BAB 16. Mulai Cantik Di Mata Arion

1002 Words
“Ohh tentu saja, Nak Arion. Tapi, apakah nggak merepotkan?” Krishna tampak ragu. Setelah semalam Faris meneleponnya dan meminta izin Arion untuk menginap karena katanya kemalaman habis membantu tugas kuliah Zara. Arion tersenyum tipis memancarkan aura wibawa maha dahsyat. “Yahh sebenarnya saya sangat sibuk, tapi jiwa penolong saya terlalu tinggi. Saya akan membantu Zara dengan ikhlas.” Arion berdiri dari duduknya. “Permisi, Pak Krishna.” Krishna memandang Arion penuh rasa kagum, sorot matanya berbinar penuh rasa terima kasih. Dia tersenyum seraya mengangguk pada Arion. Dengan langkah lebar-lebar Arion mensejajarkan langkah Zara yang sudah lebih dulu berjalan ke teras depan, karena dia malas mendengar omong kosong Arion. “Ayo cepat!” katanya lalu menggandeng tangan Zara dan bagaikan menarik seorang anak kecil supaya lekas pulang dari bermain. “Duh! Apaan sih!” Zara berusaha melepaskan tangannya tapi justru dirinya seperti terseret karena dipaksa berjalan cepat. “Kamu harus menurut padaku, Zara! Aku harus mengantarkan kamu tepat waktu kalau tidak harga diriku akan jatuh di depan papamu.” “Hei! Aku nggak peduli, ya! Itu urusan Om Arion! Aku nggak butuh bantuan Om Arion!” Tidak peduli dengan ocehan gadis itu, Arion terus menarik Zara sampai akhirnya masuk ke mobil. Beruntung masih sempat Zara menyambar sepatu ketsnya di rak depan. “Huh! Dasar pemaksa!” Zara yang telah duduk di kursi penumpang depan teringat, dia harus fokus pada dirinya sendiri. Segera dirogohnya tas selempang untuk mengeluarkan pelembab wajah dan badan. Karena diburu waktu, Zara tidak peduli lagi pada Arion di sebelahnya. Dia fokus memakai pelembab wajah, tidak lupa memoles lipgloss warna natural pada bibir ranumnya. Arion yang tadinya fokus ngebut untuk mengejar waktu, jadi sering melirik ke arah Zara. Setelah wajah, Zara juga akan memakai pelembab pada tubuhnya. Dia selalu merawat kulitnya sehingga terlihat putih mulus berkilau. Sehingga saat Zara mulai memoleskan pelembab pada kedua tangannya, kemudian leher, Arion sampai membulatkan kedua netra. Dia berusaha keras supaya tetap bisa fokus menyetir. Setelah tangan serta leher, sekarang Zara mengangkat salah satu kakinya ke atas jok kursi, dia mulai memakai pelembab di sana. Kini Arion menelan saliva dengan susah payah. Zara masih belum sadar, dengan cepat dia mengangkat kaki satunya lagi, bergantian, mengoleskan juga pelembab di kaki itu. Arion kaget ketika melihat ke depan, bagian depan mobilnya sudah masuk jalur arah berlawanan. Segera dia membanting stir ke kiri untuk masuk ke jalur yang benar kembali. Zara yang sedang duduk dengan posisi sebelah kaki terangkat menjadi oleng dan jatuh ke pintu, kepalanya sampai terpentok kaca jendela. “Aduh! Hati-hati dong nyetirnya!” Arion menghela napas dalam lalu menoleh sebentar ke arah Zara. “Simpan itu salep kamu!” “Hah?! Salep? Apaan sih!” “Itu yang buat kaki! Simpan cepat!” Zara memutar bola mata dengan malas. “Ini namanya handbody, Tuan Sempurna! Begitu aja nggak tau! Lagian kenapa harus disimpan? Aku kan lagi makek.” Arion memutar otak dengan cepat, dia harus punya alasan yang tepat supaya tidak membuat dirinya sendiri malu. “Baunya nggak enak! Bikin aku nggak konsen nyetir.” “Astaga! Ini handbody mahal loh, Om!” Arion mendelik tajam pada Zara sekilas. “Aku bilang simpan sekarang juga! Aku nggak terbiasa dengan aroma barang mahal seperti itu. Aku hanya biasa memakai barang sangat mahal.” Zara mendengkus kesal. Namun demi keselamatanya di jalan dan juga supaya dia tidak terlambat kelas pertama, akhirnya gadis keras kepala itu menurut juga. Disimpannya semua pelembab ke dalam tas. Namun dia keluarkan sisir dan mulai menyisir rambut hitam lurusnya yang sepanjang tengah punggung. Lalu diikatnya tinggi di belakang. Arion sempat melirik sekali lagi pada Zara. “Cantik,” gumamnya. “Apa, Om?” Arion tersentak. Segera dia menatap lurus ke depan. “Aku nggak ngomong apa-apa. Sebentar lagi kita mau sampai, siap-siap saja.” “Oke.” Sekali lagi Arion menarik napas dalam. Untuk menenangkan debar jantungnya yang selama perjalanan merasa kurang aman. Baru saja sedan hitam mewah melewati gerbang kampus, Zara menepuk bahu Arion. “Stop! Stop di sini saja! Jangan sampai ke dalam sana!” Rem berdecit, mobil berhenti mendadak. “Kenapa memangnya? Kita kan harus ke parkiran.” Zara langsung menggelengkan kepala. “Ohh tentu tidak! Aku nggak mau ya teman-temanku tau kalau aku berangkat ke kampus diantar om-om model begini. Pokoknya, kalau di area kampus, anggap saja kita nggak saling kenal, oke?!” Tanpa menunggu jawaban Arion, gadis itu langsung turun dari mobil dan berjalan cepat. Arion menyandarkan punggung sambil geleng-geleng kepala. “Memangnya aku om-om model apa? Huft!” Bim! Bim! Suara klakson mobil di belakang segera menyadarkan Arion. Dia langsung menjalankan mobilnya kembali. “Berisik sekali! Berapa sih harga kampus ini!” Arion melajukan mobil keluar area kampus. Dia menuju Sekolah Musik Nawasena. Kali ini memilih melaju dengan kecepatan sedang saja. Meskipun dia ada jadwal meeting pagi ini. Memang benar apa yang dikatakannya pada Krishna, bahwa jadwalnya padat, sebab Nawasena Group ternyata bukan hanya bergerak di bidang jasa musik saja, tapi ada beberapa perusahaan lain di bidang retail produk. Arion dengan setelan jas hitam dan ujung-ujung rambut lurusnya yang menjuntai di kening, tampak berjalan gagah di lobi utama Sekolah Musik Nawasena. Aroma maskulin mewah dari parfum mahalnya menguar di setiap jejak langkahnya. Tidak ada satupun yang tidak terpesona padanya saat berjalan seangkuh ini, dagu sedikit naik dan tidak menjawab satupun sapaan padanya. Begitulah Arion, terlalu tampan dan sempurna untuk sekadar melirik pada orang-orang di sekitarnya. Semua karyawannya sudah sangat hapal dengan sikap sang owner. Ketika Arion akan memasuki lift, semua orang yang sudah terlanjur masuk akan langsung keluar lagi. Arion berhenti di lantai lima, lantai ruang kerjanya berada. Sang sekertaris langsung membukakan pintu ruangan begitu melihat sang bos besar datang. Dia juga sedikit membungkuk ketika Arion melewatinya. Setelah Arion masuk ruang kerjanya yang mewah, sang sekertaris langsung menutup kembali pintu ruangan. Arion duduk di kursi kerja kebesarannya. Namun detik kemudian, wajah angkuhnya langsung berubah, terlihat tidak sekuat tadi. Justru terlihat begitu lemah. Arion menghempaskan punggung ke sandaran kursi berwarna hitam itu. Tatapan matanya menerawang. Keningnya sedikit mengernyit. “Kenapa aku jadi terus kepikiran dia?” gumamnya pelan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD