Edward tahu, jika ia bicara jujur, ayahnya pasti akan menentang. Sebenarnya, ia bisa saja mengungkapkan semua tentang keburukan Arya, membuka tabir yang selama ini disembunyikannya. Namun, ia merasa belum saatnya. Sehingga ia memilih mengelak, mencari celah agar tak harus berkata benar sekarang.
"Kenapa Papa bisa berpikir seperti itu?" tanyanya heran. "Apakah di dunia ini sudah tidak ada wanita lain lagi, sampai aku harus mencintai calon istri keponakanku sendiri?"
"Ya, memang ada banyak wanita lain. Jadi Papa berharap, kamu tidak akan menikung keponakanmu sendiri," kata Wira, suaranya penuh harap.
Namun, rasa penasaran Edward tak kunjung padam. Ia menatap ayahnya dengan curiga. "Tapi, kenapa Papa tiba-tiba bisa berpikiran seperti itu? Pasti ada sebabnya, 'kan? Tidak mungkin tanpa alasan."
"Papa tidak buta, Edward," jawab Wira tegas. "Papa melihat dengan jelas, malam itu kamu terus mencuri pandang menatap Kania dengan tatapan berbeda. Tapi syukurlah, kalau memang tidak ada apa-apa." Meski dalam hatinya terasa masih ada yang mengganjal, namun ia berusaha percaya terhadap putra bungsunya.
Edward menghela napas. Wajahnya tetap tenang. "Papa tidak perlu khawatir atau memikirkan hal-hal negatif seperti itu. Sudah malam, lebih baik sekarang Papa tidur. Istirahat. Aku juga mau istirahat. Selamat malam, Pa." Ia tak ingin lagi melanjutkan pembahasan itu.
"Ya, selamat malam," balas Wira sebelum Edward pergi meninggalkan ruangan tersebut.
***
Sementara itu di restoran, meski Kania saat ini duduk di hadapan Arya, calon suaminya, namun jiwa dan pikirannya terasa melayang entah ke mana. Mata Arya yang penuh perhatian bahkan tak mampu mengusir bayang-bayang Edward yang terus menghantui pikirannya. Ia masih terus memikirkan Edward, hatinya cemas. Sinar kecewa dari raut rauh wajah dan sindiran pedas pria itu tadi, terus terbayang di benaknya.
Seharusnya ia bisa melupakan semua itu, tapi mengapa perasaan bersalah malah semakin mencengkeram erat? Rencana awal Kania adalah menjelaskan semuanya esok pagi di kantor. Namun, detik demi detik berlalu, kegelisahan terus tumbuh menjadi ketidaksabaran yang membuatnya ingin segera menemui Edward malam ini juga. Apa dia terlalu melewati batas? Tetapi jika tidak segera, ia tidak akan bisa tenang. Itulah yang Kania pikirkan, jantungnya berdegup kencang.
"Sayang, kita pulang sekarang, ya. Aku sudah kenyang." Kania merasa tak bisa lagi berlama-lama di sana.
Arya terkejut. "Loh, tapi itu makanan kamu masih banyak, Sayang. Dari tadi aku perhatikan, kamu seperti lagi nggak selera. Ada apa, sih? Apa yang kamu pikirkan? Kamu lagi ada masalah? Cerita sama aku, ya," ucap Arya dengan penuh perhatian, seraya menggenggam erat tangan Kania yang berada di atas meja.
"Cih, benar-benar menjijikan. Kapan semua ini akan berakhir? Arya, aku benar-benar muak melihat kamu terus berpura-pura baik dan perhatian seperti ini. Untungnya aku bukan Kania yang dulu, yang begitu bodoh, selalu percaya dengan ucapan kamu," gumam Kania dalam hati, lalu berpura-pura tersenyum manis.
Kania menatap Arya, berusaha meyakinkan pria itu bahwa ia baik-baik saja. "Aku nggak apa-apa. Aku benar-benar sudah kenyang, Sayang. Terima kasih ya, atas perhatiannya," ucapnya pelan sambil mencoba menenangkan hatinya yang bergejolak.
Tetapi, Arya yakin ada yang Kania sembunyikan darinya. "Kamu yakin? Tapi, nggak biasanya kamu seperti ini. Aku tahu, pasti lagi ada yang kamu pikirkan. Tapi nggak apa-apa kalau kamu nggak mau cerita sekarang. Kalau nanti kamu sudah siap, aku harap kamu cerita, ya. Bagaimanapun juga, aku ini calon suamimu. Aku akan selalu ada untuk kamu. Kalau kamu butuh bantuan, aku juga pasti akan membantumu semampuku, Sayang."
Kania tahu, Arya berkata begitu untuk membuatnya percaya, tapi sayangnya hatinya tak bisa lagi menerima. Bukan pertama kalinya ia mendengar janji-janji manis yang hanya merupakan bagian dari sandiwara pria itu. Untungnya, Kania sudah tahu sifat asli Arya serta pengkhianatan yang tersembunyi di balik sikap manis lelaki tersebut. Benar-benar membuatnya lelah. Jantungnya berdetak bukan karena senang, tetapi lebih karena merasa terjebak dalam permainan yang tak berujung. Kania merasa bosan. Benar-benar sangat bosan. Namun untuk sekarang, ia memilih diam dan mengukir senyum palsu seakan merasa senang atas perhatian yang Arya berikan, menunggu kapan semuanya benar-benar akan berakhir.
Kania lagi-lagi membatin, "Tahan Kania, tahan. Pokoknya kamu harus tahan. Tetaplah bersandiwara. Pernikahan kalian sebentar lagi akan tiba dan di saat itu semuanya akan berakhir." Ia berusaha menguatkan dirinya sendiri.
Kemudian, ia menatap Arya dengan lembut sambil mencoba menenangkan dirinya yang terus gelisah. "Tenang saja, aku nggak akan menyembunyikan apapun dari kamu," katanya, meyakinkan. "Kalau ada masalah, aku pasti cerita. Tapi, sekarang kita pulang ya. Badanku tiba-tiba nggak enak. Aku mau istirahat. Yang terpenting malam ini kita sudah bertemu dan makan malam bersama, aku sudah menepati janjiku untuk menebus waktu yang akhir-akhir sulit kita habiskan bersama." Kania tersenyum manis, suaranya mengalun lembut.
"Iya, Sayang," sahut Arya. "Ia menarik napas dalam-dalam, lalu bertanya, "Tapi, apa boleh aku tanya satu hal dulu?"
Kania mengangguk. "Iya, tentu. Apa yang mau kamu tanyakan?"
"Sebenarnya, aku merasa sikapmu akhir-akhir ini berubah. Kamu seperti nggak peduli lagi sama aku. Bahkan saat aku ajak kamu bertemu, kamu terlihat nggak bersemangat seperti biasanya." Suara Arya agak bergetar saat melanjutkan, "Aku jadi berpikir, jangan-jangan kamu sudah nggak mencintaiku lagi. Tapi, itu nggak mungkin 'kan, Sayang? Ini cuma soal kesibukanmu saja, 'kan?" Ia menatap mata Kania dengan intens, berharap dapat menemukan jawaban yang bisa meredakan gelisah di d**a. Rasanya takut dan khawatir berputar di dalam, menuntut kepastian dari kata-kata tunangannya.
"Ya, tentu saja. Kamu juga tahu kalau aku mencintai kamu. Tapi, memang akhir-akhir ini aku sibuk dengan pekerjaan. Apalagi, semenjak ada CEO baru. Kamu juga tahu 'kan, kalau Pak Edward itu orangnya lebih cekatan daripada CEO Sebelumnya? Dia ingin semua pekerjaan cepat selesai dengan baik, bahkan waktu istirahat saja aku gunakan untuk bekerja supaya pekerjaanku cepat selesai," ujar Kania, mencari alasan yang terdengar masuk akal.
"Oh iya, kamu benar juga, Sayang. Nanti aku akan bicara dengan Om Edward supaya dia nggak terlalu mengekang kamu dengan pekerjaan. Aku nggak mau kamu sampai kenapa-napa, sakit misalnya karena kecapean. Apalagi, sebentar lagi kita akan menikah," ucap Arya, bentuk perhatiannya benar-benar diatur dengan baik dalam skenario.
"Aku baik-baik saja kok, Sayang. Yang penting kamu mengerti kondisiku sekarang," jawab Kania pelan, menahan agar Arya tak lagi curiga padanya. Ia berharap, dari tutur kata sederhana itu, Arya hanya berpikir positif dengan apapun yang dilakukannya
"Iya, Sayang. Aku janji akan selalu mengerti," sahut Arya dengan penuh keyakinan.
Mereka pun saling bertukar senyuman, menutup celah-celah sandiwara masing-masing. Saat ini, keduanya hanya sedang berusaha menjalani peran dengan baik, seolah dalam semua drama yang akan tayang. Hanya saja, Kania tahu segalanya. Berbeda dengan Arya yang masih menganggap dirinya pintar, padahal tidak tahu keadaan sedang berbalik padanya.
Arya bergumam dalam hatinya, "Ternyata Kania masih di bawah kendaliku. Oke, nggak apa-apa aku bersabar dulu, sampai waktunya nanti tiba dan semuanya akan berakhir. Kania … Kania, dasar wanita bodoh!" Tanpa dia sadari jika Kania sudah menyiapkan balas dendam yang tak terduga.
Bersambung …