Bab 06. Pengkhianatan Tetaplah Pengkhianatan

1087 Words
Namun, Kania tak akan peduli pada omongan orang lain. Untuk apa ia harus mementingkan perasaan mereka, sedangkan hatinya sendiri sudah terjerat oleh pengkhianatan yang menusuk dalam? Pengkhianatan tetaplah pengkhianatan, tak peduli seberapa baik perlakuan pria tua itu padanya. Wira, pria yang selalu hangat padanya, bahkan menganggapnya seperti cucu sendiri. Tetapi, apakah itu alasan untuk melawan kata hatinya sendiri? Mengorbankan diri demi sesuatu yang ia tahu akan terus menyakitkan? Ia tak mau jatuh dalam luka yang sama lagi. "Soal itu, nanti saja kita bahasnya ya, Kek," katanya pelan, mencoba menenangkan diri. "Masih ada waktu beberapa bulan, nggak perlu terburu-buru." Edward cepat menyahut, "Aku setuju. Lagi pula, siapa yang tahu apa yang akan terjadi nanti? Belum tentu juga mereka berjodoh." Terkejut, Wira menatap Edward dengan bingung. "Apa maksudmu? Kamu menyumpahi keponakan dan calon istrinya tidak berjodoh?" tanyanya, suaranya penuh tanya. "Iya, kenapa Om malah bicara seperti itu? Bilang saja, sebenarnya Om iri, 'kan? Karena Om sampai sekarang belum memiliki pasangan. Kenapa Om tidak menerima perjodohan dari kakek saja? Itu salah Om sendiri," ujar Arya, bangga mendapatkan pembelaan dari sang kakek. Edward menatap datar, suaranya penuh ketegasan saat berkata, "Cih, aku tidak pernah iri kepada siapa pun. Dalam sebuah hubungan, menjaga itu harus saling dilakukan, bukan hanya dari satu pihak saja." Wira memperhatikan Edward dengan cermat, meski tak sepenuhnya mengerti arah pembicaraan putranya itu. Tetapi ia tahu, apa yang anaknya katakan memang benar adanya. "Pengkhianatan adalah hal paling saya benci. Kalau memang sudah tidak saling cinta, kenapa harus dipaksakan? Jujur saja lebih baik daripada hidup dalam kebohongan yang akhirnya menyakitkan. Tapi Kakek yakin, Kania tidak mungkin melakukan hal itu. Tidak tahu bagaimana dengan bocah tengik ini," ucap Wira sambil melirik tajam ke arah cucunya. Hati Arya seketika mengeras, dia merasa sangat terkejut. "Apa maksud Kakek bicara seperti itu?" Suaranya melemah, tapi penuh keberanian. "Mana mungkin aku berkhianat dari Kania? Kakek tahu, aku mencintainya dengan sepenuh hati. Bahkan, aku yang mengenalkannya pada kakek. Aku juga sudah berjanji kepada ibu Kania, sebelum beliau tiada, aku akan menjaga putrinya dengan baik." Ia mengucapkannya dengan nada meyakinkan, berharap semua keraguan hilang dari wajah mereka. "Yakin, bukan karena ada maksud tertentu?" tanya Edward dengan nada penuh sindiran, seolah dia tahu sesuatu. Kania yang sejak tadi diam saja, akhirnya pun berbicara, "Maaf Pak Edward, seharusnya Anda tidak perlu berbicara seperti itu. Anda tidak tahu bagaimana hubungan saya dan Arya, jadi lebih baik tidak usah ikut campur." Dia sama sekali tidak suka ada orang lain yang mencampuri urusannya, seolah Edward tahu segala tentangnya. Arya menatap tajam ke arah Edward, merasa kesal mendengar ucapan pamannya yang tanpa tahu menahu tentang hubungannya dan Kania. "Om, tolong jangan asal bicara seperti itu," tegasnya, mencoba menepis kekhawatiran yang tiba-tiba muncul. "Sial, apa maksud ucapan Om Edward? Apa mungkin dia tahu sesuatu? Tidak mungkin. Hanya aku dan Sisy yang tahu semuanya. Ini pasti hanya kebetulan," gumamnya dalam hati. Namun, bayang-bayang keraguan itu sempat menyusup ke pikirannya, lalu ia usir cepat sebelum mengendap dalam hati. "Sudahlah, sampai kapan kita akan mengulang pembicaraan yang sama? Lebih baik sekarang kita makan, hari sudah semakin malam," usul Wira, menutup obrolan yang mengganjal itu. "Kebetulan Kakek sudah lapar." "Iya, Kek. Ayo kita ke ruang makan. Aku juga sudah lapar," sahut Arya cepat, lebih baik menghindar daripada arah pembicaraan itu semakin jauh. Kania dan Edward juga menyetujuinya, tanpa basa-basi lagi, mereka segera menuju ke ruang makan. Saat sampai, mata mereka langsung dimanjakan oleh hidangan lezat beraneka ragam yang tersaji di atas meja, seolah acara besar tengah berlangsung. "Kek, apa Kakek nggak salah menyiapkan makanan sebanyak ini?" tanya Arya, matanya terbelalak. "Tentu saja tidak. Makan malam ini adalah makan malam spesial, walaupun hanya kita berempat. Karena ada Kania, calon cucu menantu Kakek yang jarang sekali datang ke sini, ada anak bungsu Kakek yang baru kembali luar negeri dan satu lagi, walaupun Kakek tidak terlalu menginginkannya, cucu yang sama sekali tidak pernah peduli dengan kakeknya sendiri dan selalu saja bersikap seenaknya," jawab Wira yang jelas menyindir Arya. Arya menarik napas panjang, mencoba menenangkan suara hati yang berkecamuk. "Kek, Kakek sendiri tahu aku sibuk, aku juga membantu mengurus perusahaan Kakek," katanya pelan tapi penuh keyakinan. "Bukan karena aku sengaja tidak datang. Tapi aku janji, aku pasti akan sering berkunjung dan nanti, setelah menikah, aku dan Kania pasti akan tinggal di sini." Ia menatap Kania, mencari jawabannya. "Iya 'kan, Sayang?" tanyanya penuh harap. Kania mengangguk, wajahnya tampak gugup dan enggan. Jelas, jawaban itu tidak tulus dari dalam hatinya, malah rasanya sangat menjijikkan, tetapi ia juga tak bisa menolak saat ini. * Makan malam berlangsung dalam keheningan yang hangat. Hanya dentingan sendok dan garpu yang saling beradu mengisi ruangan. Akan tetapi, diam-diam pandangan Edward selalu tertuju pada Kania, memperhatikan setiap gerak wanita itu dengan saksama. Perlahan, kakinya menyentuh kaki mulus Kania di bawah meja. Meski ia tahu ini mungkin mengejutkan, tetapi ia tak mampu menahan diri. Karena aksi Edward yang tiba-tiba itu, membuat Kania tersedak saat sedang meneguk air, tumpahan menyebar membasahi bajunya. "Sayang, kamu baik-baik saja?" tanya Arya sambil menepuk pelan punggung Kania, suara penuh perhatian dan kekhawatiran. "Kania, kamu baik-baik saja?" tanya Wira pula, tak kalah khawatir. "Nggak apa-apa kok, Arya, Kek. Aku baik-baik saja, tapi aku mau ke toilet dulu, ya. Mau membersihkan bajuku," jawab Kania, meyakinkan. "Silakan, Kania," jawab Wira. "Mau aku temani?" tawar Arya, basa-basi. "Nggak usah, aku bisa sendiri," jawab Kania dan segera pergi Setelah masuk ke dalam toilet, Kania berdiri terpaku di depan cermin, menatap wajahnya yang penuh emosi. "Apa maksud Edward bersikap seperti itu?" gumamnya, rahangnya mengeras. Belum hilang rasa marah dan bingungnya, tiba-tiba saja pria itu muncul dari belakang. Padahal ia yakin sudah mengunci pintu, lalu bagaimana pria itu bisa masuk begitu saja? "Pak Edward, kenapa Anda bisa masuk ke sini?" tanyanya dengan tatapan tajam, berusaha menutupi kebingungan sekaligus rasa tidak suka. Tetapi Edward memilih diam, tanpa sepatah kata pun. Tanpa aba-aba, tangannya merangkul pinggang Kania, menarik wanita itu dekat ke dirinya. Jantung Kania berdetak kencang. "Lepaskan saya," bisiknya tergesa. "Ini bisa berbahaya kalau sampai ketahuan kita berdua ada di sini." Namun, suara Edward mengalun pelan di telinga Kania, "Asalkan kamu diam, tidak akan ada yang tahu, Sayang." Mata Kania membesar, tak percaya dengan kata-kata dan gerakan Edward yang tiba-tiba itu. Tanpa ia sempat merespon lagi, bibir Edward sudah menempel di bibirnya, memaksanya menerima ciuman itu tanpa kata. Tok, tok, tok! Tiba-tiba, ketukan pintu yang keras membuyarkan suasana. "Kania, kamu masih di dalam, Sayang? Apa kamu baik-baik saja?" Terdengar suara Arya memanggil dengan nada lembut, namun membuat hati Kania melonjak kaget dan takut. Apa yang harus dilakukannya sekarang? Semua terasa begitu rumit. Bersambung …
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD