“Ra! Zara! Tunggu!” Brenda mengejar Zara yang berlari keluar menuju parkiran mobil. Tangannya segera menarik tangan Zara supaya sahabatnya itu tidak kabur lagi. “Lo kenapa sih?” Akhirnya Brenda berhasil menahan Zara. “Heh! Mata lo kenapa merah banget gini? Habis nangis ya?” Raut khawatir Brenda membuat hati Zara semakin pedih.
Kening Zara mengernyit. Bagaimana kalau Brenda tahu yang sebenarnya? Apa dia masih mau berteman denganku? Aku yang seorang gadis kotor sekarang! Zara memutar bola mata lalu memberengut. “Gue ditelepon Papa, disuruh pulang sekarang.”
“Hah! Lo ketauan?! Kok bisa?!” Kedua netra Brenda membulat. Padahal tadi kata Zara dia akan aman sampai pulang pagi.
Zara mengedikkan kedua bahu. “Entahlah. Mungkin papa iseng ngecek ke kamar gue. Dan Mas Faris juga Kak Astrid nggak berhasil ngalihin perhatiannya. Bisa saja, kan. Sudah ya, Bren. Gue balik dulu.”
Zara mendekati Brenda yang terlihat sedih. “Selamat ya, Cantik. 21 tahun loh. Hope your birthday is full of good vibes! Besok kita ketemu di kampus.” Zara memeluk Brenda sebentar lalu melambaikan tangan, berjalan menuju sedan putih di ujung sana.
Brenda masih menunggu hingga sahabatnya itu berbelok masuk ke mobil, barulah dia kembali ke dalam.
Zara menangis sepuasnya di dalam mobil, diiringi lagu dari Ed Sheeran. Setelah dirasa sedikit beban di d**a terangkat, barulah sedan itu mulai melaju meninggalkan parkiran.
Zara berjalan mengendap menaiki tangga melingkar menuju kamarnya di lantai dua. Sedangkan kamar sang papa di lantai satu, kamar utama. Diliriknya jam melingkar di pergelangan tangan, hampir jam dua pagi. Dan seharusnya dia masih bisa pulang hingga jam empat nanti, itu jika sesuai rencana.
Tangannya terulur menyentuh knop pintu. Namun tiba-tiba ada tangan menyentuh bahunya. Sontak Zara menegakkan punggung, mematung dengan wajah pias karena takut bukan main.
“Zara.”
Seketika itu juga Zara menghela napas dalam. Membalik badan dan celingukan sebentar. Memindai keadaan di belakang Faris. “Ah, Mas Faris, kirain Papa. Kok Mas belum tidur jam segini?”
“Mas khawatir nungguin kamu pulang. Kalau kamu kenapa-napa, Mas nanti yang kena tembak papa. Lah kamu, katanya mau sampai jam empat, kok jam segini sudah pulang?”
“Aku bosan.” Zara masuk ke kamarnya. Meninggalkan Krishna begitu saja. Rasanya dia tidak sanggup mengucapkan apa-apa lagi. Nanti yang ada malah banjir air mata.
Dilemparkannya semua yang melekat pada tubuhnya, berserakan di lantai. Kemudian gadis itu masuk ke kamar mandi dan menyalakan kran shower. Air hangat memancar membasahi tubuh Zara.
Dia memejamkan mata, membiarkan tubuhnya yang telah ternoda oleh pria asing, berlama-lama berdiri di bawah guyuran air hangat. Zara berharap seluruh jejak tangan pria itu yang entah sudah menempel di mana saja di tubuhnya, luruh tak bersisa.
Lelah. Zara terduduk di lantai, masih memejamkan mata. Sampai ujung-ujung jarinya mengerut dan memutih. Barulah dia matikan kran. Lalu beranjak mengambil handuk.
Hanya dengan terbungkus jubah handuk, Zara berbaring di ranjang. Kedua matanya merah, terasa berat dan pedih, air mata kembali mengalir untuk ke sekian kali. Hingga akhirnya dia tertidur, memeluk guling.
Zara tersentak. Suara ketukan di pintu kamar. Entah sudah berulang ke berapa kali. Dia mengusap mata kemudian berjalan membukakan pintu kamar.
“Astaga Zara! Kamu nggak kuliah?! Ini sudah jam delapan loh!”
Dua detik Zara bengong. Barulah dia menepuk kening. “Ya ampun, Kak! Aku ada kuliah pagi! Aduh, bagaimana ini?!”
“Ya sudah sana! Cepetan siap-siap. Nanti aku bilang ke Papa kalau kamu kurang enak badan, jadi terlambat bangun.”
“Oke, Kak! Makasih.” Bum! Pintu ditutup agak kencang di depan wajah Astrid.
“Ck, anak itu.” Astrid kembali turun ke ruang makan. Tadi memang dia diperintahkan oleh Krishna untuk memanggil Zara. Karena sudah terlambat dari waktu sarapan bersama.
“Ouh!” Saat berlari menuju lemari pakaian, Zara tiba-tiba berhenti. Kembali dirasakannya nyeri yang semalam. Meskipun kadarnya sudha berkurang, tapi tetap saja mengganggu saat berjalan. “Uhh cowok b******k! Awas kalau ketemu lagi, akan aku tendang burungnya!”
Zara meraih celana jeans denim, kaos polos putih dan cardigan nude oversize. Tidak lupa sneakers putih menambah kesan casual penampilannya. Rambut hitam panjang dikuncir belakang dengan asal saja. Dan hanya disisir dengan jari, membuat anak-anak rambut menjuntai berantakan di kening.
Lebih pelan dari biasanya Zara melangkah menuruni anak tangga. Pandangan Krishna langsung tertuju pada si putri kesayangan saat Zara telah mendekat lalu menggeser kursi. Begitu juga dengan Astrid yang duduk berseberangan dengan Krishna. Sedangkan Faris sudah berangkat ke kantor lebih pagi dari biasanya.
“Kenapa, Zara? Kata Astrid kamu kurang enak badan?”
Zara menarik botol selai sambil mengangguk dan menoleh sekilas pada sang papa. Dalam kepalanya sedang berpikir keras, penyakit apa yang harus dikarangnya sekarang.
“Sakit apa kamu, Zara?” Krishna menatap penuh khawatir.
“Bisul, Pa.”
“Uhuk! Uhuk!” Astrid tersedak nasi goreng karena kaget dengan jawaban Zara. Dia segera mengambil gelas minuman dan meneguknya sampai habis.
Krishna menoleh dan geleng-geleng kepala. “Makannya pelan-pelan, Astrid.”
“Iya, Pa.”
“Zara, kamu sakit bisul? Kok bisa anak Papa bisulan? Di sebelah mana bisulnya? Coba Papa lihat! Takutnya bahaya kalau dibiarkan.”
“Eh! Umm ... di p****t, Pa!”
“Uhuk! Uhuk!” Kali ini Astrid tersedak udang kukus. Dia meraih gelas tapi ternyata kosong. Segera seorang pelayan yang sejak tadi berdiri tidak jauh dari meja makan, menuangkan kembali air putih ke gelas Astrid.
Krishna hanya menarik napas dalam melihat Astrid tersedak kedua kali. Dia kembali menoleh pada Zara. “Bisa-bisanya kamu punya bisul di p****t. Kalau bisa hari ini juga kamu berobat, Zara. Ke dokter spesialis kulit, minta obat yang paling bagus.”
“Iya, Pa.”
Zara meletakkan sisa roti di atas piring. Lalu berdiri dan mengulurkan tangan pada sang papa.
“Loh, Zara, kamu sarapan sedikit sekali?”
“Yaa kan lagi sakit, Pa.” Tidak sabar, Zara mengambil tangan kanan papanya lalu melepas sendok yang sedang dipegang dan diletakkan di atas piring. Zara langsung mencium punggung tangan sang papa. “Zara berangkat ya, Pa” Dia meraih tas selempang dari kursi sebelah. “Kak Astrid, Zara berangkat.”
“Ehm. Oh iya.”
“Hati-hati, Zara.” Suara berat Krishna tidak membuat Zara menoleh. Hanya melambaikan tangan saja.
Sedan putih kembali menemani menembus hiruk-pikuk jalanan ibu kota, menuju kampus. Butuh waktu empat puluh lima menit sudah termasuk macet di beberapa titik untuk mencapai kampus.
Mata kuliah pertama, Komunikasi Politik, Zara ketinggalan kelas. Sisa satu jam lagi untuk mengikuti kelas berikutnya. Dia masih ada waktu. Zara memilih melipir ke kantin pusat saja. Disebut kantin pusat, karena memang letaknya seperti berada di tengah-tengah kampus, luas dan tampak terang-benderang karena tertutup dengan atap transparant. Pasalnya pagi ini cerah sekali.
Zara membeli satu cup besar ice cappucino dan memilih satu meja bundar kosong. Setiap meja bundar hanya ada dua kursi. Sedangkan meja persegi dikelilingi empat sampai enam kursi.
“Hai. Sendirian, kan? Saya duduk di sini, ya.” Seseorang meletakkan cangkir kopi yang masih mengepul dan menggeser kursi.