Bag 2

1285 Words
“Bim, kamu itu dari tadi papa ajak bicara malah bengong seperti ini. Ada apa? Ada masalah di kantor?” “E-enggak ada masalah kok, Pa,” balas Bima gugup. Bima Aditya Dewangga adalah pria tampan berusia tiga puluh dua tahun. CEO serta pewaris satu-satunya Dewangga Group. Salah satu perusahaan Dewangga Group bergerak di bidang manufaktur makanan dan minuman, dan menjadi salah satu perusahaan terbesar di negara ini. Bima kembali menghela napas, membuat sang Papa – Ismawan Dewangga –, lagi-lagi bingung dengan tingkah anak satu-satunya ini. Tidak biasanya sang anak terlihat gusar seperti ini. Bima yang dikenal Ismawan adalah sosok pemuda yang selalu percaya diri. “Lebih baik kamu cerita sama papa, sebelum papa cari tahu sendiri.” Bima menatap sang papa kesal. Papanya ini selalu saja ingin ikut campur urusannya. Sebenarnya Bima sudah nyaman dengan tingkah papanya yang seperti itu, walaupun terkadang ada saat-saat di mana papanya menjadi sosok yang mengesalkan. Contohnya seperti saat ini. Terlalu ingin tahu. Namun, Bima tidak bisa melarang. Sejak berusia tiga belas tahun, Bima hidup dengan papanya, dan sejak saat itu ia dekat dengan sang papa. Kedua orang tuanya bercerai saat Bima masih kecil, dan sang papa memutuskan hidup sendiri sampai sekarang. “Hati Bima lagi enggak tenang.” “Sejak kapan kamu punya hati?” “Pa!” erang Bima frustrasi. Ismawan tertawa renyah. “Baiklah, maafkan papa. Apa yang buat hati kamu tidak tenang?” tanya Ismawan berusaha serius, karena wajah sang anak saat ini sepertinya menunjukkan hal itu. “Bima tadi habis buat kesalahan di jalan.” “Apa maksud kamu? Kamu menabrak orang??” tanya Ismawan cemas. “Y-ya—” “Apa??? Terus bagaimana korbannya? Kamu sudah bawa ke rumah sakit?” “Enggak-enggak, ini enggak kayak Bima nabrak yang benar-benar nabrak.” Dahi Ismawan mengernyit dalam. “Kamu buat papa bingung.” Bima berdehem untuk meredakan tenggorokan, lalu mulai menceritakan kejadian tadi siang saat ia tak sengaja membuat seorang delivery drivers pizza banting setir untuk menghindari mobilnya yang berbelok tiba-tiba. Beberapa kali Bima terlihat gugup saat menceritakan kejadian itu. Sekali lagi, ini bukan Bima seperti yang biasanya. “Kamu langsung memberi dia uang dengan cara seperti itu??” tanya Ismawan terkejut setelah Bima selesai bercerita. “Y-ya kan biasanya seperti itu, Pa. Apa lagi yang mereka harapkan selain uang ganti rugi.” Ismawan menggeleng tak percaya. “Tapi lihat apa yang terjadi. driver itu justru meninggalkan kamu begitu saja, bukan?” “Dia aja yang sok jual mahal, Pa!” “Tidak. Benar kata driver itu, Bim. Tidak semua bisa dinilai dengan uang. Kamu sepertinya kali ini salah menilai orang.” Ismawan menyandarkan punggung tegapnya pada sofa yang ia duduki. Ia bersedekap sambil menatap sang anak intens. Wajah Ismawan yang masih tampan di usianya yang sudah tidak muda lagi ini terlihat serius. “Lebih baik mulai sekarang, kamu berhenti mencurigai setiap orang baru yang kamu temui. Tidak perlu berpura-pura menjadi sombong seperti apa yang tadi kamu lakukan pada driver itu.” “Bima cuma enggak mau kena tipu lagi.” Bibir Bima mengerucut sebal saat mengatakan itu. Ismawan menatap sang anak prihatin. Memang tidak sepenuhnya salah Bima jika pria muda di depannya ini tumbuh menjadi orang yang mudah curiga dan menganggap semua orang hanya menginginkan materi darinya. Ismawan mengingat bagaimana mantan istrinya dulu memanfaatkan keberadaan Bima untuk mengeruk hartanya setelah mereka bercerai. Karena saat itu Bima masih kecil dan berusia lima tahun, hak asuh sementara dikantongi sang mantan istri. Lagi pula jika Ismawan bersikeras mengambil hak asuh Bima, ia tak yakin bisa maksimal mengasuh Bima. Kala itu, perusahaan keluarganya berkembang pesat dan mulai melebarkan sayap ke luar negeri. Ismawan sering kali berada di luar negeri sampai hitungan bulan. Daripada sang anak diasuh oleh orang lain, bukankah lebih baik dengan ibunya sendiri? Toh selama ini Diana– sang mantan istri –, adalah sosok ibu yang baik, kecuali kesalahannya berselingkuh dari Ismawan. Ya, mereka bercerai karena Diana ketahuan berselingkuh dengan mantan kekasihnya dulu. Mungkin ini kesalahan Ismawan juga yang terlalu sibuk dan semakin jarang memberi perhatian lebih pada Diana, sehingga Diana mencari perhatian di luar. Kembali lagi ke ingatan saat Diana selalu meminta materi lebih padanya. Padahal Ismawan sudah memberikan tunjangan lebih dari kesepakatan mereka di pengadilan, tapi mantan istrinya itu selalu saja punya alasan untuk mendapatkan lebih. Diana kerap kali membohonginya tentang kondisi Bima yang sering sakit-sakitan dan membutuhkan banyak biaya. Ismawan yang sangat menyayangi Bima, tentu saja memberikan apa pun agar anak satu-satunya itu baik-baik saja. Ia juga merasa bersalah pada Bima, karena tidak maksimal memberikan kasih sayangnya selama ini. Belum lagi Bima harus menderita karena perpisahannya dan Diana. Semakin Bima beranjak dewasa, semakin menjadi saja Wandira memintanya ini itu. Dan selalu saja menjadikan Bima alat. Lama-lama, Ismawan merasa curiga. Ia menyelidiki kehidupan mantan istri serta anaknya. Betapa terkejutnya Ismawan saat mengetahui ternyata Diana justru memperkaya diri daripada mengurusi anak mereka. Seharusnya sang anak mendapat kehidupan yang layak. Namun apa yang Ismawan lihat, penampilan Diana dan Bima sangat bertolak belakang. Sang anak memakai pakaian lusuh, sementara Diana selalu hidup hedon. Berkumpul bersama teman-temannya hampir setiap hari, sementara Bima dibiarkan di rumah dengan seorang asisten rumah tangga. Diana benar-benar berubah setelah berhubungan dengan mantan pacarnya itu. Diana terlalu pintar membohonginya. Ismawan terkecoh. Bima akan memakai pakaian bagus hanya saat jadwal anak itu bersama Ismawan. Bima menyembunyikan semua perlakuan Diana padanya dari Ismawan. Anak itu sangat menyayangi Diana. Namun lihat apa yang dilakukan wanita itu. Betapa teganya Diana. Kalau tahu begitu, lebih baik sejak dulu saja Ismawan yang mengambil alih hak asuh. Toh sama-sama yang mengurus orang lain daripada mereka berdua. Ismawan juga yakin, jika Bima akan mendapat hidup yang jauh lebih layak jika berada dalam genggamannya. Huft… semua sudah berlalu, dan Ismawan bersyukur dapat mengetahuinya walaupun terlambat. Saat trauma Bima setelah tahu sang ibu hanya memanfaatkannya belum hilang sepenuhnya, Bima justru mencintai wanita yang memanfaatkannya untuk mendapat barang-barang mewah. Sejak saat itu, Bima jadi selalu berburuk sangka pada orang lain, dan menganggap mereka yang mendekatinya hanya menginginkan materi. “Lalu sekarang bagaimana?” tanya Ismawan setelah suasana hening yang sempat tercipta. Bima beranjak dari duduk. Wajahnya dibuat seceria mungkin. Kedua tangannya ia masukkan ke dalam saku celana. Namun, matanya tak bisa berbohong jika ia masih terlihat gusar. “Wanita itu menolak ganti rugi. Ya tanggung sendiri akibatnya. Bima rasa cukup berbaik hati menawarkan ganti rugi yang Bima yakin bisa buat bayar seratus kotak pizza. Bima tidur dulu, Pa. Papa jangan tidur malam-malam ya. Udah tua. Nanti cepet masuk angin.” “Kamu!” Bima tertawa renyah saat sang papa mendelik garang. Ia memeluk tubuh Ismawan, lalu melangkah untuk pergi dari ruang keluarga di rumah mereka. “Apa kamu akan meminta maaf pada driver itu?” tanya Ismawan kembali setengah berteriak saat Bima sudah hampir menaiki tangga untuk pergi ke kamarnya yang berada di lantai dua. Bima berhenti melangkah. Senyum yang tadi diperlihatkan pada sang papa, sudah hilang tak berbekas. Wajahnya kembali gelisah. Namun tak lama, ia mencoba menenangkan hati. Bima kembali memasang senyum sebelum membalikkan tubuh. “Bima enggak tau dia kerja di mana,” seru Bima setelah kembali saling menatap dengan Ismawan. “Lagian Bima masih yakin kalau dia itu cuma sok jual mahal. Udah ya, Pa. Bima beneran ngantuk. Besok ada rapat pagi-pagi. Malam, Pa.” Bima kembali berbalik. Kali ini, ia pura-pura tuli saat sang papa kembali memanggilnya. Senyum Bima kembali luntur saat menaiki satu per satu anak tangga. Kedua tangannya yang berada di dalam saku terkepal kuat. Bima menanamkan di dalam hati, jika ia tidak salah sepenuhnya. Toh bukannya Bima tidak ingin bertanggung jawab, tapi wanita itu yang menolak. Ah sudahlah! Untuk apa Bima memikirkan hal itu. Lebih baik dia tidur. Bima yakin jika besok pagi, kejadian bersama wanita sok jual mahal itu akan menghilang dari ingatan. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD