*** “Apa yang kau lakukan di perangkat itu?” Suara bariton Domenico memecah keheningan, menusuk gendang telinga Edgar seperti bel peringatan. Jantungnya nyaris mencelos. Walau begitu, ia menahan diri agar tak menunjukkan reaksi berlebihan. Dengan cepat, Edgar mengatur napasnya, menekan semua kemungkinan yang bisa menimbulkan kecurigaan lebih lanjut. Namun, di tempat duduknya, Domenico tampak tidak sabar. Tatapannya menyipit, kecurigaan mulai menyelinap di benaknya saat tak kunjung mendapat respons dari Edgar. Dan dalam hitungan detik, pria itu bangkit dari sofa. Dap. Dap. Dap. Hentakan langkah kakinya terdengar jelas di lantai dingin yang terbuat dari marmer hitam mengilap. Dalam sekejap, ia sudah berdiri tepat di samping Edgar. Sial! Edgar mengangkat wajahnya, menatap lurus ke ar