Sepulang kuliah, seperti biasa Zara langsung ke Sekolah Musik Nawasena. Jadwalnya tiga kali dalam seminggu mengikuti les piano, dan dua kali dalam seminggu mengikuti les vokal.
Sekolah Musik Nawasena merupakan salah satu sekolah musik terbesar di Indonesia, bahkan telah membuka cabang sampai ke Singapura. Satu dari seribu alasan Zara menyukai Nathan adalah, cowok misterius itu juga pecinta musik. Nathan adalah gitaris dari band kampus, yang jam terbangnya sudah cukup tinggi dalam mengikuti lomba tingkat nasional bahkan telah diundang ke berbagai acara.
Langkahnya santai setelah turun dari mobil, sebab jadwal les piano baru akan dimulai tiga puluh menit lagi. Sebenarnya dia terlalu cepat datang, sehingga nanti harus menunggu sebelum kelasnya dimulai.
“Hallo Kak Zara,” sapa receptionist di meja depan. Dia langsung membantu Zara untuk mengisi daftar hadir.
Zara memilih untuk menunggu di lobi saja. Sambil bermain sosmed pasti tiga puluh menit tak kan terasa, pikirnya.
Namun baru saja sepuluh menit, receptionist tadi mendatanginya. “Maaf kak Zara, setelah saya cek ternyata Kak Irene tidak masuk hari ini. Apa Kak Zara mau mengganti dengan guru lain?”
“Apa? Kenapa Kak Irene? Nggak biasanya nggak ada kabar begini?” Zara tampak bingung. Karena memang Irene, sang guru piano jarang sekali tidak memenuhi jadwal. Jikapun tidak datang, pasti akan langsung menginfokan sebelum jadwal latihan.
Receptionist mengernyitkan kening. Dia juga tidak kalah bingungnya dengan Zara. Baru kali ini ada pelatih yang tidak konfirmasi kalau dia tidak bisa hadir. “Umm maaf Kak Zara, tapi Kak Irene tidak ada kabar. Saya akan terus mencoba menghubunginya.”
Zara berpikir sebentar. Kemudian dia mengangguk. “Ya sudah, nanti tolong kabari saya ya, Mbak. Apa besok bisa latihan atau nggak.”
“Iya. Baik Kak Zara.”
Zara memutuskan untuk langsung pulang saja. Dia tidak ada jadwal lain, dan juga tidak bisa jalan dengan Brenda. Sebab sahabatnya itu ada acara keluarga sore ini.
Sedan putih memasuki halaman rumah yang luas, yang sangat pantas disebut sebuah mansion. Keningnya mengernyit ketika melihat ada mobil asing di antara beberapa mobil di sana. Memang anak buah papanya di kantor beberapa sering datang kesini, itu adalah orang-orang kepercayaan sang papa. Dan Zara sudah hapal mobil mereka, sebab papanya tidak sembarangan mengizinkan karyawan kantor lainnya datang kesini, benar-benar hanya orang yang dapat dipercaya.
“Hemm, mobil siapa ini?” gumamnya penasaran. Melihat plat nomor sedan hitam mewah itu, pastilah sang pemilik bukan orang sembarangan. “Apa papa beli mobil baru? Lagi? Huft!”
Zara menyerahkan kunci mobil pada sopir rumah, lalu dia melenggang masuk berjalan melewati ruang tamu. Tidak ada siapa-siapa. Berarti benar itu mobil baru papa, pikirnya.
Saat Zara berjalan melewati ruang tengah, seseorang berdeham hingga mneghentikan langkahnya.
“Zara! Sudah pulang kamu, Nak?” Suara berat Krishna. Zara menoleh dan langsung tersenyum.
“Papa! Tumben di sini, biasanya duduk santai di taman samping.” Segera Zara menghampiri papanya. Namun baru beberapa langkah, dia berhenti mendadak.
Ada orang lain di sana. Ketika orang itu menoleh dan tersenyum santai pada Zara, mansion mewah ini serasa runtuh hancur berantakan. Kepala Zara pusing seketika, sampai mual rasanya.
Bagaimana bisa dia sampai kesini? Ohh ... bagaimana ini? Batin Zara bergejolak. Dia masih berdiri mematung di sana, menatap ngeri pada ... Arion.
“Zara, kesini Sayang. Kok malah diam di sana?” Krishna mengikuti arah pandangan sang putri kesayangan. “Ohh ini, bukan kolega bisnis Papa. Justru Papa ingin kenalkan padamu. Sini, Nak.” Krishna menepuk sofa di sampingnya.
Ragu. Perlahan Zara melangkah menghampiri papanya lalu duduk di sana. Dia menatap Arion sesekali dan langsung membuang pandangan ke arah lain. Kedua tangannya bergetar tapi berusaha dia sembunyikan di bawah bantal kecil di pangkuannya. Sedangkan Arion ... pria gila itu masih tersenyum manis dan santai di sana.
“Zara, tadi kamu sudah ke Nawasena, ya?” Krishna hapal semua jadwal sang putri. Zara Carissa Ambara adalah prioritas utamanya.
Zara mengangguk. Tanpa menjawab sepatah katapun. Dia bahkan tidak konsentrasi. Degup jantung yang bertalu membuatnya sibuk menenangkan diri, saat ini.
“Guru pianomu nggak datang kan hari ini? Irene?”
Kali ini Zara menoleh. Bagaimana papa bisa tahu? Aku saja baru sampai di sini. “Umm iya, Pa. Kok Papa tahu? Memangnya Papa ditelepon dari sana?”
Krishna terkekeh, menoleh pada Arion yang tampak sedikit menaikkan dagu. Menyebalkan sekali tampang Arion saat ini, pikir Zara, ingin rasanya dia menimpuk pria c***l itu dengan pot bunga. Yang isinya bunga mawar berduri.
“Papa nggak perlu ditelepon dari sana. Ini loh, ownernya sendiri yang langsung datang kesini. Makanya mau Papa kenalin ke kamu.” Krishna merangkul pundak Zara.
“O—owner?” Apa maksudnya nih? Jadi, dia penipu juga? Ngaku-ngaku owner, gitu?
Krishna mengecup pipi Zara dengan lembut, lalu mengusapnya juga dengan lembut. “Iya Sayang, kenalkan, ini adalah Arion, owner dari Sekolah Musik Nawasena. Masih muda, kan? Tapi sudah punya sekolah musik sehebat itu. Oh ya, kamu bisa panggil dia Om Arion.” Krishna kembali menatap lurus Arion di hadapannya. “Boleh kan begitu? Zara ini masih dua puluh tahun.” Lalu Krishna tertawa renyah sekali. Seakan situasi ini begitu hangat. Dia tidak sadar isi kepala sang putri sedang pusing bukan main.
Arion mengangguk, jumawa. Gestur tubuhnya sejak tadi menunjukkan jika dia sedang mendominasi Zara. “Boleh. Tentu saja boleh.”
Zara mencibir. Sebelah bibir atasnya naik dan kedua bola mata berputar malas. Nggak percaya aku kalau dia itu owner Nawasena. Ini orang pintar drama banget! Dan ... maunya apa sih sampai datang kesini? Maksudnya apa coba? Sudah bikin hidup aku hancur, apa belum puas juga?! Hah!
“MAUNYA APA SIH?!”
Krik. Krik. Krishna dan Arion sama-sama memandangi Zara. Ups! Zara langsung menutup mulutnya. Ternyata suara hatinya keceplosan sampai keluar. Karena sanking kesalnya dengan Arion.
“Kenapa Zara?” Krishna menatap penuh khawatir. “Apa maksud kamu, Nak?”
Zara berdeham. Mencoba kembali mengendalikan situasi. Dia berpikir cepat. Lalu terkekeh, canggung. “Nggak kok Pa. Aku cuma teringat tadi di kampus. Ada teman sekelas yang ngeselin. Maaf, ya. Jadi kebawa-bawa sampai sekarang.”
Krishna geleng-geleng kepala. “Siapa namanya? Papa kenal kok dengan rektor kampus kamu, teman Papa itu. Kalau dia macam-macam bisa Papa laporkan, di DO saja sekalian.”
“Ehh! Nggak kok, Pa. Nggak sampai begitu. Oke, oke, tadi sampai mana, Pa? Jadi om-om ini owner Nawasena? Lalu mau apa dia kesini? Kurang kerjaan? Eh maksudku ... apa Om Arion ada urusan dengan Papa? Sesi kenalannya sudah selesai, kan? Aku mau ke kamar dulu, ya.” Zara sudah akan berdiri tapi Krishna menahan tangannya.
“Loh, kok urusan dengan Papa. Ya dengan kamu lah. Om Arion ini sengaja datang kesini karena mau mengganti kelas pianomu yang kosong loh. Coba kamu pikirkan Zara, seorang ownernya langsung datang kesini untuk ngajarin kamu piano! Luar biasa, kan!” Krishna memandang Arion dengan sorot mata penuh rasa terima kasih.
Dia tidak melihat raut wajah sang putri yang sedang menatap sinis pada Arion. Ingin rasanya Zara mengulek wajah Arion saat ini juga.