14. Calon istri!

1641 Words
Perasaan Audi hancur saat bibir Reza terus mengucapkan nama Syahilla di setiap tidurnya. Tangan Audi sudah tidak punya tenaga untuk sekadar mengusap puncak kepala Reza. Perhatian yang Audi curahkan setiap harinya, tidak berarti apa-apa untuk Reza. Semua pengorbanan yang Audi lakukan kalah dengan orang baru bernama Syahilla. Audi terisak pelan, ia menepuk-nepuk dadanya yang sangat sakit. Kenapa hubungan yang sudah terajut lama harus kandas dengan datangnya orang baru? “Eghh ….” Suara erangan keluar dari bibir Reza. Buru-buru Audi menghapus air matanya. Sayup-sayup Reza terbangun, laki-laki itu mencoba duduk yang langsung dibantu oleh Audi. Reza menatap wajah Audi yang pucat. Tangan Reza memegang pipi Audi yang langsung ditepis gadis itu. “Kenapa?” tanya Reza. Audi menggelengkan kepalanya, perempuan itu mendorong tubuh Reza agar menyingkir, “Aku pamit!” ucapnya melenggang pergi begitu saja. Reza menatap kepergian Audi dengan diam. Perasaan dia tidak salah apa-apa, kenapa sekarang Audi malah marah?. “Dasar perempuan, tingkahnya membingungkan,” cibir Reza menggaruk kepalanya sendiri. Reza melirik jam tangan di pergelangan tangannya, dia tertidur hampir dua jam. Reza menimang, apakah dia akan pulang ke rumah atau pergi ke rumah Syahilla? Mengingat postingan Dokter Aro, Reza langsung bangkit berdiri. Emosi yang tadinya terendam saat tidur, kini perlahan bangkit. “Tidak peduli rumah Syahilla jauh sekalipun, akan aku hampiri sekarang juga,” ucap Reza dengan mantap. Meski tubuh Reza sangat Lelah, Reza tetap akan menuju rumah Syahilla. Reza akan mengobrak-abrik rumah Syahilla kalau Syahilla mengajak pulang Aro. Selain mengirim bahan makanan, Reza juga mengirim seperangkat alat melukis, kalau usahanya hanya dianggap angin oleh Syahilla, Syahilla akan tau kemarahan seorang Reza. Reza menekankan pada hatinya kalau dia tidak boleh kalah dengan Aro. Reza merasa punya segalanya untuk membahagiakan Syahilla. Dan Reza yakin kalau dia lebih segalanya daripada Dokter Aro.   Di sisi lain, Aro tengah memasak di dapur rumah Syahilla. Mereka baru pulang dari pantai. Syahilla masih di dalam kamar, gadis itu merasa senang saat matanya lambat laun bisa melihat jelas. Terapi dari dokter Aro yang menyuruhnya menatap kehijauan sangat ampuh mengembalikan penglihatannya. Namun kata Aro masih harus mengikuti terapi medis dan obat-obatan. Syahilla membongkar kardus yang tadi dia temukan di depan rumah. Matanya membulat saat mengetahui isinya adalah seperangkat alat melukis, banyak kertas manila dan kerta buffalo juga. Syahilla melihat sekeliling kardus, ada nama pengirimnya. Syahilla tersenyum saat tau yang mengirim adalah Reza. Bahan makanan tadi, Syahilla juga berpikir kalau Reza lah yang mengirimnya. “Syahilla, makanan sudah siap!” teriak Dokter Aro membuat Syahilla segera menyisihkan barang-barangnya. Syahilla berjalan menuju dapur. Dokter Aro sudah menyiapkan nasi, soup dan ikan yang tadi dibeli di pantai. Harum masakan Dokter Aro sangat menggugah selera. “Duduk dulu, Syahilla!” titah Aro yang langsung diangguki Syahilla. Syahilla menatap terpesona ke arah Aro yang tampak keren saat menggunakan celemek. Dokter Aro juga tampak lihai saat memasak, sangat masuk dalam kriteria Syahilla sebagai suami idaman. “Kamu biasanya minum s**u apa, Syahilla? Nanti biar aku yang belikan,” ucap Aro. “Eh gak pernah, Dokter,” jawab Syahilla. “Ya sudah nanti kamu milih sendiri.” “Ekheem ….” Suara deheman seorang pria membuat Aro dan Syahilla menolehkan kepalanya. Reza menaikkan alisnya menantang. Dalam hati pria itu sudah berkobar kepanasan saat melihat Aro tengah tebar pesona dengan sok memasak di depan Syahilla. Aro sangat tidak rela bila rumahnya ini dihuni oleh Aro. Reza sudah membeli rumah ini beberapa saat lalu, dia langsung memberikan uang cash untuk ibu-ibu yang punya rumah. Sekarang, surat-suratnya masih diurus oleh orang kepercayaannya. “Mas Reza,” panggil Syahilla. Reza mendekati Syahilla, pria itu sedikit merendahkan tubuhnya agar sejajar dengan wajah Syahilla. Tangan Reza dengan lancang menusuk kelopak mata Syahilla yang membuat Syahilla kaget. “Sudah bisa melihat dengan jelas?” tanya Reza. “Sudah bisa walau sedikit. Ini karena dokter Aro yang membawaku ke pantai untuk menatap hehijauan dari pohon-pohon yang ada di tengah-tengah pantai,” jawab syahilla. Brakk! Reza menggebrak meja, niatnya sih Cuma pelan tapi malah kebablasan membuat Syahilla sedikit tersentak. “Besok aku bawa kamu ke dokter ternama, biar mata kamu segera sembuh. Pengobatan Cuma lihat hehijauan? huh miskin!” ucap Reza dengan pedas. Aro merasa tersinggung dengan ucapan Reza, baru datang sudah nyolot. “Mas Reza kan sudah tau kalau aku miskin, kenapa diulang lagi?” tanya Syahilla. Reza tergagap, bukan itu maksud Reza. Reza hanya berniat mengomentari cara Aro, bukan menyinggung Syahilla. “Bukan begitu Syahilla. Aku yang akan membawamu untuk berobat. Aku pastikan kamu akan sembuh dalam waktu dekat dan mata kamu bisa melihat dengan jelas. Kamu tidak usah repot mikir biaya, karena aku yang akan biayain semuanya,” ucap Reza tersenyum bangga. Ia merasa kalau Syahilla akan terkesan dengannya. “Mas, saya itu dokter dan saya tau betul bagaimana cara mengobati sakit yang diderita Syahilla. Ini bukan masalah tentang uangnya, tapi prosedur rumah sakit juga prosedur saya sebagai dokter spesialis mata yang menyarankan terapi dalam tiga kali seminggu. Ini bukan sakit yang bisa diobati dengan instan, harus ada proses dan perkembangan yang kita pantau saat melakukan terapi. Terapi mata pun juga tidak hanya satu jenis, tapi juga beberapa. Tergantung Syahilla cocok yang mana. Saya tau kok kalau Mas bisa membayar pengobatan seharga rumah satu kampung sekali pun, tapi sekali lagi saya tekankan ini bukan masalah biaya,” tutur Dokter Aro dengan jelas, rinci dan terstruktur. Reza mencengkram pinggiran meja dengan kesal. Siaalan, dia merasa kalah dengan Dokter di hadapannya. Saat melirik Syahilla, Reza melihat gadis itu menatap terpesona ke arah Aro. Reza tidak suka tatapan mata Syahilla itu ditujukan pada pria lain. Suasana berubah menjadi canggung, tidak ada yang membuka suara karena masing-masing bingung mau membicarakan apa. Syahilla melirik Reza, tatapan mata Reza sangat tidak bersahabat dengan Aro. “Makan, syahilla!” titah Aro menyodorkan piring untuk Syahilla. Syahilla mengangguk, dia sudah sangat lapar, tapi mau makan juga tidak enak karena tatapan Reza beberapa kali menatapnya tajam juga. “Makan! apa yang kamu lihat?” sentak Reza. Buru-buru Syahilla memakan makanannya. Reza menyugar rambutnya. Awal bertemu Syahilla dia sangat pencitraan dan lemah lembut, tapi kali ini dia tidak lagi mau pencitraan. Sikap keras kepalanya muncul tatkala dia merasa cemburu dan terancam dengan kehadiran dokter Aro. “Aku yang punya rumah ini, aku yang beli bahan-bahan makanan dan aku gak disuruh makan?” tanya Reza dengan ngegas. Aro menggelengkan kepalanya saat tau sifat asli artis papan atas itu. Dengan sabar dia menyiapkan makanan untuk Reza dan menyodorkan di depan laki-laki itu. Reza memicingkan matanya, dia berusaha memancing emosi Aro agar Aro marah dan Syahilla berhenti mengagumi pria itu. Namun ternyata Aro sangat pintar mengendalikan emosinya. Aro masih mengusung senyum lembut meskipun Reza sudah nyolot beberapa kali. “Masakannya gak enak!”  komentar Reza saat baru makan satu suap. Padahal Reza bukan tipe pemilih makanan, tapi beda dengan Aro yang masak, hasratnya untuk menghujat langsung naik. “Mas, gak baik bicara buruk soal makanan. Kalau Mas gak suka, biarkan saja di situ nanti aku yang habiskan,” ucap Syahilla menengahi. Syahilla jadi tidak enak dengan Reza. Reza mengungkit masalah rumah dan sekarang masalah makanan. Reza salah strategi lagi, niatnya membuat Aro marah malah membuat Syahilla menilai minus dirinya. Dering telfon berbunyi, mereka saling pandang sebelum Dokter Aro menyadari kalau itu dering hpnya. Aro merogoh hp di saku celananya, panggilan dari asistennya. “Halo dokter, ada pasien baru masuk yang membutuhkan penanganan cepat. Mata sebelah kirinya terkena cairan berbaya. Ada di ruang UGD ranjang nomor nol delapan!” ucap suara di sebrang sana. Aro mengiyakan sebelum mengantongi kembali hp nya. “Syahilla maaf, aku harus ke rumah sakit karena ada pasien. Aku permisi dulu dan kamu makan yang lahap, ya! Nanti aku akan membawakanmu buah-buahan segar,” ucap Aro pamit. “Hati-hati, Dokter!” jawab Syahilla. “Cih, kayak lagi hamil saja pakai dibawain buah-buahan,” komentar Reza dengan nyinyir. Syahilla yang mendengar itu pun hanya bisa terdiam. Syahilla melanjutkan makannya, ia harus segera menghabiskan dan pergi dari rumah ini. Dia akan menggunakan sisa uangnya untuk menyewa kontrakan baru dan beli makanan. Syahilla tidak ada niatan kembali ke rumah ibunya karena dia sudah terlanjur sakit hati dengan orang rumah. Apalagi sudah dua hari juga tidak ada yang menanyakan kabarnya. Melihat Syahilla makan dengan lahap membuat Reza juga melanjutkan makanannya. Sebenarnya makanan itu sangat enak menurut Reza, tapi Reza terlalu gengsi untuk mengakui. Bibir Reza sudah terbuka ingin bersuara, tapi ucapan Syahilla menghentikannya. “Aku akan memberesi barang-barangku dan pergi dari sini, Mas. Untuk biaya kontrak, aku akan membayarnya,” ucap Syahilla beranjak berdiri. Reza ternganga lebar, tiba-tiba lidahnya kelu tidak bisa bersuara. Syahilla membawa piringnya ke wastafel untuk mencucinya. Setelah itu Syahilla menuju kamar untruk memberesi semua pakaiannya. Reza menyusul, dia mencegah tangan Syahilla yang akan memasukkan baju ke dalam tas. “Kenapa kamu pergi?” tanya Reza. “Aku tau ini rumah yang bayar kamu, Mas. Aku akan mengganti biaya kontraknya. Mas gak usah khawatir,” jawab Syahilla dengan senyuman. “Siapa yang menyuruhmu pergi?” tanya Reza dengan tajam. Syahilla menggelengkan kepalanya. Memang tidak ada yang menyuruhnya pergi, tapi dia cukup sadar diri kalau dia sudah merepotkan Reza. “Lalu kenapa kamu pergi? Ini rumah statusnya bukan lagi kontrak, tapi aku sudah membelinya kontan buat kamu. Tinggal nempatin saja susah, kamu mau tinggal di mana kalau pergi dari sini?” sentak Reza. Reza yang memang tidak peka juga tidak sadar bahwa ucapannya malah menyakiti hati gadis yang dia cintai. “Letakkan kembali barang-barangmu!” titah Reza. Syahilla tidak bergeming. Karena tidak sabar, Reza merebut tas Syahilla dan membuangnya asal. “Mas, aku tidak bisa tinggal di sini lagi, Ini rumahmu, bukan-“ “Ini rumah sudah atas nama kamu, jadi tidak ada alasan untuk kamu pergi. Jangan buat usahaku sia-sia, Syahilla!” geram Reza. “Mengapa atas namaku? Aku bahkan bukan siapa-siapa kamu, Mas!” “Bukan siapa-siapa apanya? Kamu itu calon istriku. Ingat dengan baik! Calon istri Reza!” tekan Reza menusuk kening Syahilla dengan jari telunjuknya.                                  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD