Kedua netra Zara langsung membola melihat betapa santainya pria yang tiba-tiba duduk di hadapannya ini. “Kamu?!” Ingin rasanya Zara berteriak saat mengucapkan nama itu. Tapi sebisa mungkin dia tahan.
Zara menoleh kanan kiri, berharap tidak ada teman-temannya yang melihat mereka. Sungguh demi apapun, Zara tidak ingin bertemu lagi dengan pria j*****m ini, dan juga tidak mau ada satupun temannya yang tahu tentang pria ini. Luka yang terlanjur ada biarlah, karena memang sudah terlanjur, untuk ke depannya dia akan berusaha keras menyembuhkannya sendiri, begitu pikir Zara.
“Masih ingat saya rupanya.” Arion membuka topi baseball hitam, meletakkan di atas meja, lalu menyisir rambut dengan jari. Dan gerakan itu sukses membuat tatapan Zara terkunci beberapa saat. Dan tidak hanya Zara, beberapa mahasiswi yang kebetulan lewat di sekitar mereka juga sempat terpana beberapa detik, sebelum berakhir dengan menabrak meja atau tiang.
Zara memindai penampilan pria ini. Sungguh berbeda dengan semalam, hanya topi yang sama tadi membuat Zara langsung bisa mengenalinya. Selebihnya? Tidak dapat diungkapkan dengan kata-kata.
Wajah tampan bertubuh tinggi atletis. Berbalut pakaian formal lengkap dengan setelan jas berwarna abu-abu. Aroma maskulin dari parfum mahal yang begitu elegant menembus indera penciuman Zara. Ya, Zara tahu persis parfum yang digunakan pria ini berharga jutaan, karena dirinya juga pecinta parfum-parfum mahal.
Arion tersenyum tipis dengan gerakan bola mata yang sengaja dibuat untuk menggoda Zara. Sekaligus bisa menggoda para gadis-gadis kampus radius satu kilometer. Rahang tegas itu terlihat semakin menambah kadar ketampanan karena Arion sepertinya sengaja bergerak slow motion dengan gestur tubuh yang seolah berkata: aku memang sangat tampan.
Zara memajukan punggung, menempelkan kedua tangan di sisi kanan dan kiri wajahnya, seolah dengan cara begitu dia bisa raib dari pandangan orang lain. “Om Arion! Kenapa ada di sini sih?!”
“Hem?” Seketika senyum Arion musnah mendengar panggilan om dari gadis ingusan di depannya.
“Malah bengong! Ish, sana pergi, Om! Aku malu ini!” Zara melotot tapi tetap berusaha menekan nada suara.
Arion mengangkat kedua alis tebalnya. Gadis di depannya ini benar-benar di luar prediksi. Pertama, memanggilnya om. Kedua, berani sekali mengusirnya.
“Heh! Zara! Kenapa kamu panggil saya om? Semalam kamu panggil saya Arion.”
“Astaga! Semalam mukanya nggak kelihatan jelas, sudah ketutupan topi, lampunya juga remang-remang. Sekarang, jelas banget! Aku tebak, Om Arion ini pasti umur tiga puluhan, kan?”
“Hemm ... 31, tepatnya.”
“Nah! Aku baru 20. Kita beda sebelas tahun! Wajar kalau aku panggil om. Ah, ya ampun! Semalam aku tidur dengan om-om!” Zara mengusap wajah dengan kasar. Lalu menatap tajam pada Arion. “Sumpah demi apapun ya, Om! Jangan sampai ada yang tahu kejadian semalam! Itu AIB! Dosa besar! Awas saja kalau sampai rahasia ini bocor!” Zara mengepalkan tinjunya lalu menyodorkan ke hidung bangir Arion.
Wajah natural Zara yang melotot dengan kedua bola mata indah yang bulat. Lalu bibir berwarna merah muda dengan kadar ketebalan sedang, yang sejak tadi terus bergerak mengoceh. Rambut kuncir kudanya yang bergerak ke kanan kiri mengikuti gerakan random di pemilik. Membuat Arion tersenyum, menikmati pemandangan indah di depannya, gadis remaja galak ini ternyata yang dia tiduri semalam.
“Malah senyum-senyum! Dasar sakit!” Zara tidak tahan lagi. Dia menggeser kursi dengan kasar, lalu melangkah pergi dari sana. Namun beberapa langkah, dia kembali lagi, melotot pada Arion sebentar, lalu menyambar cup minumannya, dan benar-benar pergi dari sana.
Arion tidak berniat mengejar. Dia kembali tersenyum tipis, meneguk kopi perlahan. Kemudian bersandar di kursi dengan tenang. “Hemm ... gadis ini menarik,” desisnya sambil menaikkan kedua alis.
“Zara!”
Zara berhenti. Menoleh ke samping dan melihat Brenda melambaikan tangan dari arah taman kampus. Zara menoleh ke arah beberapa lain. Setelah dirasa aman, tidak ada Arion yang mengikuti, barulah dia berjalan menghampiri Brenda.
“Lo terlambat, Ra? Nggak ikut kelas pertama tadi?” Sebab Brenda tidak melihat Zara tadi pagi. Biasanya mereka mengobrol dulu sebentar sebelum masuk ke kelas.
Zara mengangguk. “Iya bangun kesiangan. Lah lo bisa banget, habis begadang tetap bangun pagi?”
“Yaa gimana. Kan udah janji sama mama papa, boleh party asal kuliah nggak keganggu. Nih! Nggak lihat mata gue merah! Sepet banget ini rasanya!” Brenda melotot. Benar, gurat-gurat merah terlihat jelas di sana.
Zara terkekeh. “Memangnya semalam sampai jam berapa?”
“Jam empat sudah bubar kok. Eh iya, gimana papa lo, ngamuk nggak? Duh! Gue takut nanti kalau main ke rumah lo, bakalan marahin gue juga nggak, ya?” Sebab selama ini Brenda sering menginap di kamar Zara, begitupun sebaliknya.
“Tenang saja, papa marahnya cuma sebentar kalau sama gue. Dua hari juga sudah adem lagi. Dan papa nggak tahu kok kalau itu birthday partynya Nona Brenda yang cantik.”
Brenda tergelak lalu mengusap d**a. “Ah, syukurlah.”
Tiba-tiba Zara menegakkan punggung lalu menyisir anak rambut yang jatuh di kening, supaya terlihat sedikit lebih rapi. Brenda jadi berhenti tertawa mendadak. Dia mengikuti arah pandang Zara yang sontak terkunci pada satu titik.
“Liat apaan sih, Ra?” Brenda memicingkan mata. Detik kemudian dia berdeham sambil terkikik. “Aish! Jungkook lewat, pantesan aja lo langsung stroke mendadak.”
“Hus! Sembarangan kalo ngomong! Jangan kenceng-kenceng sih Bren, malu kan kalau kedengeran.” Zara terus mengikuti punggung Nathan hingga menghilang di belokan.
“Cieee yang malu-malu mau.” Brenda memang paling suka menggoda Zara. Karena sahabatnya itu mudah sekali merona merah jambu kedua pipinya yang memang begitu putih mulus.
“Ayo ah masuk ke kelas!” Zara menyeret Brenda. Memang ya, kalau sudah urusannya dengan Nathan, sang vokalis kampus, Zara langsung salah tingkah sendiri. Padahal Nathannya anteng saja.
Di kelas, Zara yang duduk di barisan belakang, terus saja mencuri pandang ke arah punggung Nathan yang duduk di barisan depan. Brenda kadang-kadang sampai harus mencubit pinggang Zara untuk menarik perhatiannya.
Seorang dosen muda memasuki kelas, suasana riuh langsung berubah sunyi.
“Selamat pagi.”
“Pagi, Pak!”
“Pada minggu lalu, saya sudah membahas di kelas ini tentang etika dalam media. Saya harap kalian juga sudah membaca ulang modul pada pembahasan tersebut.” Sang dosen berusia tiga puluhan tersenyum tipis, penuh makna.
Beberapa mahasiswa tampak menghela napas dalam dan saling pandang dengan teman di sebelahnya. Sepertinya mereka sudah hapal akan kemana arah dari ucapan sang dosen.
Brenda menyikut pinggang Zara, dengan maksud supaya fokus pada sang dosen killer.
“Ck iya, Bren.” Namun begitu, tetap saja Zara betah kembali mencuri pandag ke arah punggung Nathan. Detik kemudian kedua netranya membola dengan kedua alis terangkat. Pasalnya Nathan terlihat menghadap samping, entah sedang apa. Yang jelas Zara jadi dapat melihat lebih jelas garis wajahnya yang terpahat sempurna tampak samping kiri.
“Sekarang saya mau tanya, bagaimana pandangan kalian terhadap isu-isu kontemporer yang semakin marak saat ini terutama di media sosial, dan bagaimana seharusnya etika dalam berkomunikasi diterapkan? Dalam konteks ber-media sosial.”
Dosen mengedarkan pandangan ke seluruh sisi ruang kelas. Suasana sunyi mencekam dengan beberapa mahasiswa terlihat mengheningkan cipta.
“Zara! Bagaimana pendapat Anda tentang hal ini?”
“Ganteng banget.”
Hah?! Seisi kelas menoleh ke arah Zara dengan beberapa berusaha keras menahan tawa, beberapa lainnya geleng-geleng kepala dan bahkan menepuk jidat.