Bab 15. Merasa Bersalah

1062 Words
Setelah tiba di kediamannya dan memastikan mobil Arya benar-benar telah menjauh, Kania melangkah keluar dengan hati berdebar tak menentu. Dengan tangan gemetar, ia membuka pintu garasi dan mengeluarkan mobilnya yang sudah lama terdiam berdebu—kendaraan yang jarang disentuhnya karena selama ini ia lebih memilih naik taksi online agar tak lelah menyetir, atau bahkan hanya menyerahkan semua pengantaran pada Arya yang tanpa lelah bolak-balik menjemputnya ke mana pun dia pergi. Namun malam ini, ada sesuatu yang mendorong Kania untuk nekat menghadapi malam sendirian. Jarum jam sudah menunjuk pukul 23.00 WIB, waktu yang seharusnya sudah dipenuhi ketenangan—tidur di atas kasur yang empuk misalnya, namun tidak bagi Kania. Dalam dadanya berkecamuk seribu pergulatan antara keraguan dan tekad, ia menginjak gas mobil dengan penuh keberanian. Arya tadi mengatakan akan pulang ke rumah orang tuanya, meninggalkan celah yang tak bisa ia sia-siakan. Walau apartemen Edward terletak di sebelah apartemen calon suaminya itu, tentunya tak jadi masalah. Ia tak perlu khawatir akan bertemu dengan Arya. Kania memburu waktu seperti seorang pelari dalam balapan hidup, melaju kencang menembus malam. Dalam hitungan menit, kurang dari setengah jam, ia sudah tiba di sana. Hatinya berdetak tak henti, campuran antara gugup, takut dan harapan yang membara. Malam ini, kesalahpahaman akan tuntas atau justru semuanya berubah menjadi mimpi buruk yang tak pernah ia bayangkan. Jalanan malam yang sunyi membentang tanpa hambatan, seolah memberi izin bagi langkah Kania yang terburu-buru. Napasnya tersengal saat ia mencapai pintu apartemen Edward, tangannya gemetar menekan bel berulang kali, namun hanya hampa yang menjawab. "Edward ... di mana kamu sekarang?" bisiknya penuh kegelisahan, jari-jarinya tak berhenti mengirim pesan, menantikan balasan yang tak kunjung datang. Sunyi itu semakin membelit, membuat hati Kania sesak dengan penyesalan yang menggumpal—janji yang telah ia ingkari. Ia semakin merasa bersalah karena tak memiliki keberanian untuk langsung menjelaskan saat mereka bertemu di restoran tadi. "Maafkan aku, Edward ... aku sadar aku salah," ucapnya lirih, sebelum akhirnya terhuyung lelah, duduk terpaku di sudut apartemen, berharap pintu itu akan terbuka, membawa harapan yang mulai redup di matanya. * Akan tetapi, sudah hampir setengah jam lamanya, Kania menunggu tanpa ada sedikitpun tanda-tanda kemunculan Edward. Ia juga sudah menghubungi pria itu hingga beberapa lewat telepon dan pesan singkat yang dikirimnya, memberitahu di mana ia berada sekarang. Tapi, kenapa Edward belum juga muncul? Apa benar dia tidak peduli sama sekali? Atau mungkin dia memang marah besar? Kalau memang benar begitu, apa susahnya memberikan kabar? Setidaknya bilang, jangan membuat seorang wanita menunggu tanpa kejelasan seperti ini. Kania mulai merasa terbuang dan tidak dihargai. Mungkin ia terlalu berharap, tapi bukankah ia pantas tahu alasan kenapa pria itu tidak datang? Akhirnya, ia memutuskan untuk pergi. Setidaknya ia sudah mencoba, walau malam ini terasa sia-sia. Mungkin besok ada kesempatan untuk berbicara dengan Edward lagi. Sialnya, baru saja melangkah menuju parkiran, tiba-tiba dua pria yang mirip preman muncul entah dari mana. Senyum mereka yang melebar, menggoda, seperti menang lotre membuat bulu kuduk Kania meremang. Kenapa malam ini jadi begini? Apa yang harus ia lakukan sekarang? Bagaimana jika dua pria itu menyakitinya? "Hai, wanita cantik! Mau ke mana? Ikut abang, yuk! Aku jamin kamu akan bersenang-senang malam ini," goda salah satu pria dengan senyum licik yang tak bisa ditipu. "Mau apa kalian, hah? Jangan ganggu saya, atau saya akan teriak!" Kania membalas dengan nada ketus, matanya menyipit tajam, menolak keberadaan mereka yang terlalu dekat. "Jangan galak-galak lah, Nona Manis. Kamu di sini sendirian, lebih baik ikut kami. Jangan sampai kamu menyesal nanti," goda pria yang lain sambil berani menyentuh bahu Kania. Dengan gerakan cepat dan kasar, Kania menepis tangan itu. "Berani sekali kamu! Jangan sok jual mahal." Pria itu mendengus, marah. "Teriak saja. Kamu pikir, siapa yang bisa menolongmu di tengah malam seperti ini? Di sini hanya ada kita. Apa pun yang mau kami lakukan, tidak akan ada yang melarang!" Namun, Kania menatap tajam, suaranya pecah dari tenggorokan dengan keberanian yang membara, "Kalian tidak akan bisa melakukan apa pun. Lebih baik pergi dari sini, sebelum semuanya jadi lebih buruk!" Kemarahan dua pria tadi berubah menjadi amarah yang membara karena perlawanan Kania yang begitu berani. Langkah keduanya mendekat tanpa ragu, tangan mereka meraih ke arah Kania. "Lepaskan saya! Lepaskan!" teriak Kania sambil berusaha melepaskan diri, d**a berdetak cepat dan napasnya memburu. Malam itu berubah menjadi medan pertempuran, keberanian seorang wanita yang berdiri tegak menghadapi badai kegilaan yang mencoba menelannya. "Lepaskan wanitaku! Tiba-tiba saja, terdengar suara pria yang penuh kemarahan dan memecah kesunyian. Edward, menghampiri mereka dengan langkah cepat, wajahnya penuh amarah yang sulit dibayangkan. Tanpa ragu, dia langsung melayangkan pukulan bertubi-tubi pada dua pria itu, hingga dalam hitungan detik mereka terkapar tak berdaya di tanah. Kemudian, Dia menghampiri Kania. Tubuh wanita itu tampak menggigil, pakaiannya sobek di bagian lengan pasti karena ulah mereka tadi. Tanpa pikir panjang, ia segera melepaskan jas yang sedang dipakainya dan menutupi tubuh Kania. "Kania, kamu baik-baik saja?" Perlakuan dan suara Edward yang penuh perhatian membuat Kania terdiam sejenak, sebelum ia mengangkat wajahnya. "Edward ...." ucapnya lirih, suara itu dipenuhi kelegaan yang sulit disembunyikan. Tanpa sadar, Kania langsung memeluk Edward erat, seolah ingin melepas semua ketakutan yang menghimpit d**a. Tangan Edward membalas pelukan itu dengan lembut, mengusap rambut dan punggung Kania perlahan, berusaha menenangkannya. "Jangan takut, aku di sini. Aku akan melindungimu," kata Edward, penuh ketegasan dan rasa aman yang mulai Kania rasakan mengalir ke seluruh tubuh. Kania mengangguk pelan. "Terima kasih sudah datang, Edward. Kamu juga sudah menolongku." Hatinya bergolak, terjebak antara rasa takut yang masih membekas dan rasa syukur yang mendalam atas kehadiran seseorang yang begitu peduli dan siap melindunginya. Edward tahu, saat ini Kania sedang tak baik-baik saja. Tanpa pikir panjang, ia menggendong tubuh yang lemas, membawa wanita itu masuk ke apartemen dengan langkah cepat. Begitu sampai, ia langsung memberi Kania minum, memastikan perempuan tersebut mulai tenang. "Sebenarnya, apa yang kamu lakukan, Kania? Kenapa kamu datang sendirian malam-malam seperti ini? Kamu tahu, betapa berbahayanya malam-malam seperti ini untuk seorang wanita, tapi kenapa kamu nekat?" Edward berusaha menahan rasa bingung yang membuncah di dalam d**a, tak habis pikir. Kania terdiam sesaat, lalu suara kecilnya berkata, "Aku cuma mau minta maaf, aku merasa bersalah karena sudah mengingkari janji, tapi—" Belum sempat Kania melanjutkan, Edward menutup bibir wanita itu dengan ciumannya dan melumat dengan lembut. Anehnya, Kania tak menolak, bahkan membalasnya dengan tulus, seolah ciuman itu memang dia nantikan. Hatinya terasa lebih tenang saat itu, meskipun rasa penasaran dan kekhawatiran tentang dirinya belum juga sirna. Bersambung …
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD