Entah kenapa, Grisel merasa hatinya begitu tertarik pada dua anak kecil kembar itu. Perasaan hangat bercampur penasaran membuatnya tak mampu mengalihkan pandangan. Ia pun menggeser duduknya, memutar tubuh menghadap langsung ke arah mereka. Namun, keraguan masih menggelayut, keinginan untuk ikut bermain begitu besar, tapi bayangan kejadian pusing dan pingsan tempo hari membuatnya takut mengambil langkah ceroboh. Apalagi Ferrin sedang sibuk dengan pasien, tak ada yang bisa membantunya bila ia kembali kehilangan kendali.
Grisel menarik napas panjang, lalu tetap duduk diam sambil mengamati. Senyum tipis terukir di wajahnya setiap kali mendengar tawa riang anak-anak itu.
Dua anak perempuan kembar itu tampak asyik dengan dunia mereka sendiri. Keduanya berlarian ke sana kemari di taman, mengejar kupu-kupu berwarna kuning yang beterbangan di antara bunga. Salah satu dari mereka, si kakak, berusaha mengulurkan tangan untuk menangkap sayap kupu, tapi gagal, lalu tergelak geli sambil menoleh pada adiknya. Si adik tidak kalah bersemangat, ia malah menepuk tangan dengan riang sambil melompat-lompat kecil, seperti memberi semangat.
Tak lama, keduanya berhenti sejenak dan duduk di rerumputan. Mereka saling membisikkan sesuatu, kemudian tertawa bersama sambil mengangkat wajah ke langit biru. Sesekali, mereka memetik bunga liar kecil dan merangkainya seadanya, lalu saling menyematkan di rambut masing-masing.
Grisel tersenyum melihat pemandangan itu. Ada rasa damai aneh yang muncul di dadanya, seolah keceriaan sederhana anak-anak itu memberi warna dalam hatinya yang kosong. Namun, ada juga getaran halus yang membuat kepalanya berdenyut ringan, bukan sakit seperti sebelumnya, melainkan perasaan familier yang sulit dijelaskan.
“Kenapa aku merasa… seolah mengenal mereka?” gumamnya pelan. Ia menatap wajah polos dua bocah itu dengan penuh perhatian, seakan takut melewatkan sesuatu yang penting.
Meski tetap diam di bangkunya, sorot matanya tak pernah lepas dari senyum kembar yang begitu mirip itu. Semakin lama ia mengamati, semakin dalam rasa penasaran sekaligus kengerian aneh menyelimuti dirinya.
Dua anak kembar yang sedari tadi berlarian dengan riang tiba-tiba berhenti. Wajah mereka yang semula dipenuhi tawa berubah serius karena suatu hal kecil yang hanya mereka pahami. Salah satu dari mereka tampak ngambek karena bunga yang dipetiknya direbut oleh kembarannya.
“Aku duluan yang lihat!” seru si kakak, berusaha menarik bunga itu.
“Enggak! Aku yang duluan pegang!” balas si adik keras kepala.
Mereka pun saling dorong kecil, meski masih dalam batas wajar anak-anak. Namun bagi Grisel, pemandangan itu terasa lain. Senyum di wajahnya perlahan memudar, digantikan rasa sesak yang menusuk dadanya.
“Kenapa… aku?” gumamnya lirih, memegangi da-da. Sensasi nyeri itu datang tiba-tiba, tanpa sebab jelas, seolah ia ikut merasakan sakit yang dialami dua bocah itu.
Dadanya terasa berat, napasnya memburu. “Kenapa rasanya sakit sekali?” lanjutnya panik. Ia berusaha mengatur pernapasan menarik dalam, hembuskan perlahan.
“Hah… hah…” Nafasnya terdengar kasar, tapi ia mencoba mengulanginya berkali-kali hingga perlahan-lahan kondisi mulai stabil kembali. Tubuhnya masih gemetar, namun setidaknya sesak itu berkurang.
Grisel mengusap keringat dingin di keningnya, berusaha menenangkan diri. Lalu, ia kembali menoleh ke arah anak-anak kembar itu. Namun betapa terkejutnya ia ketika mendapati keduanya sudah tidak ada di sana.
“Kemana mereka?” serunya panik, matanya membelalak.
Ia segera mengedarkan pandangan ke seluruh taman, mencari-cari sosok dua anak kecil itu. Namun tak satu pun bayangan mereka terlihat, padahal barusan mereka begitu jelas di depan matanya. Tidak ada jejak kaki, tidak ada suara tawa, seolah mereka menghilang begitu saja.
Grisel berdiri, melangkah terburu-buru menyusuri jalan setapak, berharap bisa menemukan mereka. Tapi hasilnya tetap sama. kosong.
“Aku… benar-benar melihat mereka, kan?” bisiknya gemetar, bingung antara kenyataan dan ilusi.
Dadanya kembali bergemuruh, kali ini bukan karena sesak, melainkan campuran rasa takut, bingung, dan kehilangan. Entah mengapa, hilangnya dua anak kembar itu membuatnya merasa ada bagian penting dari dirinya yang ikut terenggut.
“Aku harus menemukan mereka. Mungkin aku bisa menemukan potongan ingatan yang lengkap dari mereka,” putus Grisel dalam hati. Dengan langkah ragu namun penuh tekad, ia terus menyusuri jalan setapak yang membentang di samping rumah sakit.
Awalnya, jalannya terasa akrab, dipenuhi pepohonan rindang dan bunga liar yang menenangkan. Namun semakin jauh ia melangkah, semakin jarang ia melihat tanda-tanda rumah sakit di belakangnya. Ia tidak sadar sudah menempuh jarak jauh, hingga akhirnya tiba di ujung jalan yang terbuka ke arah kawasan asing.
Grisel berhenti sejenak, menoleh ke sekeliling. Tidak ada tanda-tanda keberadaan rumah sakit. Hanya pemandangan ladang kosong, pepohonan tinggi, dan jalanan kecil berkelok. Kepanikan perlahan menyeruak. “Aku… di mana ini?” gumamnya dengan suara bergetar.
Ia menatap sekitar, mencoba mencari petunjuk, tapi semuanya asing. Bisa dibilang, ini pertama kalinya ia keluar sejauh ini dari area rumah sakit. Hatinya mencelos, rasa takut perlahan menelan keberaniannya.
“Mungkin jalannya bukan ke sini…” pikirnya. Ia berbalik, mencoba mencari jalan kembali. Namun semakin ia melangkah, semakin terasa jauh, seakan jalannya berubah dan menyesatkannya. Nafasnya mulai memburu, langkahnya melemah.
Akhirnya Grisel berhenti. Ia berdiri di tengah jalan setapak yang sepi, lalu menoleh ke kiri dan kanan, berharap ada seseorang lewat. Tapi sunyi. Tak ada suara langkah, tak ada bayangan orang.
“Kenapa… sama sekali nggak ada yang lewat?” rintihnya, air matanya menitik tanpa sadar. Ketakutan semakin kuat mencengkeram.
Tak sanggup melanjutkan, Grisel pun duduk meringkuk di tepi jalan. Ia memeluk lututnya erat, berusaha menenangkan diri. Tapi hatinya kacau. “Bagaimana ini… apa yang harus kulakukan?” bisiknya, nyaris putus asa.
Angin berhembus pelan, membuat rambutnya berantakan. Di tengah kesepian itu, hanya suara jantungnya sendiri yang terdengar, berdetak cepat penuh cemas. Untuk pertama kalinya sejak ia dirawat, Grisel merasa benar-benar sendirian di dunia asing yang menakutkan.
**
Ferrin baru saja selesai memeriksa pasien terakhirnya ketika langit mulai berwarna oranye, tanda hari menjelang sore. Ia menyandarkan tubuh sejenak di kursi, tapi pikirannya langsung melayang pada Grisel.
“Bagaimana dengan Grisel? Apa dia sudah lebih baik… atau mungkin sudah menemukan potongan ingatannya?” gumamnya lirih. Hatinya dipenuhi rasa khawatir, dan entah kenapa, ia selalu merasa berempati yang dalam terhadap wanita itu, berbeda dari pasien-pasien lainnya.
Begitu tiba di ruangannya, ia tertegun. Ruangan itu kosong. “Dia nggak ada di sini… apa mungkin di taman?” Ferrin langsung beranjak, langkahnya cepat dan penuh kegelisahan.
“Grisel! Kamu di mana?” panggilnya setengah berteriak ketika tiba di taman. Ia memeriksa bangku demi bangku, sudut demi sudut, namun tak menemukan siapa pun. Nafasnya mulai berat karena cemas. “Tidak mungkin… apa dia keluar dari taman dan berjalan-jalan?”
Dengan rasa panik yang semakin menguat, Ferrin berlari kecil meninggalkan taman, memeriksa jalan setapak di sekitar rumah sakit. Pandangannya menyapu ke segala arah, namun tetap saja tidak ada tanda keberadaan Grisel.
Tiba-tiba, dari saku bajunya terdengar bunyi lirih.
tring… tring! Bunyi alarm kecil.
Ferrin terhenyak, buru-buru merogoh sakunya dan mengeluarkan benda itu. Sebuah lonceng kecil berbentuk bulat pipih dengan tali kulit hitam, tak lebih besar dari telapak tangan. Dialah yang memberikannya pada Grisel beberapa hari lalu, sebagai alat sederhana untuk memanggilnya jika ia merasa dalam bahaya atau butuh pertolongan.
“Ya Tuhan… dia menekannya,” desis Ferrin, wajahnya pucat. “Artinya Grisel mengalami sesuatu… atau sedang dalam bahaya.”
Tangannya gemetar menggenggam lonceng itu, suara dentingnya masih samar bergema. Panik mulai menguasai dirinya. Ia langsung menoleh ke kanan dan kiri, berlari lebih jauh ke arah jalan setapak.
“Grisel!!” panggilnya dengan suara lantang, memecah kesunyian sore. Ia terus berlari, matanya menyapu setiap sudut, penuh tekad untuk menemukan wanita itu sebelum sesuatu yang buruk terjadi.
Ferrin berhenti sejenak di ujung jalan setapak, napasnya terengah dan peluh menetes di pelipis. Bagaimana kalau Grisel tersesat? Atau… jangan-jangan dia diculik? pikirannya dipenuhi skenario buruk yang membuat dadanya semakin sesak. Jantungnya berdegup kencang, rasa panik kian menguasai.
Ia mengedarkan pandangan ke sekitar, hanya pepohonan dan jalan sunyi yang terlihat. “Tidak mungkin dia sejauh ini,” desisnya. Namun lonceng kecil di genggamannya masih bergetar samar, tanda Grisel pasti butuh pertolongan.
Ferrin menggertakkan gigi, berusaha menenangkan diri. “Kalau di sini nggak ada, berarti kemungkinan dia ke arah itu,” gumamnya sambil menatap jalan lain yang bercabang ke hutan kecil. Tanpa pikir panjang, ia berbalik dan berlari ke arah tersebut, berharap bisa menemukan Grisel sebelum segalanya terlambat. “Bertahanlah, Grisel… aku akan menemukanmu!” teriaknya lirih, penuh tekad.