“Dok, ada kiriman makanan dari seseorang.” Diani menghampiri ruang kerja Davina.
“Dari siapa?” Davina yang saat itu tengah memperhatikan layar komputer, menoleh singkat.
“Nggak ada namanya, tulisannya hanya my sweety.”
Davina tersenyum, “Oh, simpan saja di sana.” ia menunjuk ke arah meja.
“Dokter tahu siapa pengirimnya? Maksud saya, nggak biasanya dokter mau nerima apapun dari seseorang yang tidak jelas identitasnya.”
Mengenal Davina baru beberapa bulan saja sudah membuat Diani tahu kebiasaan yang kerap dilakukannya, termasuk salah satu sifat Davina yang enggan bersikap akrab dengan perawat atau sesama dokter sekalipun. Jika ada kepentingan barulah ia akan berbicara, jika tidak, yang dilakukannya hanya senyum samar sebagai bentuk sapaan.
Pengecualian adalah Diani, perawat satu itu berhasil satu langkah lebih dekat dibanding rekan sejawat lainnya tapi bukan berarti Diani pun menjadi teman baik Davina. Keduanya hanya menjalin hubungan baik selama di rumah sakit, di luar itu keduanya seperti orang asing
Diani memaklumi keputusan Davina yang sangat menjaga kehidupan pribadinya, tidak senang bergaul bahkan tidak mengizinkan siapapun untuk lebih dekat dengannya. Itu keputusan Davina, ia hanya menjalankan tugasnya dengan menjadi rekan kerja yang baik.
“Nggak perlu, itu dari seseorang.” balasnya dengan senyum.
“Pacarnya?”
“Lebih tepatnya cinta pertama sih,”
Diani mengerutkan kening, “Oh, Dokter bisa jatuh cinta juga ya?”
“Kamu pikir saya ini nggak bakal jatuh cinta?”
Diani terkekeh, “Bukan nggak akan jatuh cinta, saya justru memikirkan lelaki seperti apa yang berhasil meluluhkan hati Dokter Davina. Sekelas dokter Alfarezi aja nggak bisa me,”
Davina menatap tajam ke arah Diani, yang membuatnya terpaksa menghentikan ucapannya.
“Hehe, bercanda sih dok! Jangan terlalu serius. Cukup pekerjaan kita aja yang serius.”
Davina menghela lemah, “Sudah, sekarang kamu keluar dulu, saya mau makan sebentar, nanti nyusul.”
“Baik, Dok.”
Diani pun pamit, kini hanya tinggal Davina seorang. Sedikit penasaran dengan bingkisan yang dikirim seseorang, Davina pun mengambilnya. Sebuah paper bag dengan logo terkenal terpampang dengan cukup jelas. Namanya tidak asing, hanya saja Davina jarang menikmati makanan dari brand tersebut.
“Sejak kapan ayah beli makanan di tempat ini?” Davina heran sendiri, saat memeriksa dimana terdapat beberapa jenis roti dan kopi panas. Bahkan ia tidak suka dengan jenis kopinya.
“Kenapa nggak beliin bubut aja sih?! Selain mahal, nggak bikin ngiler juga.”
Bingung sekaligus heran, sebab sang ayah selalu tahu makanan kesukaannya, bahkan hal sekecil apapun lelaki yang menjadi cinta pertamanya itu tahu. Untuk bingkisan yang datang pagi ini sedikit mencurigakan, bahkan dari kartu ucapannya pun sangat membuatnya curiga. Davina harus memastikannya terlebih dahulu, bisa saja kiriman tersebut salah orang walau di dalam note tertulis, untuk Dokter Davina, dan diakhiri dengan my sweety.
“Sejak kapan ayah manggil aku sweety dan pake embel-embel dokter?”
Ia segera mengambil ponsel, rencananya akan segera menghubungi ayahnya untuk memastikan kiriman tersebut, namun baru saja Davina mengambil ponsel dari dalam laci, tiba-tiba saja pintu terbuka dengan kencang dan tanpa di ketuk terlebih dahulu.
“Dokter, darurat! Cepat!” Diani datang terburu-buru dengan wajah panik dan kedua di pakaiannya terdapat bercak darah.
“Baik.” tanpa menunggu lebih lama lagi, Davina segera bergegas mengikuti Diani yang terlebih dulu berlari menuju ruang UGD.
Davina berjalan cepat, nyaris berlari setelah tahu ada situasi darurat. Ponselnya berdering beberapa kali, tapi ia mengabaikannya tanpa mengetahui siapa yang telah menghubunginya. Di ruang UGD, ada seorang lelaki tengah menunggu dengan cemas melihat si wanita dengan kondisi terluka parah. Tidak hanya itu, si wanita yang tidak diketahui namanya itu mengalami kejang, tubuhnya bergetar hebat.
“Pindahkan ke ruang pemeriksaan.” perintah Davina, pada beberapa perawat yang juga membantu.
“Silahkan tunggu,” ucapnya pada si lelaki yang terlihat sangat khawatir.
“Silahkan tunggu,” lelaki itu terlihat hendak mengikuti Davina, namun terlebih dulu dicegah.
“Tolong selamatkan dia,” balasnya dengan tatapan tidak putus, terus memandangi si wanita.
“Kami akan melakukan yang terbaik.”
Davina berusaha meyakinkan, walaupun tidak tahu apakah hasilnya akan seperti harapan si lelaki.
Davina membawa pasien wanita dengan luka di bagian leher dan di wajah itu ke ruangan khusus. Ingatannya kembali tertuju pada seseorang yang juga memiliki luka serupa, dia adalah Noah. Luka di leher, dengan sayatan yang cukup dalam.
Saat melakukan pemeriksaan, wanita itu tidak memberontak sedikitpun, ia hanya tergelak dengan sesekali menggumam tidak jelas. Tapi saat seorang perawat lelaki datang, tiba-tiba saja dia berteriak dan nyaris turun dari atas bangkar.
“Tenang,” Davina dan Diani memegangi tangan wanita itu.
“Jangan takut, kami akan menolongmu.”
Namun wanita itu terus saja berteriak histeris, seakan perawat lelaki itu hendak menyakitinya. Davina berusaha mencari kesalahan apa yang terjadi di ruangan itu, saat pasien terlihat tenang dan pasrah namun tiba-tiba ia berteriak histeris dan ketakutan, Davina merasakan ada sesuatu yang mungkin membangkitkan ketakutan besar dalam diri pasien.
“Tolong keluar, pastikan hanya ada perawat wanita di ruangan ini.” ucap Davina.
“Baik, Dok.”
Perawat lelaki itu pergi, setelah menaruh peralatan yang dibawanya.
“Tenang, kamu akan sekarang. Dia sudah pergi.” Davina mengusap punggungnya dengan lembut.
“Dia tidak akan mengganggumu apalagi sampai menyakitimu. Kamu aman bersama kami.”
“Nama kamu siapa?” Davina berusaha melakukan pendekatan, membuat ikatan lebih dekat dengan si pasien.
“Maureen,”
“Maureen ya? Aku Davina, kamu aman bersama kami.”
Setelah melihat Maureen sedikit lebih tenang, Davina pun mulai melakukan proses pengobatan.
“Tenang,, aku akan menolongmu.”
Karena takut Maureen akan kembali histeris, terpaksa Davina membiusnya agar melakukan pengobatan lebih mudah dan cepat.
Luka yang dialaminya cukup parah, tidak hanya luka gores akibat benda tajam juga berbagai luka akibat benda tumpul yang ada nyaris di seluruh tubuhnya. Davina sampai menahan nafas saat membersihkan luka di sekujur tubuh Maureen, menahan sesak yang tidak dapat diungkapkan. Dalam benaknya terus berpikir, apa yang membuatnya bisa mengalami hal seperti itu? Siapakah yang tega melakukannya?
Butuh waktu lebih dari tiga puluh menit untuk mengobati luka di seluruh tubuh Maureen, beruntungnya semua proses itu berlangsung dengan lancar dan Maureen terselamatkan.
“Jangan sampai ada perawat laki-laki masuk ke ruangannya, aku rasa dia baru saja mengalami kekerasan.” ucap Davina pada beberapa perawat yang ada di dalam ruangan tersebut.
“Bawa dia pindah ke ruang perawatan, dia masih harus diperiksa lebih lanjut setelah siuman nanti,”
“Baik, Dok.”
Davina menghela lemah setelah selesai menolong Maureen. Ia segera pergi menuju ruangan khusus untuk membersihkan diri, usai melakukan tindakan medis.
Karena sudah lewat jam sarapan pagi dan ia belum makan apapun, akhirnya Davina pun mengambil roti dari dalam kantong paper bag. Buka roti kesukaannya tapi perutnya sudah terlanjur lapar. Baru saja menghabiskan separuh, tiba-tiba saja ponselnya berdering. Nomor tidak dikenal muncul di layar ponselku, dan Davina tidak berniat untuk menerima panggilan tersebut dan lebih memilih untuk mengabaikannya saja.
Tapi, lagi-lagi ponselnya berdering namun sayangnya Davina tidak akan mudah terpancing.
Lima panggilan tidak terjawab, setelahnya muncul notifikasi pesan masuk. Untuk pesan masuk ia begitu penasaran sebab pesannya disertai gambar, namun saat ia membaca pesan tersebut, Davina langsung tersedak dan memuntahkan roti dari dalam mulutnya.
“Aku kirimkan makanan kesukaan kamu, semoga suka, my sweety.” Pesan singkat yang membuatnya merinding tapi lebih merinding lagi saat ia membaca nama dari si pengirim.
“Yang menyukaimu, Noah.”
Kedua mata Davina terbelalak, terkejut sekaligus tidak percaya dengan apa yang baru saja dibaca.
“Kenapa kata-kata lebih mirip manusia purba? Tahun berapa dia lahir?” ucapnya dengan ekspresi jijik.