Pagi ini, Manda, Syahilla, Reza dan Darel menaiki mobil untuk menuju sekolah disabiilitas. Tadi mereka sudah sarapan dengan nasi pecel yang ada tak jauh dari kontrakan. Yang tampak antusias di sini adalah Darel. Karena tau akan ada banyak anak kecil seusianya di sana.
“Kakak cantik!” panggil Darel menepuk lengan Syahilla. Bukan hanya Syahilla yang ikut menoleh, tapi juga Reza. Pria itu sangat sensi kalau Darel berusaha menarik perhatian Syahilla, padahal tadi Reza sudah mengatakan pada Syahilla kalau dia akan memaksakan diri untuk bersanding dengan gadis itu.
“Iya, Darel?” tanya Syahilla.
“Manggil aja, Kak. Mastiin aja apa ada yang kepanasan,” ujar Darel.
Reza mefokuskan pandangannya ke depan. Penilaiannya tentang Darel yang bocah ajaib makin menjadi. Darel masih kecil tapi seolah tau segalanya. Reza jadi penasaran apakah Darel juga tau sebangsa seetan dan mahluk halus lainnya.
Sesampainya di sekolah anak disabiilitas. Syahilla disambut dengan riang gembira. Mereka berbondong-bondong mendekati Syahilla. Ingin menarik perhatian gadis itu.
“Kakak, kakak kemana aja kok gak pernah kelihatan?” tanya salah satu anak yang memakai kursi roda. Syahilla tersenyum, tangannya meraba puncak kepala bocah laki-laki yang duduk di kursi roda itu.
“Kakak ada urusan sebentar. Kalian semua sudah makan?” tanya Syahilla.
“Sudah, Kak. Kakak kenapa dengan mata kakak?” tanya mereka penasaran.
“Oh ini, hanya sakit sedikit. Besok juga sudah sembuh.”
“Kakak, aku mau diajari hafalan sama kakak!”
Ocehan dan celotehan anak-anak kecil menarik perhatian Manda dan Reza. Terlebihnya mereka juga sangat terpesona dengan cara Syahilla memperlakukan anak-anak yang keterbelakangan itu. Syahilla dan anak-anak yang lain menuju kelas, duduk di lantai dengan Syahilla yang ada di tengah. Sedangkan Reza dan Manda menemui pengurus sekolah untuk memberikan bantuan.
“Kakak, aku sudah hapal surah Ar-rahman ayat satu sampai dua puluh, loh. Kakak mau dengar?” ucap salah satu anak.
“Mau dong. Teman-teman yang lain juga pasti mau dengar,” jawab Syahilla.
Setelah Reza selesai urusannya dengan pengurus sekolah, ia mengintip Syahilla dan anak-anak yang ada di depen kelas.
Batinnya menjerit, dia ingin menjadi orang yang beruntung bisa mendapatkan Syahilla. Namun, Syahilla mengajukan syarat bahwa dia harus mendekatkan diri kepada Allah terlebih dahulu.
Reza bimbang, akankah dia kembali mempercayai sang penciptanya? Reza merasakan hembusan angin yang menerpa kulitnya hingga bulu kuduknya berdiri. Tidak ada sesuatu tanpa diciptakan, batin Reza.
Reza mengambil duduk yang ada tak jauh dari kelas di mana Syahilla berada. Laki-laki itu mengamati dedaunan yang bergoyang. Daun itu menempel pada tangkai, mulanya sangat kecil dan berwarna hijau muda. Lambat laun daun itu mulai melebar dan berwarna hijau tua, hingga kemudian kuning kecoklatan dan coklat mengering, lalu terjatuh.
“Mungkin begitu hakikatnya manusia. Dia diciptakan, tumbuh besar hingga menua lalu mati,” ucap Reza pada dirinya sendiri.
Reza merogoh saku celananya, dia menghubungi nomor managernya. Tak berapa lama, pria di sebrang sana mengangkat telfonnya.
“Halo, Reza!” sapa Dika di sebrang sana.
“Kosongkan jadwalku untuk satu minggu ke depan!” titah Reza.
“Ya gak bisa gitu dong, Reza. Jadwal kamu sudah penuh untuk minggu ini, tidak ada yang bisa digeser!”
“Aku gak mau tau, kamu harus kosongkan jadwalku. Pindah ke minggu berikutnya!” ujar Reza tetap kekeuh.
“Kalau begitu siap-siap kehilangan kontrak kerjasama dengan agensi!” jawab Dika mematikan sambungan telfonnya sepihak.
“Sial!” Reza mengumpat kesal. Dia ingin bersama Syahilla dengan waktu yang lama, tapi tuntutan pekerjaan membuatnya mau tak mau harus kembali ke kota.
Seorang pria berpakaian khas dokter berlari memasuki sekolah disabilitaas itu. Pria itu Aro, Aro merasa frustasi saat ia menelfon Syahilla tapi tidak tersambung. Akhirnya Aro memutuskan untuk mencari Syahilla sendiri, tadi dia sudah ke rumah orangtua gadis itu, tapi dengan tidak berdosanya Farihna mengatakan Syahilla kabur. Dan Aro yakin kalau saat ini Syahilla ada di sekolah.
Aro celingak-celinguk ke penjuru sekolah. Pria itu menghampiri Reza yang raut mukanya sangat tidak bersahabat.
“Permisi, Mas!” sapa Aro.
“Iya?” Reza mendongakkan kepalanya. Dalam hati dia menliti Aro dari ujung kaki sampai ujung kepala.
“Maaf mau nanya. Apakah di sini ada guru yang Namanya Syahilla?” tanya Aro sopan. Pertanyaan Aro membuat Reza tersentak, pria itu segera berdiri dengan pandangan syarat akan permusuhan. Aro yang ditatap sedemikian rupa, lantas memundurkan tubuhnya. Perasaan dia bertanya sopan, lalu kenapa wajah Aro sangat tidak bersahabat.
“Tidak ada. Dia sudah pergi!” jawab Reza nyolot.
“Yakin, Mas? Dia bilang sama saya kalau ngajar di sekolah ini,” jawab Aro masih dengan nada lembut.
“Saya bilang gak ada ya gak ada!” bentak Reza. Aro makin memandang aneh Reza. Dia baru sadar kalau pria itu penyanyi terkenal, sesekali dia melihat televisi ada wajah pria yang saat ini nyolot di hadapannya.
“Tidak heran kalau sombong,” gumam Aro yang bisa didengar Reza. Reza ingin menghajar Aro sebelum suara derap langkah membuat Aro dan Reza menoleh. Aro tersenyum lembut pada Reza sebelum menghampiri Syahilla.
“Syahilla, apa kabar?” tanya Aro memegang tangan Syahilla.
“Dokter Aro?” tanya Syahilla memastikan.
“Iya, ini aku. Bagaimana keadaan mata kamu?”
“Alhamdulillah sudah mendingan, Dokter. Hanya semalaman tadi rasanya agak perih,” jawab Syahilla.
“Kenapa kamu semalam gak bilang sama aku kalau mata kamu sakit, Syahilla? Kalau kamu bilang, pasti aku akan membelikanmu obat!” seru Reza yang mendekati Syahilla.
Syahilla meringis, ia merasa suasanya sangat tegang di sekitarnya. Aro pun demikian, dia menatap aneh ke arah Reza yang sejak tadi nyolot.
“Maaf, Mas Reza. Aku sudah punya obatnya dari Dokter Aro,” ujar Syhailla.
Reza menyugar rambutnya ke belakang. Dia tidak suka melihat kedekatan antara Syahilla dan pria yang berpakaian khas dokter itu.
“Syahilla, kita ke rumah sakit!” ajak Aro.
“Tapi kenapa, Dokter?”
“Jadwal kontrol kamu hari ini. Ayo!” ajak Aro menuntun tangan Syahilla untuk memegang pundaknya agar ia bisa membantu Syahilla berjalan. Tidak mungkin kalau Aro menggenggam tangan Syahilla, sudah pasti Syahilla akan menepisnya.
“Mas Reza, aku pamit dulu ya. Oh iya, sampaikan terimakasihku kepada Bu Manda. Aku akan balas jasa kalian suatu saat nanti,” ucap Syahilla mengusung senyumnya.
Sebelum sempat Reza menjawab, dering hp Reza membuat pria itu tergagap. Reza mengangkat panggilan suara dari managernya.
“Apa kamu ini menderita pelupa akut? Hari ini ada pemotretan jam sebelas dan ini sudah jam sepuluh kamu belum datang?” teriak Dika di sebrang sana. Reza menjauhkan hp nya dari telinga, pecah lama-lama mendengar teriakan Dika yang sudah seperti petasan banting.
“Iya ini aku ke sana. Tungguin!” jawab Reza kesal.
Reza segera menghampiri mamanya untuk mengajak pulang. Harusnya hari ini dia tidak ada jadwal apa-apa, tapi tadi pagi ada iklan yang menawari dengan mendadak, dan bodohnya Dika langsung mengiayakan dan baru konfirmasi setelah tanda tangan.
Reza menggeram marah saat Syahilla sudah pergi dengan Aro. Manda yang melihat dan mendengar cerita anaknya, hanya tertawa. Manda tau kalau anaknya sedang kepanasan gara-gara cemburu buta. Padahal Syahilla juga bukan siapa-siapanya Reza.
Setelah mengambil beberapa barang di kontrakan yang semalam mereka gunakan menginap, Reza, Manda dan Darel bergegas kembali ke kota. Tak lupa Manda menghubungi Syahilla bahwa kunci rumahnya ada di pot bunga dekat meja luar.
Reza diliputi amarah, dia tidak fokus menyetir gara-gara teringat kedekatan Syahilla dan Aro. Reza pastikan kalau dia tidak akan mempedulikan Syahilla. Menurutnya Syahilla gadis yang tidak tau diri. Reza sudah menolongnya dengan mencari kontrakan dan membayar untuk beberapa bulan ke depan, tapi Syahilla malah pergi bersama Dokter Aro.
“Reza, tadi di rumah gak ada bahan makanan. Kalau Syahilla kelaparan bagaimana ya. Apalagi dia tidak jelas melihat,” ucap Manda dengan panik. Manda baru sadar kalau dia belum menyediakan bahan-bahan makanan.
Ciiit!
Reza menghentikan mobilnya mendadak. Buru-buru dia mengambil hp nya dan memesan bahan makanan dengan online dan menyuruh mengantar ke rumah yang ditempati Syahilla. Orang kalau sudah dirundung kasmaran, mau bilang tidak peduli tetap saja nyatanya peduli. Seperti Reza yang baru bilang dia tidak akan mempedulikan Syahilla. Namun nyatanya tau di rumah tidak ada bahan makanan, membuat Reza sangat khawatir.
Di sisi lain, Aro tengah menemani Syahilla pemeriksaan bersama Dokter spesialis mata. Beberapa kali dokter itu tampak meneteskan obat pada mata Syahilla. Serangkaian biaya pengobatan dan terapi, sudah dilunasi Dokter Aro.
Setelah lebih dari satu jam, Aro membimbing Syahilla untuk keluar dari tempat pemeriksaan, “Hati-hati Syahilla, di bawah ada dua tangga,” ucap Aro. Syahilla menunduk, pandangannya sedikit jelas walau masih ada yang tampak kabur-kaburan.
“Terimakasih, Dokter Aro,” ucap Syahilla.
“Tidak msalah. Sudah makan?”
“Tadi sudah sarapan. Dokter sendiri?”
“Sudah juga,” jawab Aro.
“Dokter tidak bekerja?
‘Tidak ada jam. Hanya nanti kebagian jadwal malam. Mau jalan-jalan?”
Syahilla menimang sejenak. Jalan-jalan dengan seorang pria? Mau mengiyakan, percuma karena dia tidak bisa menikmati pemandangan saat jalan-jalan. Mau menolak tapi dia takut menyakiti hati dokter Aro.
Ternyata kegelisahan Syahilla diketahui oleh Aro. Pria itu tampak terkekeh dengan tingkah Syahilla.
“Kamu itu tipe yang gak enakan sama orang ya?” tanya Dokter Aro membenahi hijab Syahilla yang sedikit berantakan. Sontak kelakuan Dokter Aro menjadi buah bibir rekan kerjanya yang kebetulan lewat di koridor rumah sakit.
“Kok dokter tau?” tanya Syahilla malu-malu.
“Gak enakan sama orang itu wajar, Syahilla. Tapi jangan berlebihan. Pikirkan dulu perasaanmu sebelum perasaan orang lain!” jelas Dokter Aro.
Terbesit pikiran di benak Syahilla tentang perbedaan Reza dan Aro. Menurut Syahilla, Aro tipe orang yang kritis dalam berpikir dan lebih dewasa. Sedangkan Reza masih sangat labil dan sedikit keras kepala, membuat ucapan Reza yang ingin memaksakan diri menikahinya, tidak dianggap serius oleh Syahilla.
“Aku pastikan kamu akan menyukai tempatnya. Ayo!” ajak Aro membantu Syahilla untuk berjalan lagi. Sepanjang jalan, ada perbincangan hangat antara keduanya.
Syahilla menepuk-nepuk pipinya dengan telapak tangannya, Entah kenapa dengan dokter Aro, wajahnya memanas. Ia jadi salah tingkah sendiri saat dia mendengar suara dokter Aro mengarahkan jalan.
“Ini sudah sampai mobil,” ujar Aro. Syahilla mengangguk, samar-samar dia melihat banyak mobil yang berjejer rapi.
“Silahkan naik!” tutur Aro membuka pintu. Syahilla menuruti dan duduk anteng.
Aro memutari mobilnya dan duduk di balik kemudi, “Maaf Syahilla, aku pasangkan sabuk pengamannya, ya!” Aro berucap minta ijin, sikap Aro yang seperti ini membuat Syahilla memberikan nilai plus untuk dokter Aro.
Setelah memasangkan sabuk pengaman Syahilla, Aro memasangkan sabuk pengamannya sendiri dan bergegas menjalankan mobilnya. Sepanjang perjalanan, Syahilla senyum-senyum sendiri. Ia ingat ada pepatah yang mengatakan “Menikah dengan orang yang tepat, kamu akan dijadikan ratu.” Seketika ada setitik harapan di hati Syahilla. Namun buru-buru dia mengenyahkan pikirannya tentang itu.
Pernikahan menurut Syahilla, itu tidak akan terjadi padanya. Dia cukup sadar diri dengan keadaan dan latar belakang ekonominya. Ini bukan kisah cinta di novel yang seorang gadis miskin menjual keperawanan malah dinikahi sama cowoknya. Menurut Syahilla kisah itu sangat klise dan memuakkan. Sedangkan kisahnya ini kisah nyata yang kebanyakan cowok tampan akan memilih cewek cantik dan cowok kaya akan memilih cewek kaya juga.
“Kenapa melamun?” tanya Aro melirik Syahilla.
“Tidak, Dok,” jawab Syahilla pelan.
“Kalau ada masalah, kamu bisa cerita padaku. Anggap saja aku temanmu, sahabatmu, atau kamu mau menganggap aku siapa saja juga boleh,” ujar Dokter Aro. Wajah Syahilla kembali memanas, dia yang awalnya sedikit risih dengan dokter Aro, malah sekarang rasanya dia kesemsem. Wanita memang lemah soal perasaan, dikasih perhatian sedikit sudah pasti akan luluh juga.
“Kalau aku anggap Dokter sebagai ayahku, mau?” tanya Syahilla tertawa.
“Mungkin ayah dari anak-anak kita kelak,” jawab Aro tertawa.
Syahilla memalingkan wajahnya, dia menepuk-nepuk dadanya agar tidak berdebar terlalu kencang.
“Kenapa? Apakah dadamu berdetak kencang?” tanya Aro menggoda. Dulu sebelum dia menjalani uji sertifikasi dokter, dia juga harus belajar ilmu psikologi. Makanya sekarang di peka terhadap tingkah orang-orang di sekitarnya.
“Dokter tau? Apakah ini penyakit yang parah?” tanya Syahilla yang berubah raut menjadi panik.
“Em … sedikit parah kalau tidak segera diobati,” jawab Aro menahan tawanya.
“Dokter, kenapa aku banyak penyakitnya sih? Ini sudah sakit mata, sekarang sakit d**a, aku takut Dokter,” ucap Syahilla terdengar seperti rengekan manja. Sangat merdu menurut Aro.
“Tenanglah, Syahilla. Maksudku bukan itu, jantung berdebar-debar itu tandanya kamu tertarik dengan seorang pria,” jelas Aro.
Mendengar penjelasan Aro membuat Syahilla menutup wajahnya dengan hijab yang menjuntai. Dia malu saat ketahuan tertarik dengan dokter Aro. Suara gelak tawa Aro terdengar makin membuat Syahilla merasa tidak punya muka.
“Kenapa kamu salah tingkah?” tanya Aro menggoda.
“Apa kamu menyukaiku?” tambahnya lagi.
“Dokter diam!” ucap Syahilla.
“Kenapa disuruh diam? Benar kan kalau kamu sedang-“
“Dokter diam!” pekik Syahilla mencubit lengan Dokter Aro. Aro tergelak, dia menepikan mobilnya.
“Tidak perlu malu, Syahilla. Kamu tertarik padaku, aku lebih tertarik padamu!” ucap Aro dengan serius.