BAB 6. Nathan Sedingin Es Antartika

1118 Words
Glek. Zara menelan saliva dengan susah payah. Dia baru sadar semua pasang mata sedang memandangnya sekarang. Kecuali Nathan. Cowok dingin itu hanya menoleh padanya sebentar tadi, lalu kembali berpaling ke arah lain. Zara melihat itu. “Zara! Sini kamu! Maju ke depan!” Sang dosen killer juga memanggilnya dengan gerakan jari telunjuk. “Mampus gue,” desis Zara pelan seraya menunduk. Masih sempat Brenda menepuk lututnya pelan untuk sekadar menenangkan. Tetap saja Zara masih panik bukan main. “Ehm. Iya, Pak.” Suara Zara pelan berbanding lurus dengan langkahnya yang juga pelan tapi pasti, menuju ke depan kelas. Wajahnya? Jangan ditanya, sudah pasti merah padam seperti kepiting rebus saus padang. Terseok dan akhirnya sampai di depan, berhadapan dengan sang dosen hanya berjarak tiga langkah saja. “Saya nggak minta perhatian lebih kok dari kamu, hanya saat kelas saya saja. Apa itu juga nggak bisa kamu lakukan? Hem?” Astaga naga bonar jadi dua! Galak betul mukanya, laki sih judes gitu! Ingin rasanya Zara mengusap d**a untuk sedikit meredakan gemuruh di dalam sana, tapi nanti malah dosen di depannya semakin murka. “Bi—bisa, Pak.” “Lalu kenapa sejak tadi kamu malah perhatikan Nathan?!” “Hah! Pak?” Zara tergagap. Bola mata indahnya membulat menatap sang dosen tak percaya. Jadi, sejak tadi dia perhatiin aku? Dia tahu aku ngelihatin Nathan dari tadi? Duh! Maluuuuu! Zara tahu persis, Nathan yang duduk di barisan terdepan, posisinya sekarang tepat di belakang punggung Zara. Hanya berjarak kurang dari dua meter. “Bu—bukan kok, Pak. Sa—saya tadi lihatnya ke arah papan tulis.” Brenda langsung menepuk jidat mendengar pembelaan sahabatnya. Dia tahu itu akan lebih dari sia-sia. Semakin Zara membela diri, maka semakin pula dosen super teliti itu akan mengulitinya hidup-hidup. Pak dosen memicingkan kedua bola mata. Membuat aura semakin mencekam. “Kamu pikir saya rabun jauh? Mata saya masih normal ya. Saya tahu persis sudut pandang kamu kalau ditarik garis lurus jatuhnya ke punggung Nathan!” Dosen menunjuk tepat ke wajah Nathan. Otomatis membuat Zara menggeser sedikit badannya. Seisi kelas bagaikan menahan napas sekarang. Kecuali Nathan sendiri tentu saja, si super anteng. “Sekarang juga, kamu balik badan dan jangan berhenti melihat ke arah Nathan sampai kelas saya selesai! Supaya kamu puas dan nggak mengulanginya lagi. Cepat sana balik badan!” Kedua lutut Zara lemas rasanya. Malunya bukan main! Kalau boleh memilih lebih baik Zara diberi hukuman skorsing saja. Perlahan Zara membalik badan. Tepat sekali. Tepat di depannya cowok tertampan di kampus, ini versi Zara dan mayoritas para mahasiswi kampus, sedang duduk tenang sambil menunduk. Detik kemudian Nathan mendongak, menatap balik Zara dengan kedua bola mata coklat terang yang memukau. Zara terhipnotis seketika. Membeku tanpa mampu berkedip atau bergerak sedikitpun. Nathan menghela napas, terlihat malas, lalu kembali mengalihkan pandangan, seperti tadi. Tanpa mempedulikan Zara yang berdiri tegap di depannya, Nathan kembali mengikuti kelas. Dosen sudah melanjutkan kelas, dan semua orang terus mengikuti pergerakannya, kecuali Zara. Hemm, ternyata hukuman ini nggak buruk-buruk banget. Baru kali ini aku bisa memandangi wajah kelewat tampan Nathan tanpa takut ketahuan orangnya. Sudah terlanjur malu ya sudahlah, mau bagaimana lagi. Jalani saja dan nikmati. Kapan lagi kan bisa sedekat ini menatap Nathan. Ya Tuhanku pencipta alam semesta, terima kasih Engkau ciptakan makhluk bumi sesempurna ini dan sekelas denganku. Meskipun dia bagaikan pahatan patung yang terbuat dari batu es. Maka aku akan menjadi matahari pagi yang akan menghangatkan patung ini hingga meleleh. Ice cream kali ah meleleh! Hihihiii .... “Pak dosen sudah keluar.” Nathan berdiri lalu meninggalkan kelas begitu saja. Juga meninggalkan Zara yang celingukan kebingungan. Brenda menepuk pundaknya. “Wah parah lo! Dikasih hukuman malah ngelunjak. Sampai dosen keluar kelas malah nggak sadar.” Zara cengengesan sambil garuk-garuk kepala. “Nathan ganteng banget sumpah!” “Kantin yuk ah!” Brenda menarik tangan Zara. Sudah bosan dia mendengar celotehan Zara tentang betapa gantengnya Nathan. Betapa kerennya Nathan. Dan betapa bahagiannya kalau menjadi pacar Nathan. Mereka berdua berjalan bergandengan tangan memasuki kantin pusat. Sudah cukup ramai. Karena sudah menjelang jam makan siang memang. Brenda memilih meja bundar yang letaknya tidak jauh dari kios seblak. Ya, Brenda memang sedang ingin makan seblak siang ini. Sedangkan Zara masih memindai deretan kios yang jumlahnya puluhan bahkan ratusan yang memutari kantin pusat berbentuk lingkaran ini. Zara menunggu sampai Brenda datang kembali, barulah dia beranjak mencari makanannya sendiri. Zara berjalan sendirian perlahan. Dia tidak akan memilih jenis makanan seperti steak atau sushi karena itu sudah terlalu sering disantapnya di rumah. “Ah, itu dia!” Sorot matanya berbinar ketika melihat kios yang menjual indomie kornet keju. Di rumahnya yang mewah, mana boleh Zara dihidangkan masakan berupa mie instant. Ada chef yang bertugas memasak menu sehat sekaligus menghitung jumlah kalori di setiap menu yang terhidang di meja makan. “Bu, indomie kornet keju satu, sama umm ... cappucino cincau satu.” “Baik. Sebentar ya, Neng. Antri dulu.” “Siap!” Zara memilih bermain medsos di layar handphone sambil menunggu pesanan siap. Dia harus tetap berdiri di depan kios, sebab di kantin ini tidak pelayanan antar. Semua makanan dan minuman harus diambil sendiri ke kios. “Ini Neng.” Zara mendongak. Di atas meja di samping kasir, sudah ada nampan berisi pesanannya. Zara memasukkan handphone ke dalam saku, lalu mengeluarkan dompet dari tas ranselnya. “Ini saja sekalian dengan saya.” “Ohh, iya Mas ... ganteng.” Ibu penjual tersenyum lalu melirik Zara sebentar. Barulah dia mengambil uang lembaran seratus ribuan dari tangan pria tinggi di sebelah Zara. Sontak Zara menoleh dan langsung melotot. “Om ... Arion?!” “Hah?! Om-om?” Ibu penjual langsung mendelik tajam pada Arion. Senyumnya musnah seketika. “Terima kasih dan cukup sekian! Stop ikutin aku terus!” Zara melotot galak pada Arion. Lalu dia mengambil nampan dan segera berlalu dari sana. Masih sempat dia menoleh ke belakang, terlihat Arion masih berdiri di sana menatapnya. Zara bergidik. “Sakit tuh orang,” desisnya. Langkahnya dipercepat menuju meja. Brenda sedang menikmati semangkuk seblak pedas. Bulir-bulir keringat terlihat di kening gadis itu, tapi dia terus makan dengan lahap. Zara mendongak sambil mengusap keringat di kening dengan tisu. “Yahh malah makan gituan. Ketauan papa lo bisa-bisa disuruh berhenti kuliah nanti! Dasar anak mecin.” “Lo pikir tuh seblak nggak pake mecin?” Brenda hanya mencibir dan melanjutkan menyantap seblak porsi besar. Zara pun mulai makan, tapi dia beberapa kali menoleh ke belakang. Tidak dilihatnya ada Arion di manapun. Tapi itu tidak lantas membuatnya tenang. Pria itu sangat aneh, pikir Zara, sebab terus mengikutinya tanpa alasan yang jelas. Zara memang tidak melihat Arion, sebab dari tadi dia hanya curiga pada bagian belakangnya saja. Tanpa dia sadari, Arion justru sedang duduk di kursi yang sederet dengan Zara, hanya beda tiga meja saja.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD