Siva menarik napas panjang, mencoba menenangkan dirinya. 'Dimana sebenarnya ruangan Nyra? Aku harus segera menemukannya, kalau tidak aku akan ketahuan,' batinnya geram, menahan rasa panik yang mulai merayap.
Ia berhenti di depan sebuah pintu yang tampak lebih mewah dibandingkan pintu ruangan lain. Namun, sebelum sempat berbuat apa-apa, beberapa staf lewat dan langsung menyapanya dengan sopan.
“Pagi, Bu Nyra. Kenapa berhenti di ruangan itu dan tidak segera masuk ke ruangan Ibu?” salah satu staf bertanya hati-hati.
Siva buru-buru memasang senyum manis di bibir. “Pagi. Nggak, cuma berhenti dan melihat-lihat saja,” jawabnya berusaha terdengar santai.
“Kalau begitu, apa perlu saya bantu bawa barang-barangnya, Bu?” tawar staf lain penuh hormat.
Siva hampir tersenyum lega. Ini kesempatan besar baginya untuk tahu di mana ruangannya tanpa harus bertanya. “Oh ya, boleh. Tolong bawa dokumen ini saja,” ucapnya sambil menyerahkan map di tangannya.
Namun staf itu tidak langsung melangkah. Ia justru berdiri terpaku, tampak ragu.
“Ada apa? Kenapa berhenti?” tanya Siva bingung.
“Maaf, Bu. Rasanya tak sopan bila saya berjalan mendahului Anda,” jawab staf itu hati-hati.
Siva tertegun sejenak, lalu buru-buru menggeleng. “Nggak apa-apa. Kamu bisa jalan dulu, nggak perlu begitu.”
Staf itu memang tampak heran dengan jawaban tersebut. Tapi karena itu adalah perintah langsung, ia mengangguk singkat. “Baik, Bu.”
Ia pun melangkah lebih dulu, sementara Siva mengikutinya perlahan di belakang, menyamarkan rasa gugupnya. Beberapa menit kemudian, staf itu berhenti di depan sebuah ruangan yang berbeda dari ruangan lainnya di lantai dua.
Pintu ruangan itu tinggi, terbuat dari kayu dengan ukiran elegan. Begitu dibuka, terlihat interior yang jauh lebih luas daripada ruang staf biasa. Lantai marmer mengilap, dinding kaca besar menghadap langsung ke panorama kota, memberikan cahaya alami yang hangat.
Di dalam, terdapat meja kerja besar berwarna gelap dengan kursi kulit premium di belakangnya. Beberapa rak buku tinggi berjajar rapi, dipenuhi dokumen dan buku-buku bisnis. Di sudut ruangan ada sofa empuk berwarna krem dengan meja kopi kecil, seolah disiapkan untuk menerima tamu penting. Tanaman hijau besar di dekat jendela menambah kesan segar sekaligus berkelas.
Siva menatap lekat ruangan itu. 'Jadi ini… ruangan Nyra.' Sekilas rasa puas muncul di wajahnya, meski jantungnya masih berdetak cepat, takut kapan saja penyamarannya bisa terbongkar.
“Ditaruh di mana berkasnya, Bu?” tanya staf itu sopan setelah memasuki ruangan.
“Taruh di meja itu saja, terima kasih, ya. Kamu boleh pergi sekarang,” jawab Siva sambil menunjuk meja kerja besar di dekat jendela.
“Ya, Bu. Permisi.” Staf itu meletakkan berkas dengan hati-hati di meja yang ditunjuk, kemudian segera keluar dari ruangan. Pintu tertutup rapat, meninggalkan Siva sendirian di dalam.
Ia menatap sekeliling, lalu melangkah perlahan, menyusuri setiap sudut ruangan luas itu. Jari-jarinya menyentuh meja kayu elegan, rak buku tinggi, hingga permukaan sofa empuk di sudut ruangan. Ada rasa takjub yang sulit ia sembunyikan.
“Tak kusangka… Nyra bisa mendapatkan kehidupan yang nyaman seperti ini,” gumamnya lirih, senyumnya merekah. “Sangat berbeda jauh dariku yang hidup dikejar hutang. Bayangan demi bayangan penderitaan selama ini seperti lenyap begitu saja.”
Matanya berkilat, penuh kepuasan. “Senang sekali aku bisa merasakan kemewahan ini, tak lagi mencium bau busuk kemiskinan yang selama ini mendera,” lanjutnya, suaranya nyaris bergetar antara lega dan iri.
Langkahnya kemudian berhenti di meja kerja besar dengan kursi kulit tinggi di belakangnya. Kursi itu tampak kokoh sekaligus mewah, simbol kekuasaan dan kenyamanan dalam satu bingkai. Perlahan, Siva duduk di atasnya.
“Empuk sekali,” desisnya, lalu ia bersandar, merasakan bagaimana kursi itu seperti memeluk tubuhnya. Jemarinya menyentuh lengan kursi, seolah mencoba menyerap wibawa yang pernah duduk di sana.
Tak puas hanya duduk diam, ia mulai menggoyangkan kursi itu pelan, lalu memutarnya ke kanan dan kiri. Sensasi berputar di kursi mahal membuatnya tersenyum puas, seakan dirinya benar-benar pemilik sah ruangan ini.
Ia menatap keluar jendela kaca besar di belakang meja, memandang panorama kota yang terbentang luas. “Indah sekali… ini semua milikku sekarang,” ucapnya penuh keyakinan, meski hanya dalam hati.
Siva memejamkan mata sejenak, menikmati imajinasi bahwa ia adalah Nyra, seorang wanita sukses, dihormati, dan hidup dalam kelimpahan. Rasanya seperti mimpi yang terlalu manis untuk dilepas.
Sementara itu, staf yang tadi mengantarkan berkas berjalan kembali menuju ruangannya. Langkahnya santai, tapi pikirannya masih berputar pada kejadian barusan.
“Rasanya aneh,” gumamnya pelan. Ia mengingat jelas bagaimana Nyraatau setidaknya yang ia kenal selama ini selalu punya kebiasaan tegas. Salah satunya, tidak pernah mau dibawakan barang atau berkas oleh staf. Nyra lebih suka membawanya sendiri, dengan alasan disiplin dan mandiri.
“Tapi tadi… beliau justru memintaku membawakan berkas ke ruangannya. Itu benar-benar tidak biasa.” Alisnya berkerut tipis, mencoba mencerna.
Ia lalu menggelengkan kepala sambil mendesah ringan. “Ah, mungkin memang aku saja yang terlalu banyak berpikir. Bisa jadi beliau memang sedang butuh bantuan. Semua orang kan ada masanya merasa lelah.”
Langkahnya berhenti sejenak ketika melewati lorong yang sepi. Ia kembali teringat ekspresi senyum Nyra tadi, senyum yang terasa… berbeda. Lebih lembut, bahkan sedikit kikuk, tidak seperti biasanya yang penuh percaya diri.
“Tapi ya sudahlah, mungkin aku yang terlalu memperhatikan hal-hal kecil. Nanti malah bikin pikiran aneh-aneh sendiri.” Ia tersenyum tipis, mencoba menepis rasa janggal itu.
Tanpa curiga sama sekali, ia pun melanjutkan pekerjaannya seperti biasa, seakan tak ada yang berubah.
**
Grisel berbaring di brankar, tubuhnya terasa tenang meski hatinya sedikit berdebar. Pagi itu, setelah beberapa hari perawatan, Ferrin datang dengan tatapan penuh perhatian.
“Aku mau periksa kepalamu dan lepas perbannya. Kalau memang kondisi lukanya sudah membaik, perban ini nggak perlu dipasang lagi,” ujar Ferrin tenang, sikapnya profesional sebagaimana ia memperlakukan pasien lain.
“Ya, Dok,” balas Grisel singkat, meski sorot matanya penuh kecemasan bercampur rasa penasaran.
Ferrin mencondongkan tubuh, jaraknya otomatis semakin dekat dengan Grisel. Ia mulai membuka lilitan perban di kepala wanita itu, jemarinya cekatan dan hati-hati. Kedekatan itu membuat Grisel refleks menahan napas. Rasanya canggung, aneh, bahkan jantungnya berdetak lebih cepat dari biasanya.
Perban terlepas perlahan, lalu Ferrin menaruhnya di meja kecil di samping brankar. “Aku periksa lukanya. Kamu bisa duduk?” tanyanya lembut.
“Ya, Dok…” Grisel mencoba bangun, tapi kepalanya terasa berat. Melihat itu, Ferrin segera meraih pinggang Grisel, menarik tubuhnya perlahan hingga duduk tegak. Sentuhan itu membuat Grisel semakin salah tingkah, meski ia berusaha menutupi dengan senyum tipis.
Ferrin lalu memeriksa luka di kepalanya dengan teliti. “Lukanya sudah kering, jadi perban nggak perlu lagi dipasang. Tapi kamu harus hati-hati, jangan sampai kepalamu terbentur sesuatu,” katanya memberi peringatan.
“Ya, Dok,” sahut Grisel, menunduk sedikit.
“Sekarang ada yang kamu rasakan? Pusing? Sakit?” tanya Ferrin memastikan.
Grisel menggeleng. “Nggak ada, Dok. Rasanya… kosong. Aku masih nggak mengerti apa pun.”
Ferrin menatapnya sesaat, lalu tersenyum menenangkan. “Nggak apa-apa. Kamu bisa mengisi hari-harimu dengan banyak kegiatan di sini. Mengobrol dengan pasien lain, membaca, atau sekadar duduk di taman. Itu bisa bantu mengurangi rasa kosongmu.”
Grisel hanya mengangguk, menatap dokter itu dengan rasa campur aduk, seolah ada sesuatu yang tumbuh perlahan di balik kebingungan dirinya.
Setelah Ferrin selesai melepas perbannya, Grisel berjalan perlahan ke taman dan duduk di bangku kayu. Udara segar menyentuh wajahnya, membuatnya lebih rileks. Namun, matanya mendadak membelalak ketika melihat dua anak kecil kembar berlari riang sambil tertawa.
“Mereka… anak kembar waktu itu, kan?” pekiknya terkejut, hatinya berdebar, seakan ingatan samar kembali berusaha muncul.