Bab 07. Membekas Berbeda

1216 Words
Tok, tok, tok! Ketukan itu kembali terdengar di pintu, semakin tajam, diikuti oleh suara Arya yang bergetar, "Kania ... apa kamu masih di dalam? Kamu baik-baik saja? Buka pintunya." Di balik pintu itu, Kania berdiri dengan jantung yang berdegup tak beraturan. Meski Arya telah mengkhianatinya dengan perselingkuhan yang mengguncang hatinya, bukan berarti dia ingin membalasnya dengan cara terburu-buru, apalagi di kediaman Drax. Baginya, itu terlalu tak etis, terlalu cepat untuk sebuah balas dendam. Namun, sikap Edward malah berbanding terbalik. Senyum liciknya melebar, seolah membakar semangat gelap di dalam dirinya. Tanpa ragu, tangannya menyelinap di bawah lipatan rok gaun Kania, mengusap paha halus itu dengan sentuhan yang lembut dan menantang. Mata Kania terbelalak. "Apa yang kamu lakukan?" rahangnya mengerat, suaranya serak, mencoba menahan tangan Edward yang semakin melenceng dari batas kesopanan. Tetapi, Edward seolah menolak mendengar, malah mendekatkan wajahnya, mengendus leher Kania dengan napas hangat yang membuat bulu kuduk wanita itu meremang. Gelombang geli bercampur cemas menyapu seluruh tubuh Kania. Hatinya berteriak minta lepas, namun tubuhnya terkunci dalam perangkap liar yang dibangun oleh Edward. Suasana yang seharusnya penuh rasa waspada berubah menjadi medan pertempuran antara kehendak dan rasa takut, di mana hanya satu yang bisa menang: kekuasaan atau kemurnian jiwa. "Kania! Jawab aku, Sayang. Apa kamu ada di dalam?" Suara Arya kembali terdengar, pria itu memutar-mutar handle pintu, berusaha untuk membukanya. "Iya, Ar. Aku ada di dalam. Aku sakit perut. Maaf." Kania akhirnya menjawab, sambil menahan getaran di d**a karena sentuhan-sentuhan yang Edward berikan padanya. Arya seakan tak percaya. "Kamu yakin baik-baik saja?" tanyanya lagi, untuk memastikan. "Iya, aku baik-baik saja. Kamu tunggu saja di ruang makan, aku akan segera kembali," sahut Kania, berharap Arya segera pergi dari sana. "Ya sudah. Tapi kalau ada apa-apa kamu panggil aku, ya," kata Arya, tanpa jawaban lagi. Akhirnya, dia pun pergi dari toilet. Setelah memastikan Arya sudah cukup jauh, barulah Edward menghentikan perbuatannya dan menjauh dari Kania. Namun, tiba-tiba … Plak! Tamparan keras menghantam pipi Edward, membuat pria itu terkejut. Ini sudah kali kedua Kania menamparnya. "Kamu benar-benar keterlaluan, Edward!" Suara Kania penuh kemarahan, tatapannya menembus sampai ke relung hati. Edward memicingkan mata, mencoba membela diri. "Bukankah kamu mau membalas dendam? Aku hanya melakukan tugasku, ini juga soal balas budi. Seharusnya kamu berterima kasih padaku, Kania!" Nada suaranya santai, tetapi ia tahu Kania tidak akan mudah luluh. "Itu bukan berarti kamu bisa bertindak sesuka hati, apalagi di tempat seperti ini," jawab Kania tegas, suaranya menyimpan kesal yang dalam. Edward tersenyum tipis. "Jadi maksudmu, ada tempat lain yang lebih tepat untuk melakukan semua ini?" godanya dengan tatapan nakal. "Dasar laki-laki m***m! Aku benar-benar tidak menyangka bisa bertemu dengan pria gila sepertimu!" Kania menyudahi perdebatan dengan langkah tergesa ke luar toilet, meninggalkan Edward dengan perasaan campur aduk. Sementara itu, Edward hanya menyeringai tipis, tangannya sigap memegang sudut bibirnya yang berdarah. Tamparan Kania tadi sungguh keras, tapi anehnya, bukannya merasa sakit atau marah, justru rasa itu memicu semangatnya untuk mendekat kepada wanita itu lebih lagi. "Kamu semakin membuatku kagum, Kania," gumam Edward, nada sinis menyelinap dalam benaknya, tetapi juga ada gairah yang sulit dikendalikan. * Di ruang makan, Arya memandang Kania yang baru saja kembali, dengan tatapan penuh kekhawatiran. "Kania, kamu baik-baik saja?" tanyanya pelan, berharap mendengar jawaban yang menenangkan. Wira di samping Arya pun tak kalah cemas, sorot matanya mengikuti setiap gerak gerik Kania. "Aku baik-baik saja. Kek, Arya, maaf, aku harus pergi sekarang. Ada urusan mendadak," kata Kania terburu-buru, tetapi nadanya sudah berbeda, mood-nya langsung rusak sejak perlakuan Edward tadi. Hatinya kacau, benaknya penuh perasaan yang sulit diurai. "Ya sudah. Kalau begitu, aku antar kamu sekarang," ucap Arya, nada lembutnya berusaha menenangkan tapi tetap memegang teguh niatnya. "Nggak usah. Kamu 'kan, sudah lama nggak datang ke sini. Sebaiknya kamu temani kakek dulu, aku juga sudah pesan taksi online." Kania menolak dengan tegas, tubuhnya gemetar sedikit. "Nggak, Kania. Bagaimanapun juga, aku yang menjemput kamu dan aku yang akan mengantar kamu pulang. Seperti biasa." Arya bersikeras, nada suaranya membawa beban harapan agar Kania setuju. Wira ikut menimpali, "Benar, Kania, lebih baik kamu pulang bersama Arya. Itu akan lebih aman." Akan tetapi, Kania tetap kekek pada keputusannya. "Aku akan baik-baik saja dan aku juga sudah pesan taksi online, nggak enak kalau sampai aku batalkan. Kek, Arya, aku mohon izinkan aku pergi sendiri." Tampaknya, Wira merasakan ada sesuatu yang tidak beres dengan Kania dan saat ini wanita itu ingin seorang diri, sehingga dia pun tak memaksa lagi. "Ya sudah, hati-hati. Dan kamu, Arya, tetap berada di sini karena Kakek ingin berbicara serius denganmu," katanya. "Tapi, Kek-" "Biarkan Kania pergi!" potong Wira dengan tegas. Tak membantah lagi, Arya hanya bisa menyimpan rasa kesal di dalam hatinya, membiarkan Kania pergi seorang diri, sementara dirinya tetap berada di sana. *** Kini, Kania sudah berada di dalam taksi online, tetapi hatinya tetap tak tenang. Apa yang terjadi di kediaman Drax tadi terus bergemuruh dalam pikirannya, membuat perasaannya kacau tak beraturan. Ini bukan sekadar marah pada Edward yang bertindak begitu kurang ajar padanya, tapi kenapa sentuhan liar pria itu—yang seharusnya ia benci—malah membekas berbeda di kulitnya? Dia memang sengaja mendekati paman Arya untuk membalas dendam pada calon suaminya itu, tetapi apakah membalas perselingkuhan dengan perselingkuhan adalah keputusan yang benar? Kania benar-benar kehilangan arah dalam pikirannya. "Kenapa jadi seperti ini?" batin Kania dalam diam, mencoba mengurai benang kusut di hati. Ia berharap bisa memilih yang benar, tetapi rasanya semua pilihan terasa salah. Lamunannya terpecah ketika sopir tiba-tiba menginjak rem. "Ada apa, Pak?" tanya Kania dengan hati-hati, ingin tahu apa yang terjadi. "Saya tidak tahu, Nona. Tiba-tiba saja ada orang menghalangi jalan dan membuat saya harus berhenti mendadak," jawab sopir sambil melirik ke jalan, lalu memastikan kondisi penumpangnya. "Apa Nona baik-baik saja? Saya benar-benar minta maaf." Kania menarik napas panjang, berusaha menenangkan diri sebelum mencari jawaban atas semua kekacauan itu. "Iya, Pak, saya baik-baik saja. Tapi, siapa orang ini dan apa maksudnya?" Ia merasa heran sekaligus penasaran. "Saya tidak tahu, Nona. Biar saya lihat dulu," jawab sopir, dia hendak keluar dari mobil, namun Kania menghentikannya. "Tidak usah, Pak. Biar saya saja," kata Kania. Saat ini emosinya sedang tidak stabil, malah diganggu oleh seseorang yang tidak tahu siapa. Tentu saja hal itu semakin membakar amarahnya. Kania segera keluar dari taksi dan begitu terkejut melihat orang yang tak asing berada di depan matanya. "Kamu? Untuk apa kamu menghalangi jalanku? Minggir kamu dari sini!" teriaknya, mengusir Edward yang berjalan mendekatinya. Namun, Edward sama sekali tak menjawab, melainkan tangannya tiba-tiba meraih dan menarik tangan Kania dengan paksa. "Lepaskan aku! Apa yang sebenarnya kamu inginkan?" Suara Kania bergetar, berusaha memberontak sekuat tenaga. Tetapi alih-alih melepaskan, Edward justru menggendong Kania seperti sedang menculik. Membawa wanita itu ke dalam mobilnya dengan cepat, lalu mengunci pintu rapat-rapat. "Aku harus keluar dari sini! Lepaskan aku!" jerit Kania, tangannya panik mencoba membuka pintu yang tidak bisa terbuka sedikit pun. Di balik kegelisahannya, ia tak mengerti—kenapa Edward begitu keras kepala? Apa sebenarnya maksud pria itu? Pikirannya berputar, hatinya semakin panas. Sementara itu, Edward berjalan ke arah sopir taksi, berbicara dengan suara yang tak Kania dengar. Hingga tak lama kemudian, sopir itu meninggalkan tempat itu. Sedangkan Edward kembali ke mobil dan tanpa basa-basi, Kania menyambutnya dengan cengkeraman kuat di lehernya. "Kenapa kamu lakukan ini padaku? Aku akan membunuhmu sekarang juga, Edward!" ucap Kania, napasnya memburu, marah dan kecewa bercampur menjadi satu. "Laki-laki b******k! Kamu rasakan ini!" Bersambung …
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD