Bab 05. Dilema Itu Menyiksa

1210 Words
Arya menyeret Sisy hingga kini mereka sudah berada di ruang kerjanya, dia langsung menutup pintu meski tidak dikunci. Wajah Arya masih menyiratkan kekesalan yang sulit ia sembunyikan. "Sisy, aku peringatkan sekali lagi, kamu harus bisa menahan diri saat kita berada di perusahaan seperti ini. Kita tidak bisa terang-terangan," ucapnya tegas, nadanya seperti menekan setiap kata. Sisy menatap pria itu, mencoba menyembunyikan gelora emosi di dalam d**a. "Lalu, kapan kita bisa terang-terangan?" tanyanya, suara menantang, seolah menuntut kejelasan dari semua rasa tersumbat itu. Arya menarik napas panjang, seolah menyiapkan argumennya. "Tunggu waktu yang tepat. Kamu juga tahu rencanaku—menikahi Kania. Bisa 'kan, kamu bersabar sedikit lagi? Hanya tinggal beberapa bulan lagi, aku dan Kania akan menikah. Apa kamu mau semuanya hancur sebelum waktunya? Aku bisa kehilangan semuanya dalam sekejap, bahkan warisan kakek, hanya karena aku tidak jadi menikah dengan Kania." Kalimat-kalimat itu menusuk hati, tetapi Sisy tahu tidak ada gunanya melawan sekarang. Ia selalu menjadi yang nomor dua, jelas-jelas hanya simpanannya Arya, namun demi kenyamanan dan gaya hidup yang ia nikmati, ia memilih untuk bertahan. Menunduk, suara Sisy pelan, "Aku minta maaf, Sayang. Aku janji akan lebih berhati-hati." Namun di balik janji itu, ia tak bisa menahan sesuatu. "Tapi, hanya kita berdua sekarang di ruangan ini." Ia tersenyum menggoda. Arya mengerti maksud Sisy, sehingga tanpa berbasa-basi dia pun langsung saja meraih tubuh selingkuhannya itu dan meletakkannya di atas meja kerja. Lalu menciumi leher Sisy dengan penuh gairah sambil bergantian menciumi bibir ranum wanita itu. Tak membutuhkan waktu lama, nafsu yang Arya rasakan semakin meningkat. Sambil b******u, ia melepaskan segitiga pengaman di balik rok pendek Sisy, lalu mengusap-usap kepemilikan wanita itu, yang membuat sang empunya mendesah dan juga tersenyum puas karena merasakan kenikmatan yang hakiki. Detik berikutnya, Arya membuka celananya sendiri hingga menunjukkan tongkat ajaib yang sudah berdiri tegak sempurna. Sisy turun dari meja, bergantian memanjakan milik Arya, memijat-mijat lembut dengan jarinya lalu mengulumnya seperti sedang ngemut permen lolipop. "Ahggg … Sayang, ayo lebih cepat lagi," pinta Arya diiringi suara desahannya. Rasanya, Arya sudah tidak tahan lagi untuk segera menyelesaikannya di saat Sisy mempercepat gerakannya. Ia membangunkan Sisy yang tadi duduk jongkok, lalu dengan posisi sang wanita yang membelakanginya, Arya segera saja memasukkan miliknya pada lembah kenikmatan yang sudah menanti. Setelah tenggelam dengan sempurna, ia memaju-mundurkan pinggulnya, keduanya menikmati bercinta di dalam ruangan dengan waktu singkat namun penuh kepuasan. "Sayang, aku sudah mau keluar," ucap Sisy dengan manja, wanita itu juga terus mendesah tanpa henti. "Pelankan suaramu, Baby. Aku juga hampir sampai," ucap Arya, seraya melajukan gerakannya, hingga akhirnya mereka sama-sama mencapai klimaks. "Cih, benar-benar sangat menjijikkan. Kenapa aku baru tahu kalau ternyata kalian juga bisa melakukan hal kotor seperti ini di tempat kerja, bukan hanya di apartemen?" batin Kania yang di saat itu berada di depan ruangan Arya. Ya, dia memang sengaja membuntuti mereka karena ingin tahu apa yang terjadi selanjutnya. Ternyata dugaannya benar, calon suami dan sahabat pengkhianatnya itu bermain kuda-kudaan di dalam ruang kerja, tanpa takut ada yang memergoki perbuatan b***t mereka. *** Tepat pukul 19.00 WIB, Arya tiba di kediaman Kania. Malam ini, mereka berjanji untuk makan malam bersama kakek Arya yang sudah lama tidak bertemu dengan Kania, sekaligus membahas soal pernikahan mereka yang semakin dekat. Ketika Kania keluar dari pintu rumahnya, Arya tak bisa melepaskan pandangan dari wanita itu, dia terpesona. Wajah Kania berbeda malam ini, lebih cantik dari biasanya. Padahal tanpa make-up pun, wanita itu sudah terlihat menawan. "Arya, kenapa malah bengong? Ayo jalan," sapa Kania yang telah berdiri di samping Arya, mengusir lamunan pria itu. Arya tersadar dan buru-buru membalas, "Oh iya, maaf. Kamu cantik sekali malam ini. Aku sampai pangling lihat kamu." Kania tersenyum manis. "Terima kasih. Ayo, kita pergi. Kakek pasti sudah menunggu." Tapi di balik senyum itu, ia menyimpan rasa jengkel dan jijik karena harus terus berpura-pura. Namun, ia berusaha tidak memperlihatkan kekakuan itu. Membukakan pintu mobil untuk Kania, lalu Arya mengucap, "Silakan masuk, Tuan Putri." Kania membalas dengan cepat, "Terima kasih." Ia lalu masuk ke dalam mobil. Setelah menutup pintu kembali, Arya segera menyusul, masuk ke dalam mobilnya dan melaju. *** Sementara itu di ruang keluarga kediaman Drax, Edward duduk berhadapan dengan ayahnya, Wirawan Drax. Pria tua yang akrab disapa Wira itu tampak kesal, matanya menusuk ketika berkata, "Sampai kapan kamu akan tinggal di apartemen? Ini rumahmu. Tapi Papa hanya sendirian di sini, tanpa keluarga. Arya, bocah tengik itu juga jarang sekali datang bersama ibunya." Edward menelan ludah, mencoba menjaga nada suaranya tetap tenang, "Seperti yang Papa tahu, aku sudah terbiasa hidup sendiri. Aku tidak terlalu suka keramaian. Lagi pula, apartemen itu dekat dengan perusahaan. Tapi Papa tidak perlu khawatir, aku akan sering datang mengunjungi Papa." Namun, ada keraguan yang terlihat di mata Wira. Dia mendengus. "Kamu itu sama saja seperti kakakmu dan Arya. Sepertinya dari kalian tidak ada yang peduli terhadap Papa. Papa berharap, setelah Arya dan Kania menikah, mereka mau tinggal di sini. Supaya Papa tidak hanya ditemani asisten dan para pembantu. Kania anak yang baik, dia pasti setuju," ucapnya, penuh harap. Mendengar hal itu, Edward termenung sejenak, sadar bahwa dirinya mungkin terlalu fokus pada kenyamanan sendiri dan belum cukup berusaha menyambung ikatan keluarga yang terasa renggang bagi Wira. Dia tetap diam membisu, matanya memandang kosong, hingga ayahnya kembali bersuara. "Bukankah kamu menolak perjodohan karena sudah mencintai seorang wanita? Di mana wanita itu dan siapa?" tanya Wira dengan nada penasaran. Pertanyaan itu bukan sekadar ingin tahu, tetapi juga penegasan yang membuatnya berhenti memaksa putranya untuk menikah dengan wanita pilihannya. "Selamat malam, Kek, Om," sapa Arya yang telah tiba bersama Kania. Kedatangan mereka membuat Edward merasa lega, karena ia tak perlu menjawab pertanyaan ayahnya. Dia menatap Kania dengan tatapan yang sulit diartikan, ada perasaan senang, seolah berkata 'Hai Kania, kita bertemu lagi di sini'. Namun, tidak dengan yang dirasakan oleh Kania. Wanita itu begitu sangat terkejut, tak menyangka Edward ada di sana. Arya tidak mengatakan apapun, karena pria itu juga tidak tahu jika pamannya tersebut berada di sana. "Arya, Kania, kalian sudah sampai? Silakan duduk." Suara Wira memecah kesunyian. Arya yang masih menggenggam tangan Kania, tanpa ragu langsung membawa calon istrinya itu ke hadapan kakek dan pamannya. Diam-diam, Edward memperhatikan mereka, menyimpan pikirannya sendiri tentang apa yang mungkin akan terjadi selanjutnya. Kania menyalami tangan Wira dengan lembut, lalu mencium telapak tangan pria tua itu, mencoba menyembunyikan kegugupan yang tiba-tiba menjalari dadanya. "Kania, bagaimana kabarmu? Kamu pasti sudah mengenal Edward, paman Arya, yang baru datang dari luar negeri, 'kan? Dia CEO di perusahaan tempat kalian bekerja," ucap Wira sambil memperkenalkan anak bungsunya. Mengangguk pelan, Kania berusaha terdengar yakin. "Iya, Kek. Aku sudah mengenal Pak Edward. Aku sekretarisnya." Suaranya tenang, tetapi hati bergetar. "Aku baik-baik saja. Kakek juga sehat, 'kan?” tanyanya balik. Wira tersenyum, ada harapan yang terlukis jelas di matanya. "Oh iya, Kakek lupa kalau kamu sekretaris CEO. Maklum, Kakek sudah tua. Kakek juga baik-baik saja, apalagi kalau kamu dan Arya cepat menikah dan tinggal di sini. Pasti kakek akan semakin sehat," katanya penuh harap. Mendengar itu, jantung Kania berdetak tak karuan. Ia tahu betul harapan besar yang terpancar dari suara dan tatapan Wira. Tetapi, bagaimana jika sang kakek tahu apa yang sebenarnya sudah cucunya lakukan? Jika pria tua itu tahu ia sudah berniat membatalkan pernikahan mereka? Dilema itu menyiksa, membuatnya terjebak antara harapan yang harus ia bawa dan kenyataan yang harus ia pendam rapat-rapat dalam hati. Bersambung …
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD