Bab 04. Karena Tentangmu Sangat Menarik

1062 Words
Anda tidak tanya dulu apa yang saya inginkan, Pak Edward? Kenapa Anda bisa langsung setuju begitu saja?" Suara Kania bergetar, ada kebingungan terselip di dalamnya. "Apapun itu, saya akan setuju, Sekretaris Kania," jawab Edward dengan yakin, lalu tersenyum santai. "Apalagi, saya paling tidak suka berhutang budi. Jadi saya akan segera membayarnya," lanjutnya ringan, sambil mendekat dan menarik pinggang ramping Kania hingga jarak mereka sangat dekat. Jantung Kania berdetak kencang. Ia ingin melepaskan diri, tetapi suaranya malah terdengar bergetar, "Lepaskan saya. Kamu sangat tidak sopan bersikap seperti ini terhadap bawahanmu, Pak Edward!" Tatapannya menantang, tak rela didekati seperti itu. "Tidak sopan? Kenapa? Bukankah yang kamu inginkan adalah membalas dendam pada tunangan dan sahabatmu yang telah mengkhianatimu? Kalau hal seperti ini tidak sopan, lalu apa yang harus kita lakukan, Sekretaris Kania?" Edward menyeringai, seolah tahu semua rahasia sekretarisnya. Mata Kania melebar, tidak percaya. "Dari mana kamu tahu soal itu? Saya belum mengatakan apa pun. Kamu stalking saya?" Suaranya tajam penuh curiga. "Kenapa Pak Edward begitu ingin tahu tentang hidup saya?" Edward menatap Kania dalam diam, tak langsung menjawab. Perlahan ia mendekatkan wajahnya ke telinga wanita itu, membisikkan kata-kata yang sangat penting bagi kelancaran rencana mereka, "Karena tentangmu sangat menarik. Lagi pula, balas dendam harus berjalan mulus." Kemudian, Edward mengendus leher Kania, mencium aroma harum yang menyelimuti leher wanita itu. Hal tersebut membuat Kania geli sekaligus merasakan sensasi yang tak biasa, hampir membuatnya terhanyut dalam suasana. Tok, tok, tok! Namun, ketukan pintu yang terdengar tiba-tiba menghentikan momen itu. Kania segera menarik diri dan mereka berdiri dengan sikap formal. Tak lama, pintu terbuka dan Arya muncul. Suara Edward melekat nada ketidaksukaan ketika bertanya, "Ada apa?" "Aku ingin berbicara denganmu," kata Arya singkat, tanpa basa-basi. "Ini di perusahaan." Edward menegaskan. "Seharusnya kamu berbicara dengan sopan, walaupun kamu keponakanku dan Nona Kania juga sudah tahu apa hubungan kita." Mendengar ucapan Edward, Arya langsung menatap Kania, seakan mempertanyakan bagaimana Edward bisa tahu bahwa tunangannya itu sudah tahu tentang hubungannya dengan CEO baru di perusahaan tersebut? Apakah Kania yang langsung mengatakannya pada Edward? Namun, Kania hanya diam, menyimpan rahasia di balik pandangannya. "Maaf, Pak Edward, Pak Arya, saya permisi dulu." Hanya kata itu yang keluar dari mulutnya, berpamitan. Tanpa menunggu jawaban apapun dari dua pria yang ada di hadapannya saat ini, ia bergegas pergi dari ruangan CEO dengan perasaan tak menentu. Edward kembali duduk di kursi kebesarannya dengan sikap tenang, kaki bertumpu dan tangan terlipat di d**a. Di sisi lain, Arya masih menoleh ke belakang, melihat pintu yang sudah tertutup rapat, menyadari bahwa tunangannya, Kania, sudah menghilang dari pandangan mata. "Ada apa, Pak Arya?" Suara Edward menggelegar menembus keheningan, mengejutkan Arya. Arya langsung membalikkan badan dan duduk di kursi hadapan Edward, mencoba menyingkirkan rasa tegang yang menjalar. "Om, ayo lah, tidak perlu formal seperti itu, apalagi hanya kita berdua di sini,” katanya pelan, berusaha menenangkan diri sekaligus memberi ruang. Edward menatap Arya dengan tajam. "Cepat katakan, untuk apa kamu datang ke sini? Apa yang mau kamu katakan? Kamu benar-benar menggangguku." Ia merasa sangat kesal, momen manisnya bersama sang sekretaris harus terusik karena keponakannya. Arya tak bisa lagi menahan kata-katanya, "Om, aku tahu kamu lebih tampan, tapi hanya sedikit lebih dariku, lebih kompeten dalam segala hal dan selalu menang jika bersaing denganku. Tapi, Kania … dia tunanganku, calon istriku. Jadi, aku harap Om tidak berusaha merebutnya dariku." Ia berhenti sejenak, lalu melanjutkan, "Om boleh mengambil apapun dariku, tapi jangan pernah mencoba merebut Kania." Ucapannya terdengar tegas, seolah menancapkan batas yang tak bisa dilewati siapapun, termasuk Edward. Edward mengangkat alis, menatap tajam keponakannya. "Jadi, akhirnya kamu mengakui aku lebih darimu?" Suaranya berat, penuh tantangan. "Tidak ada yang menarik darimu yang harus aku rebut, kecuali Kania," batinnya. Arya cepat-cepat membalas, "Sedikit saja." "Selama ini, kamu selalu merasa aku sebagai saingan yang berusaha merebut segalanya miliknya. Tapi, bukankah sebaliknya? Justru kamu yang selalu menginginkan apapun yang aku punya," ujar Edward, senyumnya yang sinis seperti menguatkan kebenaran itu. Akan tetapi, Arya tak mau mengakui hal itu, bukan karena dia merasa kalah, tetapi bisa dikatakan takut kalah. "Sudahlah, yang pasti aku tidak mau Om merebutkan Kania dariku," katanya, bergegas bangkit dan melangkah menuju pintu. Namun, tiba-tiba terdengar suara Edward menghentikan langkahnya. "Apa kamu takut jika rencanamu gagal?" Arya tersentak, berbalik dengan rasa penasaran yang langsung menyelimutinya. "Apa maksudmu?" tanyanya. Edward hanya menjawab dingin, "Bukan apa-apa. Silakan keluar." Akhirnya, Arya pun keluar dari ruangan itu dengan perasaan campur aduk. Dalam hatinya, ia membulatkan tekad. Edward sudah menggantikan posisinya selama ini, bahkan harus pamannya itu yang baru kembali dari luar negeri yang dipercayakan menjadi CEO di perusahaan, padahal dirinya yang sudah lama mengabdi di perusahaan tersebut, tetapi kali ini selain merebut kembali apa yang seharusnya miliknya, ia akan memastikan rencananya pada Kania tidak akan gagal. "Aku sudah kembali. Aku yang seharusnya bersama Kania, bukan kamu," gumam Edward, senyum kecilnya seolah penuh tantangan. * Arya, yang saat ini sudah berada di luar ruangan CEO, masih merasa sangat bingung dengan ucapan pamannya tadi. "Apa maksud Om Edward mengatakan hal seperti itu? Apa jangan-jangan … dia tahu kalau aku hanya memanfaatkan Kania. Tidak, itu tidak mungkin. Dari mana dia tahu soal ini, dia saja baru kembali dari luar negeri," batinnya, meyakinkan dirinya sendiri. Karena tidak fokus berjalan, ia yang hendak menuju ke ruangannya, bertabrakan dengan seseorang yang di saat itu menatapnya bingung. "Sayang, kamu kenapa? Kenapa kamu terlihat ketakutan seperti itu?" Suara Sisy mengagetkan Arya, ia menatap wanita itu tajam, menahan amarah yang tiba-tiba membara. "Sisy? Sudah aku ingatkan berkali-kali, jangan memanggilku dengan sebutan seperti itu di kantor. Bagaimana kalau ada yang dengar dan menyampaikannya pada Kania? Atau malah Kania sendiri yang mendengarnya langsung?" ujarnya dengan nada sedikit rendah, tetapi penuh emosi. Namun, Sisy menanggapi dengan tersenyum santai, seperti tak peduli dengan apa yang Arya ucapkan. "Hei, kamu tenang, Darling. Di sini nggak ada siapa-siapa selain kita, jadi nggak akan ada yang dengar. Aku jamin itu," katanya menenangkan. Arya menghela napas berat, lalu menarik tangan Sisy. "Ikut aku, kita perlu bicara." Ia memaksa dengan nada yang tak bisa ditolak, setelah memastikan tidak ada siapa pun yang melihat sebelum mereka pergi. Padahal, tanpa mereka sadari, Kania berada tidak jauh dari sana dan diam-diam mengintip dari tempat persembunyiannya. Wajahnya menahan rasa jengkel dan suara decakan emosi menggema dalam hati, "Cih, bahkan kalian berani-beraninya seperti ini di perusahaan. Arya, Sisy ... cepat atau lambat, kalian akan tahu apa akibatnya." Dendam itu terasa sudah membakar dalam dirinya, tak sabar untuk terbalaskan. Bersambung …
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD