BAB 17. Kesempatan Langka

1008 Words
Brenda baru saja menelepon Zara, dia mengajak makan jajanan bermecin di kantin. Tentu saja Zara tidak menolak. Disambarnya tas selempang dari atas meja lalu berjalan santai keluar kelas. Mata kuliah pertama baru saja usai, setelah tadi dia nyaris terlambat, hanya beda dua menit sebelum dosen masuk ke kelas. Masih ada waktu satu jam sebelum mata kuliah kedua. Lebih dari cukup untuk nongkrong di kantin sambil cuci mata pada kakak tingkat tampan yang berseliweran. Zara melalui koridor panjang yang di sisi kanan dan kiri berbaris kelas-kelas. Berujung pada taman kampus yang cukup luas. Langkahnya terhenti ketika mendengar suara petikan gitar yang merdu. Hemm apakah ini permainan pahlawan bergitar? Seketika pikirannya menerawang dan tertuju pada satu orang. Tekad kuat menuju kantin buyar seketika. Dia langsung berbelok pindah arah, menuju taman yang dipenuhi pohon bougenville aneka warna. Tepat dugaan Zara! Itu memang Nathan! Cowok tampan berkulit putih bersih itu sedang memainkan sebuah lagu kebangsaan para musisi jalanan, ‘Rindu Setengah Mati’ dari D’Masiv. Untuk para masyarakat kampus, Nathan adalah si cowok introvert sejati. Sampai mereka bilang hanya orang beruntung yang bisa mengajak ngobrol Nathan. Tapi bagi Zara, Nathan adalah pahlawan bergitar sang suami impian. Biarlah untuk sekarang pria introvert ini menjadi calon suami terselubungnya dulu. Di kemudian hari Zara harap jodohnya adalah benar-benar Nathan. Gosrak! “Aw!” Zara tersungkur di atas hamparan rumput manila yang menghijau. “Duh!” Sial benar nasibnya. Sedang mengintip Nathan dari balik ranting bougenville. Justru ranting itu patah dan membuat Zara jatuh begitu saja. Nathan yang masih memegang gitar menoleh dan menatap dingin pada Zara. Hingga gadis itu berdiri sendiri sambil cengengesan. “Apa aku punya utang padamu?” “Ha?” Zara melongo. Apa maksudnya? Zara tidak mengerti kenapa Nathan bertanya begitu. “Utang? Maksudmu?” Zara mendekat. Dia mengambil kesempatan langka ini. Jarang sekali Nathan mengajaknya mengobrol kalau bukan urusan tugas kuliah mendesak. Nathan meletakkan gitar sakti di atas kursi. “Apa aku punya utang padamu? Kalau nggak ada, kenapa kamu ngikutin aku terus?” Astaga! Jadi selama ini dia tahu kalau aku ngikutin dia terus? Padahal selama ini dia seperti cuek banget! Jirrr! Mau taro di mana nih muka?! Zara garuk-garuk kepala yang tak gatal. Kemudian dia terkekeh canggung. “Umm nggak kok. Aku nggak ngikutin kamu. Tadi tuh aku lagi jalan mau ke kantin, nggak sengaja dengar suara kamu lagi nyanyi. Sama main gitarnya bagus banget! Aku suka. Makanya aku kesini.” “Ohh. Tapi aku nggak suka ada yang ngintip diam-diam. Kalau memang mau dengerin aku nyanyi dan main gitar, duduk sini aja.” Nathan mengangkat kembali gitarnya. Dia menepuk tempat di sampingnya. Kursi taman itu panjang dan cukup untuk tiga orang. Hanya Nathan yang duduk di sana. Zara langsung tersenyum sumringah, padahal lututnya lemas seketika. Tidak menyangka sama sekali akan ditawari duduk oleh cowok incarannya ini. Malu-malu Zara duduk di samping Nathan. Janji dengan Brenda terlupa begitu saja. Aroma parfum Nathan membuat Zara terbang ke awang-awang. Dia memejamkan mata sambil menghisap dalam-dalam. Rupanya Nathan sedang menoleh dan memperhatikannya. Dia terkekeh kecil. Sontak Zara membuka mata dan langsung melotot kaget. Baru kali ini dia dengar Nathan tertawa. Suara tawanya candu sekali, tidak peduli kalau dia yang sedang ditertawakan. “Kamu lagi menghirup apa? Parfumku? Parfum murahan begini saja kok,” ucapnya santai. Kemudian mulai memainkan gitar kembali. Kali ini lagu ‘Runtuh’ dari Fiersa Besari. Zara nyaris tak berkedip menatap Nathan sedekat ini. Suara Nathan benar-benar menghipnotisnya. Sungguh nyaman sekali di telinga, rasanya seperti sedang dinyanyikan oleh seorang kekasih. Sedangkan Nathan begitu fokus sehingga tidak menoleh sedikitpun pada Zara saat bernyanyi. Dia lebih sering menunduk melihat pada jari-jarinya sendiri di senar gitar. Dering handphone membuat Nathan berhenti bernyanyi, jarinya juga berhenti bermain gitar. Zara menaikkan kedua alis, terbersit tanda tanya pada raut wajahnya. “Kenapa berhenti?” Nathan tersenyum tipis. “Sepertinya handphonemu bunyi.” “Ah, nggak kok. Ayo nyanyi lagi!” Zara masih bergeming dengan posisi awal. Duduk tegak tapi wajahnya miring menatap Nathan. Nathan kembali tersenyum. “Coba cek dulu. Itu kan bunyi lagi, ada telepon masuk tuh.” Zara tersentak. Detik kemudian dia tersadar. Ya, ternyata itu memang suara ringtone handphonenya sendiri. Zara tersenyum seraya mengangguk kecil. “Oh iya, sebentar ya aku angkat telepon dulu.” Nathan mengangguk pelan. Zarah merogoh handphone. Nama Brenda yang tertera pada layar handphone. Bukannya sadar bahwa dia ada janji di kantin dengan sahabatnya itu, justru Zara menghela napas dalam karena merasa terganggu. Namun akhirnya dia jawab juga panggilan itu. “Halo?” “Halo, Zara? Di mana?! Lo jalan dari kelas apa dari rumah sih? Lama amat!” “Halo Brenda, oke selamat makan, ya. Dahhh!” Sambungan telepon ditutup. Brenda di ujung telepon langsung tumbuh tanduk di kepalanya. Emosinya naik ke ubun-ubung karena Zara tidak jelas kali ini. Zara langsung menggenggam handphone dengan kedua tangan. Kemudian tersenyum semanis mungkin pada Nathan. “Dari Brenda? Temanmu, kan? Ada janji dengannya?” Zara langsung menggeleng. “Ohh nggak kok. Dia cuma ngabarin kalau mau makan duluan. Dan kebetulan, aku belum lapar.” Zara terkekeh. “Kamu mau main lagi? Silakan. Ayo silakan!” Nathan mengangguk. “Oke.” Dia kembali memainkan sebuah lagu yang langsung membuat Zara terpana. Namun fokus Zara langsung buyar ketika handphone di tangannya kembali berdering. Dia langsung mendengkus kesal saat melihat nama Brenda lagi yang tertera di layar. Dengan cepat Zara menonaktifkan handphone. Lalu dimasukannya ke dalam tas. Selesai memainkan lagu keempat, Nathan berhenti. Dia menoleh pada Zara dan tersenyum tipis. “Kamu mau masuk kelas? Dua puluh menit lagi dimulai.” “Ohh iya, ayo bareng!” “Umm kamu duluan saja. Aku mau ke kamar mandi dulu dan beli minum.” Nathan berdiri. Zara juga ikut berdiri dan terus menatap Nathan tanpa memalingkan pandangan sedikitpun. “Permisi.” Nathan sudah berjalan ke arah luar taman, tapi beberapa langkah dia berhenti lagi. Membalik badan dan menatap heran pada Zara yang ternyata mengikutinya. “Aku mau ke kamar mandi dulu,” ulangnya lagi. Zara langsung tersadar. “Ohh iya. Kalau begitu aku ke kelas duluan.” Tanpa menunggu jawaban Nathan, Zara langsung berjalan cepat menuju kelas.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD