di depannya justru menimbulkan rasa curiga pada Surti, pelayan setia di rumah besar itu.
Dengan hati berdebar, Siva memaksakan senyum kecil. Sendok di tangannya terangkat pelan, mencicipi sup bening yang hangat mengepul. Lidahnya terbiasa dengan makanan sederhana, membuat rasa sup kaya rempah itu begitu asing baginya. Dalam hati, ia hampir tak percaya betapa berbedanya kehidupan yang kini dijalaninya. Siva harus berhati-hati, satu gerakan atau kebiasaan yang salah bisa membuat penyamarannya terbongkar.
“Enak sekali,” ucap Siva, menutupinya dengan senyum lebar. Ia berharap ucapannya cukup untuk menghapus kecurigaan Surti.
Surti menunduk sopan, meski sorot matanya masih menyimpan pertanyaan. 'Kenapa Nona terlihat canggung hari ini?' Namun, loyalitas membuatnya memilih diam.
Siva melanjutkan sarapan, tapi setiap gerakan terasa kaku, karena memang tidak terbiasa hidup mewah seperti ini dan biasa hidup susah dipenuhi hutang. 'Jangan sampai ada yang sadar, Siva. Kamu harus benar-benar jadi dia.' Kalimat itu terus terngiang, membuatnya tak bisa menikmati kemewahan yang kini ada di genggamannya.
Tak lama kemudian, langkah kaki berat terdengar mendekat. Seorang pria paruh baya, sekertaris kepercayaan keluarga, masuk ke ruang makan.
“Selamat pagi, Nona Nyra,” sapanya dengan hormat. “Hari ini Anda memiliki rapat penting dengan dewan direksi pukul sepuluh. Semua orang menantikan arahan Anda.”
Jantung Siva langsung berdetak lebih cepat. Rapat direksi? Ia bahkan tak tahu bagaimana cara memimpin sebuah pertemuan bisnis, apalagi dengan perusahaan sebesar ini. Tapi ia tak boleh menunjukkan kegugupan.
“Oh, tentu,” jawab Siva datar, mencoba meniru gaya bicara Nyra yang ia pelajari dari video dan arsip lama.
Setelah pria itu pergi, Surti menambahkan dengan lembut, “Nona, biasanya Anda selalu meninjau berkas sebelum rapat. Perlu saya bawakan ke ruang kerja?”
Siva nyaris panik, namun segera mengangguk mantap. “Iya, bawakan. Aku akan melihatnya sebentar lagi.”
Begitu Surti meninggalkan ruangan, Siva meremas roti di tangannya. Dalam hatinya ia tahu, sandiwara ini baru saja dimulai, dan setiap mata di rumah maupun kantor bisa jadi ancaman yang siap membuka kedoknya.
Begitu Surti menutup pintu dan langkahnya menjauh, Siva meletakkan sendok dengan gemetar. Matanya menyapu seluruh meja yang penuh dengan aneka hidangan daging panggang dengan saus kental, sup hangat beraroma rempah, roti lembut, salad segar, hingga buah-buahan yang ditata indah. Semua itu adalah pemandangan yang selama ini hanya bisa ia lihat dari televisi atau etalase restoran mahal.
Tanpa menunggu lama, Siva langsung meraih piring besar dan menyendok daging dengan rakus. Potongan demi potongan masuk ke mulutnya, bahkan ia hampir tak sempat mengunyah dengan benar. Sup hangat pun ia teguk cepat, meninggalkan jejak kuah berminyak di sudut bibirnya. Tangan yang lain sibuk menyobek roti, menyapukan mentega tebal, lalu menyuapkannya seolah ia takut makanan itu akan lenyap begitu saja.
Bibirnya belepotan, ada saus cokelat yang menempel di sudut kanan, minyak sup mengilap di bibir bawah, dan sisa remah roti menempel di ujung bibir atas. Jika ada yang melihat, jelas mereka akan terkejut. Tak ada seorang pun percaya bahwa Nyra Vilja, sang CEO elegan, bisa makan dengan cara yang begitu berantakan.
Sadar dengan keadaan itu, Siva buru-buru meraih tisu di samping piring. Ia mengusap bibirnya dengan kasar, hingga noda saus berpindah ke permukaan putih tisu. Ia menghela napas panjang, menatap pantulan samar wajahnya di sendok perak.
“Aku harus lebih hati-hati,” gumamnya, merasa degup jantungnya kian keras.
Setelah kenyang, barulah matanya tertuju pada tumpukan berkas yang diletakkan Surti. Ia meraih salah satunya dengan tangan masih sedikit berminyak. “Laporan apa yang harus kuperiksa ini?” lirihnya, penuh kebingungan.
Satu per satu halaman ia buka. Lembar pertama berisi grafik keuntungan bulanan, dengan angka-angka besar yang tidak ia pahami. Ada istilah asing seperti cash flow, equity, margin profit, yang membuat keningnya berkerut. Ia berusaha membaca perlahan, tapi otaknya serasa berputar.
Laporan berikutnya membahas strategi ekspansi bisnis ke luar negeri. Siva menegang sejenak. Kata-kata asing, diagram pasar, serta nama mitra perusahaan terpampang jelas. Ia mencoba meniru gaya Nyra, mengangguk kecil seakan paham, padahal setiap huruf terasa seperti kode rahasia yang mustahil dipecahkan.
“Bagaimana mungkin aku memimpin rapat dengan semua ini?” suaranya lirih, hampir putus asa. Ia meremas halaman terakhir lalu melemparnya ke meja. Nafasnya terengah, namun dalam hati ia bertekad. “Aku nggak boleh gagal. Kalau sampai ketahuan aku bukan Nyra, semuanya hancur. Aku harus cari cara untuk pura-pura menguasai ini.”
Dengan cepat, Siva menumpuk kembali berkas-berkas itu, seolah tak pernah disentuh. Ia tahu, mulai hari ini, bukan hanya lidahnya yang harus terbiasa dengan makanan mewah, tapi juga pikirannya dipaksa menghadapi dunia asing yang penuh jebakan.
**
“Apa yang kamu lakukan di sana, Grisel?” tanya Ferrin di ambang pintu kamar.
Grisel yang merasa luka dan nyeri di tubuhnya kondisinya sudah membaik daripada sebelumnya berdiri menetap ke arah luar jendela menetap pemandangan hijau di luar sana yang menyejukkan mata. Sejenak rasa sakit dan luka yang tak dimengertinya ini hilang begitu saja.
“Aku melihat pemandangan hijau dari sini,Dok,” balasnya dengan nada lembut, menatap bola mata jernih Ferrin.
Ferrin kemudian masuk dan berdiri di samping Grisel. “Kalau kamu suka Kenapa nggak lihat saja di luar sekalian kamu jalan-jalan agar mengenal lingkungan ini.”
Grisel menggelengkan kepala. Dia ingin sekali keluar dari tempat ini sekadar untuk menghirup udara bebas, namun luka di tubuhnya dan kondisinya saat ini menahannya untuk pergi. Dia tidak tahu kenapa dia terluka, apakah ada seseorang yang melukai dirinya sebagai korban? Atau apa? Dia takut saja bila nanti keluar dia akan mendapatkan celaka atau sejenisnya.
Ferrin melihat sorot mata Grisel yang berbinar cerah lalu meredup, membuatnya iba dengan kondisi wanita asing. Dia tahu bagaimana posisinya berada di posisi Grisel saat ini, rapuh, tidak berdaya, bingung dan takut.
“Hmm... begini saja. Kamu bawa ini.” Ferrin menaruh sesuatu pada tangan Grisel, sebuah lonceng kecil.
Grisel menatap benda kecil berbentuk lonceng mungil dengan gantungan logam di ujungnya. Wajahnya tampak ragu, jemarinya bergerak perlahan menyentuh permukaannya yang dingin.
“Ini… benar-benar bisa terdengar sampai ke sini, Dok?” tanyanya pelan, seolah masih tak yakin.