Kania segera memberontak, berusaha mendorong tubuh pria asing itu sekuat tenaga. Namun, kekuatannya tidak cukup untuk menghentikan pria tersebut yang semakin memperdalam ciumannya. Tubuhnya gemetar, ia merasa marah dan terhina. Tidak ada sebutan lain untuk orang seperti lelaki di hadapannya saat ini selain kurang ajar.
Tetapi, apa yang harus ia lakukan? Ia harus membebaskan diri, harus melawan, pikir Kania dengan putus asa. Napasnya semakin tidak teratur, sementara kepanikan mulai menyelimuti dirinya. Hingga saat itu, dua orang lewat dan melihat apa yang sedang terjadi.
Salah satu dari mereka berkomentar sinis, "Anak muda zaman sekarang, seperti tidak ada tempat lain saja untuk bermesraan."
"Sudahlah, tidak usah mengurusi mereka. Kita cari ke sana saja," sahut yang lainnya.
Hati Kania memanas mendengar ucapan itu. Ia ingin berteriak kepada mereka bahwa dirinya adalah korban di sini. Namun, mereka tidak berbuat apa-apa selain pergi begitu saja, membuat rasa frustrasinya semakin mendalam.
Ketika kedua pria itu telah menjauh, pria asing yang dengan lancang mencium Kania akhirnya melepaskan ciumannya.
Plak!
Tanpa berpikir panjang, tamparan keras dari Kania mendarat di pipi pria asing itu. Hatinya membuncah oleh emosi yang telah ia tahan. "Dasar pria m***m!" ucapnya penuh kemarahan. Napasnya masih memburu. "Apa yang kamu lakukan, hah? Saya bisa melaporkan kamu ke polisi atas kasus pelecehan seksual!" Suaranya bergetar, mencerminkan campuran antara amarah dan rasa takut.
Kemudian, Kania mengamati pria itu, pipinya tampak merah akibat tamparan tadi. Pria tersebut tidak mengatakan apa-apa, hanya memandangnya dengan wajah tanpa ekspresi. Tetapi ia tahu, pria itu pasti menyadari kesalahannya. Namun, itu tidak membuatnya merasa lebih baik. Harga dirinya telah diinjak-injak dan ia tidak akan membiarkan pria tersebut berlalu begitu saja.
Pria asing itu menghela napas lalu menatap Kania dengan ekspresi yang begitu tenang. "Sudah selesai ngomel-ngomelnya?" tanyanya.
Kania memandang pria asing di hadapannya dengan wajah tak percaya. "Apa? Ya ampun, mimpi apa aku tadi malam? Kenapa hari ini aku sial banget? Diselingkuhi calon suami, dikhianati sahabat sendiri dan sekarang, harus berurusan dengan pria asing yang kelakuannya benar-benar di luar nalar," ucapnya pada diri sendiri, rasa frustasi ini rasanya tak ada ujungnya.
"Oke, saya benar-benar minta maaf. Tapi saya punya alasan melakukan hal tadi. Kamu tenang saja, saya akan bertanggung jawab," ucap pria itu tiba-tiba.
Merasa bingung, Kania menatap tajam. "Bertanggung jawab? Apa maksudmu?" tanyanya dengan nada meragukan, sambil mengernyitkan dahi.
"Saya akan menikahi kamu," ucap pria itu santai, seolah-olah apa yang baru saja ia katakan adalah hal yang biasa.
Saat kata-kata itu keluar dari mulut pria tersebut, Kania nyaris kehilangan kata-kata. Ia menggelengkan kepala, berusaha mencerna absurditas yang baru saja didengarnya. "Menikah? Dengan semudah itu kamu mengatakan menikah? Kamu benar-benar gila!" Nada suaranya meninggi, perasaan campur aduk memenuhi kepala.
Bagaimana mungkin seorang pria asing yang bahkan tidak dikenalnya bisa berkata semudah itu? Kania menarik napas dalam-dalam, mencoba menahan kekesalan yang terasa menggelegak dalam dirinya.
"Sudahlah, lebih baik menjauh dariku. Jangan berpikir yang aneh-aneh!" Kania melangkah cepat keluar dari gedung apartemen itu. Rasanya ia butuh udara segar untuk membersihkan kepalanya dari hal-hal gila ini.
"Tunggu, tapi saya serius!" Pria asing itu mengejar Kania dengan langkah cepat.
Tetapi, Kania mengabaikan lelaki itu. Apakah dunia benar-benar telah kehilangan akal sehatnya hari ini? Sial rasanya bagi Kania.
"Stop!" pekik Kania akhirnya, suaranya melengking, memekakkan telinga. "Sebenarnya, apa sih yang kamu mau? Kamu sengaja ya, mau cari jodoh dengan cara instan dan kotor seperti tadi? Kamu tidak laku, atau mungkin kamu memang memiliki rencana jahat?" tudingnya, menatap curiga.
"Kamu salah paham," ujar pria itu, mencoba menjelaskan.
"Kalau begitu, jangan pernah kamu mengikuti saya lagi. Untuk masalah tadi, saya tidak akan melupakannya. Tapi sekarang, saya benar-benar tidak mau diganggu!" tegas Kania, ketus.
Pria itu pun diam yang terpaku, melihat Kania yang masuk ke dalam mobilnya dan berlalu pergi. "Kita pasti akan bertemu lagi," ucapnya seraya mengulas senyum tipis di sudut bibirnya, penuh misteri.
***
Karena melangkah tergesa-gesa, Kania hampir tersungkur ketika hak tingginya tersangkut pada batu kecil di depan gedung perusahaan. Ia tatap pintu masuk yang menjulang megah di depannya, tetapi benaknya justru dipenuhi kekacauan. Malam tadi ia tak bisa tidur, bayangan pengkhianatan itu terus terulang di kepalanya, seperti film yang diputar tanpa henti. Bagaimana tidak, ia melihatnya dengan matanya sendiri, sesuatu yang tak bisa diterima tetapi juga tak bisa ia gemakan. Namun, ia harus berpura-pura tidak tahu, berpura-pura segalanya baik-baik saja demi rencana yang sudah ia siapkan.
Langkah Kania berhenti sejenak. Bisa tidak ia melakukannya? Berpura-pura tersenyum di depan calon suami yang telah mengkhianatinya? Di depan sahabat yang bersekongkol dengan pria b******n itu? Dadanya terasa sesak hanya dengan memikirkan hal tersebut. Tetapi, ia tidak punya pilihan.
Sudah dua tahun lamanya Kania bekerja di perusahaan besar milik keluarga Arya, namun bukan karena bantuan orang dalam, tetapi karena kemampuannya sendiri. Ia harus tetap profesional, apa pun yang terjadi.
Namun, hari ini lebih berat dari biasanya. Kania terlambat dan itu bukan dirinya. Disiplin adalah bagian dari dirinya—setidaknya sebelum malam-malam tanpa tidur mulai menghantuinya. Semalam ia hanya berhasil memejamkan mata saat langit sudah mulai memutih. Dan hari ini, hari yang seharusnya menjadi langkah awal baru bagi perusahaan dengan CEO baru yang akan mulai menjabat, ia justru kacau. Rasanya seperti dunia bersekongkol untuk mengujinya, memintanya tetap berdiri teguh walau kakinya terasa goyah.
"Oke, Kania. Kamu hanya perlu bertahan," bisiknya pada dirinya sendiri, mencoba meneguhkan hati.
Begitu ia melangkah masuk ke gedung perusahaan, Mutia, salah satu rekannya, segera menghampiri dengan wajah sedikit terburu-buru. "Kania, kamu diminta langsung ke ruang rapat. CEO baru sudah datang dan ada di sana sekarang," katanya sambil menarik napas cepat.
Kania langsung tertegun. "Hah? Serius?" tanyanya sambil menatap rekannya dengan syok.
"Iya, Kania. Aku serius. Memangnya Pak Arya atau Sisy nggak kasih tahu kamu?" tanya Mutia dengan nada heran.
"Oh, mungkin mereka sudah kasih tahu, tapi aku belum sempat lihat handphone aku. Terima kasih ya, Mut. Aku ke sana sekarang," sahut Kania sambil mengangguk.
Tanpa membuang waktu lagi, Kania segera mempercepat langkahnya. Perasaan gugup mulai menyeruak, siapa CEO baru itu? Kenapa mendadak seperti ini? Apa yang harus ia siapkan? Beberapa pertanyaan terus berkecamuk di kepalanya, tetapi ia berusaha menenangkan diri.
*
Tak lama, Kania sampai di depan ruang rapat. Perlahan, ia menarik napas dalam-dalam sebelum membuka pintu dan melangkah masuk. "Maaf saya terlambat," ujarnya sambil menunduk sedikit untuk menunjukkan rasa hormat.
Namun ketika ia mendongak, pandangannya langsung tertuju pada sosok di dalam ruangan—seseorang yang tak ia kenal namun pernah ditemuinya, tatapan orang itu penuh karisma yang cukup mengintimidasi. Jantungnya berdegup kencang. Ia terdiam beberapa saat, berusaha mengatasi rasa terkejut yang tiba-tiba menyelimuti dirinya. Seolah waktu berhenti, Kania berusaha tetap tenang meski rasa penasaran dan ketegangan menyelimuti pikirannya.
"Dia? Kenapa dia bisa ada di sini? Atau jangan-jangan …."
Bersambung …