Kania tak bisa mengalihkan pikirannya dari pria asing yang ia temui waktu itu, tepat di depan unit apartemen yang sama dengan Arya. Kenapa pria tersebut sekarang duduk di kursi utama di ruangan rapat perusahaan? Apakah dia CEO baru yang dimaksud? Rasanya sulit dipercaya, tetapi kehadirannya di ruangan itu memberi jawaban yang tidak terbantahkan.
"Kania, jadi kamu benar-benar sudah pulang?"
Suara Arya yang tiba-tiba muncul membuat Kania tersentak. Ia berusaha memfokuskan diri. "Oh iya, aku sudah pulang kemarin sore," jawabnya singkat, sambil mengalihkan pandangan dari pria itu ke Arya.
"Kenapa kamu tidak mengabari aku?" tanya Arya, nadanya sedikit terdengar kecewa.
"Nanti saja ya, aku jelaskan," kata Kania setenang mungkin, meskipun dadanya masih berdebar. Ia melirik ke arah pria asing itu lagi, berharap Arya tak menyadari perubahan ekspresinya.
Seolah memahami ketidaknyamanan sang kekasih, Arya mengangguk. "Ya sudah, ayo kita duduk," ajaknya lembut sambil menarikkan kursi untuk wanita itu.
"Terima kasih," gumam Kania pelan.
Kania menarik napas dalam-dalam, mencoba mengumpulkan keberanian untuk berbicara. Pria asing itu masih menatapnya dengan ekspresi yang sulit diartikan, seperti menyimpan sesuatu di balik tatapannya. Apa yang dia inginkan darinya?
Akhirnya, Kania memberanikan diri membuka mulut, menahan getar di suaranya. "Maaf, Pak, saya terlambat. Apa Bapak CEO baru di perusahaan ini?" tanyanya, menatap mata pria itu secara langsung untuk mengusir rasa penasarannya, meskipun dadanya tetap terasa sesak mengingat pertemuan mereka sebelumnya.
Dia adalah pria yang pernah lancang mencium Kania, dan sekarang dia di sini, di ruang rapat ini, memegang kendali. Kania tidak tahu apa yang lebih sulit diterima: perbuatannya waktu itu, atau fakta bahwa lelaki itu kini atasan barunya.
"Ya, benar, Nona Kania. Perkenalkan, nama saya Edward Darius Drax. Saya baru saja kembali dari luar negeri dan sekarang posisi saya adalah CEO di perusahaan ini." Pria yang akrab disapa Edward itu memperkenalkan dirinya dengan singkat dan penuh percaya diri.
Seisi ruangan, terutama kaum wanita, tampak terpesona oleh Edward. Bagaimana tidak? Wajah tampan dengan hidung mancung, mata bulat yang tajam, rambut sedikit disemir, usia muda dan sudah menduduki posisi tertinggi sebagai CEO—itu adalah perpaduan yang sulit diabaikan. Tetapi tidak dengan Kania. Semua kilauan itu seperti berlalu begitu saja di depannya, karena kepalanya masih sibuk dengan keterkejutan yang belum sepenuhnya hilang.
"Jadi benar, dia CEO baru di perusahaan ini?" batin Kania, pikirannya berputar-putar, mencoba mencerna kenyataan yang baru saja terjadi. Yang membuatnya lebih terbebani, ia kini menjadi sekretaris pria itu. Apa yang harus ia katakan nanti saat mereka hanya berdua? Bagaimana ia harus bersikap?
***
Tak lama kemudian, rapat telah selesai. Tanpa banyak basa-basi, Kania langsung diminta untuk pergi ke ruang CEO. Namun, sebelum tangannya menyentuh gagang pintu, Arya, pria menyebalkan itu, datang menghampirinya.
"Sayang, kamu janji ya, jangan macam-macam dengan CEO baru itu." Arya memberi peringatan pada tunangannya.
Kania menoleh, lalu menghela napas panjang. Janji? Jangan macam-macam? Seolah dirinya punya waktu untuk bermain-main. Tidak ada yang ia rasakan saat ini selain beban tanggung jawab yang menumpuk dalam kepalanya.
"Sayang, kamu ini bicara apa sih? Bagaimana mungkin aku macam-macam. Aku selalu bersikap biasa saja 'kan, dengan CEO sebelum Pak Edward? Kenapa kamu mendadak khawatir?" tanyanya sambil mencoba memasang wajah tenang, meski dalam hati sudah muak berhadapan dengan Arya, pria pengkhianat. Sandiwara ini semakin melelahkan, tetapi ia harus bertahan demi rencana yang telah disusun.
"Ya, masalahnya CEO kali ini lebih tampan. Dan … dia selalu menang bersaing denganku. Tapi aku yakin, kamu pasti tidak akan mungkin tertarik dengannya karena kamu hanya mencintaiku, 'kan?" ujar Arya dengan kepercayaan diri yang menggelikan.
Terkejut, Kania mengernyitkan dahi, merasa bingung sekaligus terganggu dengan pernyataan Arya. "Apa maksudnya, dia selalu menang bersaing dengan kamu? Kamu kenal dengan Pak Edward?" tanyanya penasaran, berusaha menggali informasi dari tunangannya. Pikirannya mulai berkecamuk, mencoba mencari penjelasan atas sikap aneh Arya.
"Ya tentu saja. Kamu ingat 'kan, Sayang, aku pernah cerita kalau aku punya paman kecil yang usianya hanya berbeda dua tahun denganku," ujar Arya, mencoba mengingatkan.
Kania menatap Arya dengan mata penuh keraguan. "Jadi, Pak Edward adalah paman yang kamu maksud?" tanyanya setengah percaya, hatinya rasanya semakin tidak nyaman. Sesuatu tentang situasi ini mulai terasa janggal. Arya selalu punya cara untuk menyembunyikan sesuatu di balik kepercayaan dirinya, dan ia harus lebih berhati-hati.
Arya mengangguk sambil tersenyum tipis. "Iya, tapi kamu janji ya, Sayang. Jangan katakan hal ini kepada siapapun, karena hanya kamu yang tahu. Om Edward juga tidak ingin orang di perusahaan ini tahu kalau kami adalah paman dan keponakan."
Kata-kata itu langsung terpatri di benak Kania. Sebuah rahasia? Apakah ini sebuah kebetulan, ataukah takdir yang diselipkan Tuhan di tengah kehidupannya? Pikiran itu membuat otaknya memutar ide-ide yang tiba-tiba mencuat. "Aku bisa memanfaatkan hal ini," batinnya, sambil merenungkan kemungkinan yang baru saja terbuka.
Sentuhan hangat di lengannya, mengejutkan Kania dari lamunan. Arya menatapnya penuh perhatian.
"Sayang, kamu kenapa malah melamun? Cepat masuk."
Suara Arya membuat Kania sadar, betapa larutnya ia dalam rencana yang belum sepenuhnya matang. Ia tersenyum kecil, mencoba menutupi pikiran yang tadi berseliweran di benaknya, "Oh iya, Sayang. Aku masuk dulu, ya. Kamu cepat kembali ke ruanganmu, tidak seharusnya seorang Manajer Keuangan berkeliaran seperti ini." Ia menepuk ringan tangan tunangannya, mencoba mengalihkan perhatian.
Arya membalas senyuman itu. "Iya, Sayang. Nanti kalau istirahat, kita makan bersama, ya?"
Kania hanya mengangguk kecil sebelum melangkah ke depan pintu ruangan CEO.
*
Dengan tangan yang sedikit bergetar, Kania akhirnya membuka pintu itu, memasuki ruangan yang seakan menyimpan babak baru dalam hidupnya.
Begitu pintu ditutup, matanya langsung tertuju pada sosok Edward. Pria itu tampak tenggelam dalam pekerjaannya, wajahnya serius menatap layar laptop. Sebuah gambaran yang cukup memukau, mengingat dia baru satu hari menjabat sebagai CEO di perusahaan tersebut. Bagaimana mungkin seseorang bisa menunjukkan komitmen setegas itu hanya dalam satu hari?
"Nona Kania, kamu sudah selesai berbicara dengan tunanganmu?" tanya Edward, tanpa menatap wajah sang sekretaris.
Kania terpaku, hatinya seolah tersentak ketika pertanyaan itu tiba-tiba meluncur dari mulut CEO yang berdiri di hadapannya. "Maaf, Pak." Ia berusaha menjaga suaranya tetap tenang, meski dadanya berdegup kencang.
Dengan gugup, Kania mengumpulkan keberanian untuk melangkah lebih dekat. Pandangannya menantang, mencoba menyembunyikan rasa gugup yang hampir meledak. "Tidak disangka kita akan bertemu lagi di sini, setelah apa yang Anda lakukan kepada saya waktu itu," ucapnya, nada suaranya berusaha stabil meskipun jelas ada kemarahan tersirat.
Edward mendongak, tatapannya begitu tajam seolah mampu menembus pikiran Kania. "Ya, saya sudah yakin jika kita akan bertemu lagi. Tidak disangka akan secepat ini," jawabnya pelan, namun penuh keyakinan.
Kania mengepalkan tangan, mencoba menahan segala emosi yang berkecamuk. "Kalau begitu, bisa Anda jelaskan, kenapa waktu itu Anda lancang melakukan hal itu kepada saya?" tanyanya, suaranya mengandung tuntutan yang tak bisa ditawar. Kata-katanya menusuk, karena ia ingin mendengar jawaban jujur dari Edward, apa pun itu.
Edward menghela napas panjang sebelum berbicara, seolah mencari kata-kata yang tepat. "Kamu ingat, dua orang yang tiba-tiba muncul waktu itu? Kamu telah menyelamatkan saya tanpa sadar," ucapnya, nadanya terdengar tenang, tanpa beban. "Kalau bukan karena kamu, mungkin saya sudah bertunangan dengan wanita licik saat ini."
"Oh, begitu," balas Kania, nada suaranya mencemooh, namun di dalam hati ia tahu itu adalah kenyataan. "Kalau begitu, sekarang saatnya Anda balas budi, Pak Edward." Tatapan matanya tak beranjak dari wajah pria itu, menunggu reaksi.
Tak disangka, Edward tersenyum tipis, matanya juga tak berpaling dari Kania. Ada ketegasan di balik senyuman itu. "Baiklah," katanya akhirnya, nada bicaranya mantap. "Apa pun yang kamu minta, saya akan melakukannya. Kamu benar, ini saatnya balas budi, saya akan membayar utang itu." Perkataannya penuh keyakinan, meskipun ia tak tahu apa yang Kania inginkan darinya.
Saat ini, Kania belum memutuskan apakah ia benar-benar akan mempercayai Edward, atau menjadikan lelaki itu alat untuk rencana yang baru yang ia susun belum sepenuhnya. Waktu akan menentukan.
Bersambung …