1 | Kesan Pertama

1149 Words
"Kamu nggak punya pacar?" Seruni memegang tali tas selempangnya sambil terus jalan, bersisian dengan sosok pria yang orang tuanya perkenalkan. Hari ini dipertemukan. Namanya Jagat. Lengkapnya, Danapati Jagat Atmaja. Pria itu lebih tua enam tahunan darinya, di mana ini adalah masa-masa Seruni menapaki jenjang akhir SMA. Jagat seorang mahasiswa S2. "Nggak punya." Bagaimana mau berpacaran, kan? Seruni punya papi yang posesif, tetapi mungkin ... di sisi lain karena Seruni sudah ada sosok Jagat yang disiapkan untuknya di dewasa kelak. Jagat mengangguk-angguk. "Kalau ... Mas?" Seruni ingin sebut abang atau kakak, tetapi lidah penasaran dengan sebutan yang suka dia dengar dari temannya kepada kakak sendiri. Mas. Mumpung ada sosok yang bisa Seruni sebut begitu. Jagat menoleh. Bersitatap sejenak. "Kalau punya, mungkin hubungan kita nggak akan baik." Benar. Seruni ulas senyuman. Jagat juga senyum. Tapi kemudian sorot mata keduanya sama-sama menatap lurus ke depan. "Mau duduk di sana?" Jagat menunjuk sebuah bangku. Seruni masih malu-malu. "Boleh." "Mau es krim, gak?" "Boleh, Mas." "Tunggu, ya?" ucap Jagat, selepas Seruni duduk di bangku tersebut. Dari caranya berpakaian, Seruni sangat feminin. Dari caranya duduk dan mengibaskan rambut, dia tampak anggun walau usia masih di akhir masa remaja. Seruni Iris Semesta, dia putri dari pimpinan Bumantara Corp. Perusahaan yang bergerak di bidang properti dan hospitality itu ada kerja sama yang sangat menguntungkan; di mana Jagat adalah calon pimpinan Atmaja Group. Luxe sebagai merek dari produksi perusahaan keluarga Jagat, yakni berupa furnitur. Ada korelasi mutualisme di sini, antara Jagat dan Seruni, di samping mereka harus bersatu karena janji dan wasiat orang terdahulu. "Nih." Es krimnya. "Makasih ...." Seruni menerima itu. Jagat pun duduk di sebelah putri Galaksi, nama ayah Seruni. Jagat melahap es krim yang sama. Aroma Seruni membelai-belai hidungnya, gadis itu wangi sekali. "Kamu yakin mau nikah?" Seruni yang sedang fokus makan es krim otomatis menoleh. Matanya memiliki kerjapan yang lugu dan manis. "Yakin nggak yakin pun harus, kan? Lagi pula mau nggak mau juga pada akhirnya manusia hidup berpasang-pasangan." Jawaban macam apa itu? Seruni tidak meletakkan perasaannya di sini, belum. Dia berpegang di logika. Tentang perjodohan yang dia ambil sisi positifnya, Seruni tidak perlu repot mencari pujaan hati. Lagi pula ... di matanya, Jagat oke juga. "Iya, sih. Tapi kamu masih SMA." Jagat lahap lagi es krimnya. "Iya, bener. Makanya kita nggak menikah tahun ini." Seruni juga lanjut menikmati rasa manis dari es krim itu. "Kamu kayaknya harus nyoba pacaran dulu." Seruni diam. Jagat menunduk sebentar, lalu menatap calon istrinya. "Sebelum kita menikah, gimana kalau kamu coba cari sosok yang bikin kamu naksir dulu? Bukannya apa, tapi kasihan aja kalau kamu belum punya pengalaman jatuh cinta ... terus harus langsung berumah tangga sama saya." Tatapan Seruni lekat di Jagat, penuh kedamaian yang seakan tak bisa Jagat buat guncang, sekali pun oleh tutur kata barusan. Seruni bilang, "Kalau gitu, ayo. Kita bisa mulai dengan pacaran dulu, kan? Mas Jagat bisa bikin aku jatuh cinta, coba aja." Jagat mengerjap. Seruni lanjut menghabiskan es krimnya. Namun, tidak lama. Saat es krim itu habis, Seruni katakan, "Tapi nggak bakal bisa kalau Mas udah punya orang yang disuka." Jagat diam. Dia alihkan tatapan—asal tidak menatap wanita di sisinya. Saat Seruni memandangnya, Jagat melahap es krim sambil senyum. "Bikin orang jatuh cinta itu nggak gampang, Seruni." "Mas kurang percaya diri." "Kamu sendiri kayaknya ... yakin bisa bikin saya jatuh cinta?" "Kalau nggak ada perempuan lain di hati Masnya, ya, yakin-yakin aja. Aku tahu nilai diriku, kok." "Wah .... Ini bener kamu kepedean." Seruni senyum. "Salah satu kelebihanku, ya, itu. Percaya diri." Sembari mengibas rambut. Jagat geleng-geleng, melengkungkan senyum sebelah bibir. Di mata Seruni, senyum itu macam bentuk jenaka. Jadi, Seruni senyum juga. "Saya bukan cowok romantis," kata Jagat. Seruni menyimak. "Mungkin kalau kita menjalin hubungan ... kamu akan merasakan ketimpangan di sini. Karena cowokmu—kalau saya—nggak romantis." Jagat perjelas. "Aku juga nggak mendambakan hubungan romantis, tapi Mas Jagat nawarin aku es krim dan ngobrol kayak gini aja udah cukup romantis, kok." Jagat mingkem. "Tapi papiku ke mami seromantis itu, sih." Seruni mengedik bahu. "Kadang role model-ku buat pasangan itu, ya, papi." "Nah, jangan komplain kalau saya nggak bisa kayak papi kamu." Tatapan Jagat terpancar serius. "Oke. Kita bisa jalani dulu dan ukur kesanggupanku. Selagi nggak romantisnya pure gak ada perempuan lain, aku fine." Jagat geming untuk sepersekian waktu, lalu mengangguk-angguk. "Kamu selalu nekenin perempuan lain." Seruni hanya tersenyum. Dia begitu anggun, tak peduli berapa usianya. Jagat mengalihkan pandangan, Seruni menjulurkan tangan, jemarinya menyentuh rambut Jagat, sontak lelaki itu menoleh—agak tersentak. "Ada ini." Kelopak bunga sisi taman yang Seruni ambilkan. Jagat lantas mendongak, memang ada tanaman yang sedang berbunga di atas sana. Lalu kelopak bunga itu Seruni letakkan di atas lengan Jagat, kulitnya bertempelan singkat. Hanya itu. *** "Nanti Uni belajar banyak dari Jagat, ya?" Di rumah. "Iya, Pi." "Walau sebenernya berat bagi Papi buat melepas Uni secepet ini, tapi ...." "Batalin aja perjodohannya, Pi," timpal Seruni santai. "Andai bisa." Ada helaan napas berat di papinya. Seruni lalu memeluk sang papi. Adapun mami mendekat. Meletakkan minuman hangat di meja. "Tapi Jagat baik, kan, Ni?" tutur mami. "Kalau nggak baik, jangan ditutupi. Papi hajar dia nanti." Seruni tertawa. "Baik, sih. Kemarin ketemu juga orangnya nggak neko-neko. Cuma ngajakin Uni jajan es krim." "Lho, cuma es krim? Anak Papi yang berharga ini cuma dijajanin es krim?" Papi sampai mendelik. "Ya, nggak juga, Pi. Uni diajak beli baju, tapi Uni tolak. Uni yang sering nolak-nolak, sih. Kecuali es krim." Ngomong-ngomong, papinya agak berlebihan. Sebetulnya Seruni tidak akan dinikahkan dalam waktu dekat ini, lho. Hanya tunangan. Nanti setelah lulus pun Seruni akan berkuliah di luar negeri dulu. Ya, karena itulah bertunangan dengan Jagat dulu, kuliah di sana bersama-sama. Jagat juga konon akan lanjut S3. "Kayaknya Jagat amatir, deh. Dia nggak tahu cara nge-treat cewek," ucap mami. "Baguslah," kata papi. "Tandanya dia nggak ada pengalaman sama perempuan." *** "Rasanya baru juga ketemu, udah harus LDR lagi." Gumaman itu amat syahdu di telinga Jagat, dari sesosok wanita yang menyandarkan kepala di bahunya. "Masih kangen, tau." Jagat meraih jemari lentik dari si empu tangan yang memeluk lengannya. Dia selipkan jari di sela-sela jemari cantik itu. Tak ada tutur kata. Hanya saja dengan genggaman tangan yang Jagat cipta, itu sudah mencerminkan bahwa dirinya juga masih serindu kerinduan dari sosok di sebelahnya. Seberat itu untuk meneruskan langkah perjalanan hidupnya. "Jagat." "Hm?" "Semangat!" katanya. Jagat terkekeh. "Kamu yang semangat." "Iya, semangat memantaskan diri buat jadi pendamping calon penerus perusahaan besar." Sambil tertawa. "Gak nyangka banget." Kini bersitatap. Ada yang tak bisa Jagat ucap. So, dia memilih mengecup jemari dalam genggamannya. Jemari wanita yang selama ini sudah bertakhta lama di hati. Namun, bukan wanita yang bisa Jagat pasangkan cincin di jemari manisnya. Oh, bunyi 'nit-nit' di jam tangan Jagat menjadi alarm bahwa kebersamaan hari ini harus disudahi. Melengganglah dia ke mobil setelah berpamitan pada sang pujaan. Bagaimana, ya? Ponsel Jagat juga bunyi. Dari Seruni. "Mas jadi jemput aku?" ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD