Bab 1: Minggu Pertama

1021 Words
"Em, cepat habiskan sarapan lalu mari berangkat ke sekolah!" bujuk Sekar. Emily memang tidak suka makan cepat-cepat. Begitulah suasana pagi Sekar sudah menjelang seminggu ini. Sekar memang baru beberapa hari bekerja rumah itu, tetapi termasuk beruntung karena anak yang diasuhnya demikian baik dan bersahabat. Sekar malah sudah mengangap gadis cilik yang baru kelas dua di SD internasional itu seperti keponakannya sendiri. Bibir kecil berwarna merah jambu itu selalu berceloteh riang tentang apa saja. Kadang Sekar geleng-geleng mendengar cerita Emily. Ada saja topik yang ia bahas. Mulai dari teman-teman sekolahnya, makanan kesukaan, hingga kebiasaan ayahnya di pagi hari. "Mbok Sekar lama-lama seperti mommy-ku." "Sudah jangan suka meledek Mbok!" "Mily tidak sedang meledek, Mbok." "Ayok, segera habiskan!" Sekar mencoba menghentikan celoteh mulut kecil nan bawel itu. Jika dibiarkan, bisa-bisa mereka akan terlambat sampai di sekolah. Nanti ujung-ujungnya Sekarlah yang kena tegur bos bulenya. "Baiklah, Mily sudah selesai." Anak itu turun dari kursi dan membawa bekas makannya ke dapur. Ia langsung mencuci piring, sendok, dan gelas yang selesai dipakainya. Tidak lupa mencuci tangannya dengan sabun. Rapi. Anak itu mengambil tas sekolah bergambar Anna dan Elsa, kemudian berlari keluar. Ia menghambur ke arah sang ayah yang sedang mengajak main Bonbon, anjing pitbull mereka yang berwarna cokelat gelap dengan belang putih yang khas dari dada hingga ke perutnya. Bonbon terlihat menghampiri Emily dan menjilati sepatunya. Emily memeluk binatang berbadan besar itu dengan sayang. Sedangkan Bonbon yang dipeluknya sibuk menggoyang-goyangkan ekor. Sedangkan Mr. Green hanya tersenyum memandangi mereka. Begitu selesai dengan anjingnya, Emily kemudian memeluk sang ayah. Ia menciumi pipi kiri dan kanan laki-laki berkaus putih itu dengan sayang. Hal yang sama dilakukan Mr. Green kepada sang putri. Sekar dengan setia mengawasi interaksi manis di antara keduanya. Ia ikut merasa bahagia setiap kali melihat adegan tersebut. Emily memang tidak lagi memiliki seorang ibu, tetapi beruntung ia masih memiliki ayah. Seorang ayah yang penyayang. Namanya Jevin Anthony Green. "Oke, Girls lekaslah berangkat!" Mr. Green menyuruh keduanya segera berangkat. Sekar dengan sopan mengangguk kepada laki-laki berusia 40 tahun itu saat membimbing tangan Emily supaya lekas berangkat. Anggukan serupa dilakukan si laki-laki untuk menjawabnya. Emily melambaikan tangan kepada sang ayah dan memberinya ciuman jarak jauh. Emily dan Sekar setiap hari pergi ke sekolah dengan berjalan kaki karena memang jaraknya tidak terlalu jauh. Jalanan sepi yang hanya sesekali dilewati sepeda motor membuat mereka tidak begitu khawatir berjalan kaki. Belum lagi kanan kiri jalan dipenuhi tanaman hijau nan asri. Pohon-pohon kamboja berdiri dengan anggunnya, memekarkan bunga-bunga segar nan menyegarkan mata. Sesekali, Emily memetik bunga liar yang tumbuh di rerumputan tepi jalan, memunguti kamboja-kamboja yang berjatuhan sepanjang jalan. Gadis cilik itu senang menyelipkan bunga-bungaan di telinganya. Katanya agar ia menjadi anak Bali. Sudah sejak pertama kali mengantar Emily, mereka selalu terlibat obrolan seru. "Mbok, kenapa mau jadi pengasuh Mily?" Sekar sedikit terkejut dengan pertanyaan yang tidak diduganya. Ia mencari jawaban yang pas karena tidak mungkin Sekar akan menjawab "demi uang". Padahal memang seperti itu kenyataannya. "Mbok Sekar melakukan ini demi masa depan. Usia Mbok belum tua, jadi masih harus rajin bekerja. Em paham, kan?" Anak kecil berkincir dua itu manggut-manggut. "Paham, Mbok." "Baiklah kalau paham." Mereka sudah sampai di sekolah dan Sekar segera kembali ke rumah begitu Emily masuk ke kelasnya. Biasanya Sekar akan langsung bergegas pulang dengan terlebih dulu membeli nasi jinggo yang dijual di pinggir jalan dekat sekolah Emily. Kali ini pun Sekar mendekati lapak nasi jinggo langganannya. "Nasi jinggone dua, Bli." "Nah, apa buin?" "Be. Ni pisne, Bli." Sekar mengangsurkan selembar uang kertas berwarna ungu kepada penjual nasi jinggo. "Suksema, Bli." "Nah, Geg." Laki-laki itu menerima uang sepuluh ribuan dengan gembira. Rupanya Sekar adalah pelanggan pertamanya, sehingga laki-laki itu mengibas-ngibaskan uang yang didapatnya dari Sekar ke tumpukan nasi jinggo dan aneka makanan lain di lapaknya seraya berkata, "Laris maniiis." Hal itu umum dilakukan para penjual saat mendapatkan pelanggan pertama. Mereka berharap saat melakukan itu pelanggan lain akan segera menyusul. Dengan begitu dagangan mereka akan cepat habis dan uangnya kumpul. Masuk akal atau tidak diserahkan kepada kepala masing-masing. *** "Nasi jinggone, Mbok Yan." Sekar menyodorkan plastik hitam yang dibawanya. "Nah, Geg. Ndak usah repot-repot." "Ndak repot, Mbok." Sekar baru beberapa hari bekerja di keluarga Mr. Gr Sekar selalu membeli nasi jinggo saat pulang mengantar Emily ke sekolah untuk dimakan berdua Wayan Suhita. Mereka selalu memakan nasi berbungkus daun pisang itu di dapur, duduk lesehan di marmer bercorak Eropa klasik. Senda gurau akan mewarnai acara sarapan itu. Saling berbagi cerita, tentang pekerjaan, tentang apa saja. Keduanya kadang hampir lupa waktu jika saja Mr. Green tidak meneriaki Suhita untuk mulai bekerja. "Tinggal dulu, nah, Geg!" "Nah, Mbok Yan." "Salam ndak buat Mr. Green?" "Ada gen Mbok Yan." Suhita memang senang meledek Sekar. Ia menyemangati Sekar untuk menggoda Mr. Green. Katanya wanita dengan kulit eksotis seperti Sekar adalah kesukaan laki-laki bule seperti Mr. Green. Sekar tentu saja tidak menanggapi celoteh Suhita yang melantur. Memang sudah umum untuk gadis Bali sepertinya memiliki pasangan bule. Akan tetapi jujur saja Sekar tidak punya cita-cita untuk itu. Ia tidak cukup tertarik dengan laki-laki berkulit putih. Apalagi yang badannya berotot seperti Mr. Green. Bagi Sekar itu sedikit mengerikan. "Kenapa kamu melamun?" "Eh, tidak apa-apa." Sekar terkejut saat tubuh tinggi beraroma wangi Mr. Green tiba-tiba sudah mematung di depannya. Kapan laki-laki itu datang saja Sekar tidak tahu. Sepertinya ia terlalu serius melamun. Sekarang ia gelagapan menjawab pertanyaan sederhana sang majikan. *** Jarum jam menunjuk angka sepuluh. Seperti biasa, Sekar baru kembali ke kamarnya setelah Emily tertidur. Anak itu selalu memintanya membacakan dongeng sebelum tidur. Badan Sekar terasa lelah, ia kemudian menyempatkan diri untuk mandi supaya lebih segar dan tidur lebih nyaman. Rumah Mr. Green sudah sepi, lampu-lampu ruangan hanya tersisa satu atau dua saja yang menyala. "Sepi sekali," gumam Sekar sambil menuju kamar mandi di dekat dapur. Dari luar rumah terdengar suara Bonbon menggonggong. Sekar sedikit merinding. Ia memutuskan untuk lekas menyelesaikan acara mandinya agar bisa segera tidur. Sementara Bonbon di luar semakin kencang menyalak. Angin dingin tiba-tiba bertiup. Sekar berlari kecil ke arah kamarnya. "Sekar," sebuah panggilan samar terdengar. Suara halus seperti suara wanita. "Siapa?" Sekar mengamati sekeliling dan tidak mendapati siapa pun di sana. Sementara bulu kuduknya semakin tidak bisa diajak berdamai. Meremang. "Siapa pun kamu, tolong jangan ganggu." "Sekar." Suara itu kembali terdengar seperti menggema. ~~~ Glosarium: Mbok: panggilan untuk perempuan, setara dengan kakak, mbak, dll. Bli: panggilan untuk laki-laki setara dengan kakak, abang, mas, dll. Geg(jegeg): panggilan untuk perempuan muda setara dengan neng, nduk, dll, bisa juga diartikan dengan cantik. gen: saja. nah: ya/iya buin: lain nasi jinggo: nasi khas Bali, dibungkus daun pisang dengan lauk ayam suwir, mie, dan sambal, kadang ada juga yang berisi ikan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD