Seorang pelayan datang mendekati Krishna. “Maaf Tuan, ada telepon dari kantor cabang Surabaya. Di ruang kerja,” katanya dengan gestur tubuh sopan, agak membungkuk di samping Krishna.
Krishna mengangguk dan mengangkat tangan kanannya sedikit. Sebagai tanda bahwa dia mengerti. Pelayan itu pun pamit dari sana.
Krishna kembali menatap Arion di depannya. “Nah, Arion, silakan saja dimulai latihannya, saya harus ke ruang kerja sekarang.” Lalu menoleh pada Zara di sampingnya. “Zara, tunjukkan ruang piano. Papa ada urusan dulu. Latihan yang serius, ya.” Tanpa memerlukan jawaban Zara, pria berambut putih seluruhnya itu mengusap punggung sang putri sebentar lalu berdiri dan beranjak dari sana. Krishna berjalan perlahan dengan dibantu tongkat pada tangan kanannya, menuju ruang kerja yang bersebelahan dengan kamarnya sendiri, kamar utama.
Kini tinggal Zara berdua saja dengan Arion. Muak sebenarnya Zara setiap kali melihat wajah Arion. Sebab langsung terbayang kejadian malam itu. Yang sebenarnya sedang berusaha dia lupakan, tapi bagaimana bisa jika pria ini terus berada di sekitarnya.
Zara melirik tajam pada Arion di seberang meja. Sorot matanya seperti sedang mengajak perang. Namun musuh di depan sana bagaikan bangunan benteng tinggi yang kokoh dan anti peluru jenis apapun.
Zara celingukan. Memastikan tidak ada orang lain di ruangan ini selain dirinya dengan Arion. Setelah yakin, dia kembali menatap Arion dengan wajah cantiknya yang dibuat bengis. Arion menaikkan kedua alis, seakan sedang menunggu kalimat apa yang akan gadis galak ini ucapkan padanya.
“Om Arion, apa sebenarnya maksud dan tujuanmu? Kenapa Anda sampai datang kesini? Ke rumah saya!” Sekuat tenaga Zara menahan nada suaranya. Dia tidak ingin satu orangpun tahu kalau dia sudah mengenal pria ini sebelumnya.
“Karena saya akan menggantikan Irene melatihmu piano hari ini,” jawabnya datar. Juga santai seperti biasa.
Zara langsung berdecak kesal. Dia tidak percaya pria ini ternyata memang sedang mempermainkannya. Bahkan setelah merebut keperawanannya waktu itu. Lantas, mau apalagi? Apa belum puas telah merusaknya? Batin Zara bergejolak dan ingin meledak.
“Ck! Jangan bercanda, Om! Nggak mungkin hanya karena alasan kecil itu. Kalau Kak Irene nggak bisa melatihku hari ini, masih ada besok, atau besok lusa. Nggak penting!” Zara mengancungkan jari tengah tangan kanannya. Dia sudah sangat marah.
Arion menggeleng pelan. Dia berdiri lalu berjalan menghampiri dan mencekal lengan Zara. Tidak begitu kencang sebenarnya, tapi tenaga pria itu berkali lipat dibandingkan Zara yang mungil. Terpaksa Zara berdiri karena lengannya dipaksa ditarik ke atas.
“Mau apa sih?! Lepaskan!”
“Saya tidak akan melepaskan anak nakal sepertimu. Ayo tunjukkan ruang pianonya.”
“Nggak mau! Aku nggak mau dilatih oleh laki-laki m***m sepertimu! Lebih baik aku mati penasaran daripada latihan piano denganmu, Om Arion!” Dengan berani Zara melotot dan mendekatkan wajahnya. Bersikap menantang pria itu.
“Hemm, begitu, ya?”
“Iya!” Zara mengangguk meyakinkan. Sekali lagi Zara menarik lengannya, tapi tetap saja cekalan Arion tidak bisa lepas.
“Bagaimana kalau saya katakan pada Pak Krishna, bahwa putrinya yang cantik ini sudah pernah saya tiduri di salah satu VIP room di—“
Hup! Zara sontak melotot lalu dengan cepat membekap mulut Arion dengan satu tangannya yang bebas. Zara menoleh ke kanan dan kiri. Dia menarik napas lega setelah yakin masih hanya ada dirinya dengan Arion saja di ruangan ini.
“Om Arion jangan gila, ya! Papa saya bisa langsung jantungan kalau mendengar ucapan Om Arion tadi! Itu bahaya! Wahh stres ya! Aib sendiri diumbar-umbar!”
Arion melepaskan tangan kiri Zara dari mulutnya. Lalu juga melepaskan cekalannya pada tangan kanan gadis itu. “Memangnya aib siapa? Saya sih nggak merasa itu aib. Cukup manusiawi kan hubungan seperti itu, antara seorang gadis cantik dengan seorang pria tampan lagi mapan. Itu aku. Apa salahnya?”
“Hah! Apa salahnya?! Ya salah besar! Kita bukan suami istri! Hubungan itu cuma boleh dilakukan sepasang suami istri!”
“Pintar.” Arion bertepuk tangan pelan. Tapi dengan cepat Zara menurunkan kedua tangan pria itu supaya berhenti. Dia berkacak pinggang setelahnya.
“Oke. Ya sudah begini saja, kita menikah saja, yuk! Biar saya yang bilang pada papamu.”
“Diam! Diam!” Zara menunjuk tepat di depan wajah Arion. Bibirnya sampai gemeretak karena menahan marah. “Cukup main-mainnya! Aku nggak mau menikah dengan om-om seperti ... ini! Ayo kita latihan piano saja!”
Zara membalik badan, menghentakkan kaki di lantai, lalu berjalan cepat ke arah satu ruang. Arion mengikuti di belakangnya. Mereka masuk ke ruang piano yang kedap suara.
Arion memindai isi ruangan. Ini lebih cocok disebut ruang musik daripada ruang piano. Karena di dalam ruangan yang cukup luas ini, tidak hanya ada piano. Tapi juga ada gitar akustik, gitar bas, drum dan keyboard.
Zara duduk di kursi panjang menghadap piano. Dia sudah siap di sana tapi seketika keningnya mengernyit. Dilihatnya Arion justru sedang mengangkat sebuah gitar akustik dari stand dudukannya.
“Om—“
Panggilan Zara terhenti karena tangan Arion terangkat, seakan memerintahkan Zara untuk diam.
“Huft!” Zara terdiam. Memberengut tapi masih mengikuti pergerakan Arion dengan lirikannya.
Arion terlihat begitu serius. Dia seperti sedang menyetel tuner hingga dirasa pas. Barulah mulai memetik senar. Awalnya pelan dan satu-satu. Kemudian mulai sedikit mempercepat tempo. Hingga terdengar nada yang nyaman di telinga.
Zara terpana. Dia seperti tak asing dengan nada lagu ini. Tapi lagu apa? Dan di mana pernah mendengarnya? Tanpa terasa, Zara tersenyum. Menatap tak berkedip ke arah tangan Arion yang lihai sekali memetik senar gitar.
“Kamu suka?” Arion menghentikan jarinya. Dia menoleh pada Zara.
“Hah? Nggak! Nggak suka! Ayo deh cepetan mulai latihan pianonya. Aku nggak banyak waktu.”
“Saya tidak suka diperintah.” Suara bariton Arion seketika membuat Zara terhenyak. Aura pria itu memang selalu berhasil membuat suasana mencekam dan seperti menyerap semua energi dalam ruangan.
Zara berdeham. Agak canggung. “Tapi bukannya Om datang kesini karena untuk menggantikan Kak Irene, ya? Mau melatih piano, kan?”
Arion menaikkan sebelah alis. “Hemm yaa itu yang kedua. Yang pertama karena saya ingin mengatakan langsung padamu, kalau saya ada rencana.”
Zara mendengkus malas. “Apa pentingnya untuk aku tau rencana Om? Aneh! Itu urusan Om, bukan urusanku!”
“Penting Zara, karena urusan saya akan menjadi urusanmu juga.” Arion meletakkan gitar itu kembali pada stand-nya. Kemudian dia berjalan mendekati Zara yang masih duduk di depan piano. “Ini tentang kejadian malam itu.”
Sontak Zara melotot. Susah payah dia mengusir ingatan tentang malam itu. Meskipun ingatannya melompat-lompat. Dia mabuk waktu itu. Dan sampai sekarang masih menyesalinya. Lalu sekarang dihadapkan langsung pada pelakunya yang ingin membahas kejadian itu kembali. Zara bergetar mendapat tatapan tajam dari Arion.
“Zara, sampai kapanpun kamu tidak akan pernah bisa melupakan kejadian malam itu.” Arion memicingkan kedua bola mata elangnya.