Eps. 10 Tolong Aku

1380 Words
Grisel kembali menggulir bola mata menyapu ke sekitar. Di sana sepi hanya ada dirinya saja. Bahkan burung pun tak ada yang terbang lewat sana. Berbagai pikiran buruk pemerintah dalam benaknya. Bagaimana bila nanti dia bertemu dengan orang yang jahat yang kemudian menangkap dan menculiknya? Lalu menjual organ tubuhnya? Atau lebih parah lagi dia akan dijadikan pekerja malam di rumah bordil. Itu sungguh mengerikan sekali. Dia semakin meringkuk ketakutan kala mendengar suara derap langkah kaki cepat dari kejauhan ke arahnya. Ia hanya menyembunyikan kepalanya balik tangannya yang masih mendekat lutut. Dia ingin kabur dan pergi dari sana tapi tubuhnya tak bisa bergerak, berat seperti patung. Suara itu makin mendekat dan kini berhenti persis di depan Grisel. Tubuhnya semakin meremang, beneran rasa takut tidur sendiri. 'Tolong kirimkan bantuan untukku Tuhan kirim orang yang menyakiti aku.' Bahkan Grisel bisa merasakan tangan orang itu kini terulur dan menyentuh puncak kepalanya. Grisel menahan napas, jantungnya berdetak begitu cepat hingga terasa ingin meloncat keluar dari dadanya. Tubuhnya gemetar hebat, suara seraknya hampir pecah ketika ia mengulang lirih, “Jangan sakiti aku… kumohon…” Namun sentuhan di kepalanya terasa berbeda dari bayangan menakutkan yang sempat ia pikirkan. Tangan itu hangat, lembut, bukan kasar atau menyakitkan. Perlahan, suara yang familiar terdengar, menembus rasa paniknya. “Grisel… ini aku, dokter Ferrin,” ucap suara itu tenang namun penuh kepanikan yang tertahan. “To-tolong Jangan sakiti aku. Tolong jangan ganggu aku. Aku hanya wanita malang yang tak punya apa-apa kamu akan kecewa menangkapku,” ucapnya dengan suara serak. Ferrin tersenyum tipis tanpa suara melihat reaksi Grisel nggak ketakutan namun terlihat lucu baginya. “Grisel, ini aku Dokter Ferrin,” ulangnya untuk lebih meyakinkan. Grisel mendongak perlahan dengan wajah pucat pasi, matanya berkaca-kaca menatap sosok di depannya. “D…Dokter Ferrin?” suaranya bergetar, nyaris tak terdengar. Mata Grisel melebar, ia mendongak perlahan dan menemukan wajah Ferrin yang menatapnya dengan cemas. Seketika rasa takut yang tadi mencekik lenyap, berganti dengan kelegaan bercampur haru. “Dokter… Ferrin?” suaranya bergetar, nyaris tak percaya. Ferrin segera berjongkok di hadapannya, menatap lurus ke mata Grisel yang masih berkaca-kaca. “Iya, aku. Kamu kenapa bisa di sini sendirian? Aku mencarimu ke mana-mana,” ujarnya sambil menahan napas beratnya sendiri. Air mata Grisel jatuh tanpa bisa ditahan. “Aku… aku tersesat. Aku hanya ingin mengikuti anak kembar itu, tapi mereka menghilang. Aku… aku takut sekali,” jawabnya lirih. Ferrin langsung meraih bahunya, menepuk pelan untuk menenangkan. “Tenang, kamu sudah aman sekarang. Tidak ada yang akan melukaimu.” Grisel menunduk, masih gemetar namun perlahan merasa tenang. Kehangatan genggaman Ferrin memberinya rasa perlindungan, seakan semua ketakutannya bisa larut begitu saja hanya dengan kehadiran pria itu. Ferrin menarik napas panjang, lalu meraih kedua tangannya dan menggenggam erat. “Tenang, sekarang kamu sudah aman. Tidak ada yang akan menculikmu. Aku di sini. Jangan takut lagi.” Ia menatap dalam ke mata Grisel, berusaha menyalurkan ketenangan melalui tatapannya. Perlahan, Grisel merasa sedikit tenang. Namun tubuhnya masih lemas, seakan kehilangan tenaga setelah dicekam rasa takut yang begitu dalam. Ferrin pun tanpa ragu meraih bahunya dan membantu mengangkatnya berdiri. “Kamu nggak boleh jauh-jauh keluar dari area rumah sakit sendirian. Kalau ada apa-apa, panggil aku atau perawat. Jangan memaksakan diri, apalagi dalam kondisi kamu yang masih lemah begini.” Grisel hanya bisa mengangguk, menundukkan kepala penuh penyesalan. “Maaf… aku membuatmu repot,” bisiknya pelan. Ferrin menggeleng lembut. “Bukan soal repot, Grisel. Aku hanya nggak ingin kamu kenapa-kenapa.” Suaranya terdengar tulus, membuat da-da Grisel kembali berdebar tanpa alasan yang jelas. Ia kemudian menepuk bahu Grisel pelan. “Ayo, kita kembali. Hari sudah hampir gelap. Kamu butuh istirahat.” Dengan langkah hati-hati, Ferrin merangkulnya agar tidak jatuh, sementara Grisel membiarkan dirinya dipandu. Rasa takutnya perlahan mereda, berganti dengan perasaan hangat yang entah dari mana datangnya. Satu hal yang ia sadari, dalam momen itu, kehadiran Ferrin bagaikan pelindung yang menenangkan seluruh kekalutan hatinya. * Setelah Ferrin keluar, kamar itu terasa lebih sunyi dari sebelumnya. Grisel menatap pintu yang baru saja tertutup, seolah berharap dokter itu kembali masuk dan duduk di sisinya. Namun kenyataannya, hanya ada dirinya sendiri bersama keheningan yang menyelimuti. Ia berbaring perlahan, menarik selimut sampai ke da-da. Hatinya bergejolak, campuran lega karena sudah kembali ke rumah sakit dan cemas karena ditinggalkan sendirian. 'Kenapa aku jadi takut begini?' batinnya, menatap langit-langit kamar. Bayangan saat dirinya tersesat tadi kembali menghantui, membuatnya gelisah. Seorang perawat masuk sebentar untuk memastikan kondisinya. “Ada yang kamu perlukan? Air minum, atau mungkin obat tidur?” tanyanya ramah. Grisel menggeleng dengan senyum kecil. “Nggak, terima kasih. Aku baik-baik saja.” Padahal jauh di lubuk hatinya, ia ingin berkata kalau ia takut, kalau ia butuh ditemani. Tapi lidahnya kelu, ia menahannya tak ingin mendapatkan ataupun menjadi beban di sini. Begitu perawat keluar lagi, rasa sepi itu kembali menyergap. Grisel memejamkan mata, mencoba memaksa dirinya tidur. Namun suara-suara kecil di kepalanya tak berhenti, bayangan anak kembar yang menghilang, jalanan asing yang membuatnya panik, dan perasaan hangat saat Ferrin menggenggam bahunya. Ia memeluk selimut lebih erat, berusaha menenangkan diri. “Aku harus kuat,” bisiknya pelan, meski suaranya sendiri terdengar rapuh di telinganya. Setelah beberapa jam, Grisel akhirnya tertidur dengan posisi miring di ranjang. Awalnya tidurnya tenang, wajahnya terlihat damai seakan tubuhnya benar-benar kelelahan. Namun tak lama kemudian, keningnya mulai dipenuhi keringat dingin. Bibirnya bergerak pelan, seakan-akan ia menggumamkan sesuatu, lalu suaranya terdengar jelas, ia sedang mengigau. Dalam mimpinya, Grisel berdiri di sebuah tempat asing yang gelap dan sunyi. Hanya ada desir angin dingin yang menusuk tulang. Lalu tiba-tiba, sepasang mata muncul dari kegelapan, berkilat tajam dan penuh ancaman. Mata itu menatap lurus padanya, seakan hendak memburu dan menelannya hidup-hidup. “Jangan… jangan dekati aku!” pekiknya dalam mimpi. Ia mulai berlari, melintasi jalan panjang yang tak berujung, namun perasaan itu tak juga hilang. Tatapan mata itu terus mengikutinya, mendekat setiap kali ia mencoba menjauh. Akhirnya, Grisel tersudut di sebuah sudut gelap, napasnya memburu, tubuhnya gemetar hebat. Ia menempelkan punggungnya pada batang pohon besar, berusaha menyembunyikan diri. Kedua tangannya bersilang di depan da-da, seolah bisa melindungi dirinya sendiri. 'Jangan lihat aku, jangan dekati aku.' batinnya berulang-ulang. Namun tanpa diduga, sepasang mata itu muncul lagi, kali ini tepat di depannya. Cahaya tajamnya menyilaukan, dingin, menusuk ke dalam hatinya. “Akh!” Grisel menjerit seketika, tubuhnya terlonjak dari ranjang. Dengan wajah pucat dan nafas terengah-engah, ia segera duduk. Seluruh tubuhnya basah oleh keringat, tangannya bergetar hebat. “Mimpi… apa aku barusan? Itu sangat mengerikan sekali,” gumamnya dengan suara parau. Dadanya naik turun cepat, dan rasa takut masih membekap dirinya. Ia menatap sekitar kamar, memastikan semuanya nyata, bukan lagi bayangan menakutkan dari mimpinya. Namun rasa sesak itu belum juga hilang, membuatnya memeluk diri sendiri, mencoba menenangkan hati yang masih berdegup kencang. ** Ferrin tiba di rumahnya tepat ketika malam mulai pekat. Rumah itu berdiri megah dengan arsitektur modern minimalis yang didominasi warna putih dan abu-abu, kaca besar di bagian depan menampilkan kesan elegan sekaligus hangat. Halaman depannya luas, dihiasi taman kecil dengan lampu-lampu taman yang menyala lembut. Begitu membuka pintu, suasana tenang menyambutnya, lantai marmer mengilap, interior rapi dengan sentuhan kayu alami yang membuat rumah terasa hidup meski hanya dihuni seorang diri. Ia melepaskan sepatu di rak samping pintu lalu berjalan masuk. Tangannya masih membawa tas kerja yang berat. Sesampainya di kamar, Ferrin menaruh tas itu di meja kerja kayu berwarna cokelat tua yang berada di sudut ruangan. Kamar itu sendiri cukup luas, dengan ranjang king size berseprai putih, lampu tidur berwarna hangat, dan rak buku di sisi kanan yang penuh dengan jurnal medis dan beberapa novel yang ia kumpulkan sejak lama. Sambil melepas jas putihnya dan mengganti baju dengan kaus longgar, pikirannya kembali melayang pada sosok Grisel. Wajah pucat wanita itu, senyum kecilnya ketika berusaha tenang, juga tatapan matanya yang penuh tanda tanya, kembali terlintas jelas di benaknya. “Grisel… semoga kamu baik-baik saja di klinik ketika aku pulang,” gumamnya pelan. Ada sesuatu dalam dirinya yang sulit dijelaskan—perasaan khawatir yang lebih dari sekadar seorang dokter pada pasien. Ferrin lalu duduk di tepi ranjang, punggungnya bersandar pada kepala ranjang yang empuk. Pandangannya kosong menatap langit-langit. “Siapa sebenarnya Grisel?” bisiknya, penuh tanda tanya. Ia merasa seakan wanita itu menyimpan misteri besar yang perlahan menariknya masuk, membuatnya ingin tahu lebih jauh. Namun di sisi lain, ia khawatir keterlibatan ini akan menyeretnya pada sesuatu yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD