Baru saja keduanya melangkah masuk ke dalam restoran, mata Kania langsung tertumbuk pada sosok Edward yang duduk tidak jauh dari pintu. Dadanya tiba-tiba sesak, gelombang gugup merayap tanpa henti. Rasanya, ia ingin segera berbalik, meninggalkan tempat tersebut sebelum Edward menyadari kehadirannya bersama Arya di sana. Tapi sialnya, Arya ternyata juga melihat keberadaan paman kecilnya itu.
"Sayang, itu Om Edward, 'kan?" tanya Arya, seolah ingin memastikan.
Kania menoleh ke arah yang ditunjuk Arya, pura-pura tenang meski jantungnya masih berdetak cepat. "Oh iya, benar. Itu Pak Edward," jawabnya pelan, berusaha mengendalikan suara agar tak terguncang.
Sementara Arya terlihat bersemangat, tangannya menggandeng Kania dan berkata, "Kebetulan banget. Ayo, kita samperin dia dulu."
Kania langsung menolak. "Tapi, Sayang. Sebaiknya nggak usah, ya. Aku lapar, jadi kita langsung pesan makan saja," ucapnya dengan nada manja, bahkan bergelayut di lengan Arya untuk meyakinkan pria itu.
Akan tetapi di balik sikap manisnya itu, Kania merasa jijik pada dirinya sendiri. Mengapa ia harus pura-pura seperti ini? Kenapa ia membiarkan perasaannya terperangkap dalam kepura-puraan yang terasa sangat menyakitkan? Dia merasa sangat muak, tetapi tak berdaya menolak arus yang sudah membawanya ke sana.
"Oh, gitu. Ya sudah, Sayang, kita langsung cari tempat duduk saja, ya. Mungkin Om Edward di sini juga lagi menunggu kliennya, teman atau mungkin perempuan yang dia katakan waktu itu," kata Arya, langsung setuju.
"Maksud kamu?" tanya Kania bingung, keningnya berkerut.
"Oh iya, aku belum cerita, ya?" Arya memulai dengan nada santai, tetapi matanya menyiratkan sesuatu yang lebih dalam. "Om Edward sebenarnya dijodohkan sama kakek dengan cucu rekan bisnisnya. Tapi, dia menolak. Katanya, dia sudah punya wanita yang dicintainya. Tapi, belum pernah dikenalkan ke kakek." Lalu, dia menambahkan dengan suara yang sedikit menahan tawa sinis, "Entah itu benar atau cuma alasan Om Edward untuk kabur dari perjodohan, aku juga nggak tahu."
Kania terdiam, seolah semua kata itu menggantung di udara dan mengisi kekosongan pikirannya. Dia pernah mendengar kabar tersebut sewaktu makan malam di kediaman Drax, hanya saja waktu itu perasaannya begitu kacau, sehingga kabar itu hanya jadi bisik samar yang terlewat begitu saja. Dia juga ingat, Edward pernah mengatakan langsung tentang upaya kaburnya dari perjodohan itu—tepat di hari pertama mereka bertemu, dalam sebuah insiden yang tak pernah bisa dilupakan.
Tapi, siapa wanita yang Edward katakan dia cintai itu? Kania benar-benar tak tahu dan entah mengapa, pertanyaan itu terasa berat—tapi juga tak penting untuk dirinya. Untuk apa juga ia pusing memikirkan hal itu? Bukan urusannya juga, 'kan? Kania menghela napas pelan, mencoba menyingkirkan rasa penasaran yang tiba-tiba menyeruak tanpa diundang.
Arya menarik tangan Kania dengan kuat, membawa calon istrinya menuju meja yang menurutnya cukup nyaman. Dan tanpa banyak pilihan, Kania mengikutinya.
Namun, jarak antara meja mereka dan Edward tidak terlalu jauh. Tanpa Kania sadari, ternyata Edward melihat mereka. Raut wajahnya terlihat kusut, tangannya menggenggam erat, menahan emosi yang jelas bergejolak di dalam d**a. Apa yang dia rasakan saat melihat Kania bersama Arya? Apakah hatinya hancur atau hanya sekadar kecewa yang tersembunyi rapat?
Merasa sia-sia, akhirnya, Edward memutuskan untuk pergi meninggalkan tempat itu. Tapi sebelumnya, langkahnya membawanya menghampiri Kania dan Arya yang sedang memilih menu. "Tidak disangka, kita bertemu di sini, Sekretaris Kania," katanya dingin.
Sorot mata Kania langsung membeku, kaget oleh kehadiran tak terduga itu. "I-iya, Pak Edward. Kebetulan sekali," jawabnya gugup.
Arya, tak tahan untuk bertanya tanpa basa-basi, "Om Edward, sendirian di sini, atau sedang menunggu perempuan yang Om maksud?"
"Ya, tadinya memang seperti itu. Tapi batal karena dia mengingkari janjinya," jawab Edward seraya melirik Kania dan tersenyum sinis.
Mendengar akan hal itu, Kania tersentak, ia meneguk salivanya dengan susah payah. Dia tahu betul jika Edward sedang menyindirnya, tetapi apalah daya, dia bersalah dan tidak bisa menjelaskan untuk saat ini.
Sementara Arya menahan tawa, tak sengaja mengejek Edward dengan santai. "Oh, begitu, Om? Ya sudahlah, mungkin wanita itu lagi ada urusan mendadak. Lalu, Om mau ke mana sekarang? Jangan bilang, Om Edward mau ikut gabung di sini. Ini makan malam spesialku dengan Kania, jadi aku tidak akan setuju." Dia langsung menolak sebelum Edward sempat berbicara, bahkan belum tentu juga itu maksud pamannya.
Tetapi ekspresi Edward tampak datar dan tak terpengaruh. "Oh, tentu saja tidak. Selamat menikmati makan malam," katanya singkat, lalu menoleh Kania. "Oh ya, Sekretaris Kania, jangan pulang terlalu malam. Selalu hati-hati." Suaranya bergetar sedikit ketika menambahkan, "Satu lagi, jangan pernah mengingkari janji. Seperti orang yang berjanji dengan saya malam ini." Dia lalu beranjak pergi.
Arya mengernyit, rasa bingung menyergap seraya menatap punggung pamannya yang segera menjauh tanpa menunggu balasan. "Dia terlihat sangat kecewa karena wanita itu nggak jadi datang. Aku jadi semakin penasaran, siapa orang itu? Tapi, peringatan macam apa tadi? Kenapa dia malah sok-sok'an mengingatkan kamu, Sayang? Aku rasa otaknya sudah konslet," ujarnya.
"Ya sudahlah, biarkan saja. Lebih baik sekarang kita pesan makanannya." Kania mengalihkan pembahasan lain.
Arya mengangguk setuju, lalu mereka pun segera saja memesan makanan dan minuman yang diinginkan. Tetapi meskipun di luar tampak tenang, di dalam hati Kania terus bergemuruh. Dia benar-benar merasa bersalah kepada Edward dan berjanji akan segera menjelaskan kepada pria itu secepatnya.
***
Tujuan Edward malam ini adalah pulang ke kediaman Drax. Entah kenapa, dia ingin menenangkan perasaannya di sana dan langsung menemui ayahnya yang di saat itu sedang berada di ruang baca.
Edward menatap Wira, sebelum mengingatkan," Pa, ingat, umur Papa sudah tua. Jangan tidur terlalu malam."
"Untuk apa juga Papa memikirkan hal-hal itu? Bukankah anak-anak Papa juga sudah tidak ada lagi yang peduli terhadap Papa? Dan sekarang, kenapa kamu pulang rumah? Tumben sekali, ada apa?" tanyanya dengan tatapan curiga yang menusuk.
Edward mendengus. "Kenapa aku selalu salah di mata Papa? Kalau aku tidak pulang, salah. Pulang juga salah," ujarnya, merasa terperangkap dalam persimpangan yang membingungkan.
"Duduklah, ada yang ingin Papa bicarakan!"
Mendengar perintah Wira, Edward segera menuruti dan duduk tepat di hadapan ayahnya itu. "Jadi, ada apa, Pa?" Suaranya berusaha tenang, tetapi hatinya penuh kecemasan.
Tanpa basa-basi, Wira langsung bertanya, "Sebenarnya, siapa orang yang kamu maksud, wanita yang kamu cintai itu? Bukan Kania, calon istri keponakanmu, 'kan?"
Pertanyaan itu membuat jantung Edward berdegup kencang. Ia terkejut, tetapi tetap menampilkan wajah santai. Namun, di dalam hati, ia bingung—bagaimana dia bisa menjelaskan semuanya kepada sang ayah? Apa yang sebaiknya ia beritakan tanpa menambah beban?
Bersambung …