6. Kecurigaan (Zahra)

1202 Words
Enam bulan telah berlalu. Ya, aku bersyukur setidaknya rumah tanggaku baik-baik saja. Meskipun tidak seromantis dan seharmonis layaknya keluarga bahagia di dalam novel. Namun, Mas Revan tidak pernah bersikap kasar padaku. Dingin, iya terkadang. Tentang Mbak Agni, aku tidak mau ambil pusing. Selama tidak ada yang mencurigakan, aku akan selalu berpikir positif. Aku pun menjalani rumah tanggaku dengan normal. Aku melayani semua kebutuhan Mas Revan. Dari membuat sarapan, meskipun kadang hanya roti tawar, nasi goreng yang kadang keasinan, bahkan pernah hanya sekedar nasi putih dan telur dadar. Tapi Alhamdulillah, Mas Revan tidak pernah protes. Dia hanya diam saat aku melakukan kesalahan. Selain itu, aku juga selalu menyiapkan baju kerjanya. Juga selalu melayaninya di ranjang. Dia memintaku untuk menunda kehamilan. Padahal Mama dan Bunda sudah ingin sekali memiliki cucu. Tapi dia bilang, dia tidak mau kuliahku terganggu. Apalagi kalau sampai nantinya aku mengalami morning sick. Aku menurutinya, karena aku pikir, ada benarnya juga. Pagi ini, aku mencoba mencari resep di internet. Aku akan mencoba memasak. Meskipun aku sudah sering mencoba, dan sering kali mendapat kegagalan, tapi aku tak pernah kapok. Aku selalu berusaha. Aku memasak masakan kesukaan Mas Revan. Cah kangkung, ayam goreng, dan sambal tomat. Menu yang sangat sederhana dan mudah seharusnya, tapi tak tahu kenapa, aku tak pernah mendapatkan rasa yang sesuai lidah. Aku akan memberi Mas Revan kejutan, untuk makan siang bersama dengan datang ke rumah sakit, tanpa memberi tahunya terlebih dahulu. Kebetulan hari ini aku tidak ada jadwal kuliah. Jam sepuluh pagi, semuanya sudah siap. Aku tinggal merapikan dapur, mencuci perabot, lalu mandi setelahnya. Tepat jam sebelas aku melesat menggunakan mobilku untuk ke rumah sakit. Jalanan agak macet, sehingga aku harus bersabar agar tidak merusak mood-ku. Lima puluh menit perjalanan, aku sampai di rumah sakit. Lumayan ramai. Apalagi kedatanganku bertepatan dengan jam besuk pasien. Ini pertama kalinya aku datang ke rumah sakit. Aku masuk ke dalam lalu menanyakan di mana ruangan Mas Revan pada salah satu suster. "Maaf, Sus, saya mau tanya. Ruangan dokter Revan di mana ya, Sus?" "Maaf, ada perlu apa, ya?" jawab suster itu. "Saya istrinya, saya ingin mengantarkan makan siang." "Istri?" tanya suster itu dengan ekspresi bingung dan kaget entah karena apa. Namun, tak lama suster itu menunjukkan ruangan Mas Revan. Aku berterima kasih pada suster itu. Lalu melangkah menuju ruangan Mas Revan. Senyum terus saja mengembang dari bibirku. Membayangkan ekspresi Mas Revan saat melihatku nanti. Begitu sampai di depan ruangan Mas Revan, aku berniat mengetuk pintu. Tapi aku urungkan. Aku langsung mendorong pintu. "Sur-- Mas??" Tadinya aku ingin menyerukan kata surprise. Namun, aku melihat Mas Revan sedang memeluk wanita. Menyadari kehadiranku, mereka langsung melepaskan pelukannya. Aku kembali terkejut begitu wanita itu melihat ke arahku. "Mbak Agni?!" Mbak Agni terlihat gugup, tapi tak lama kemudian dia tersenyum lalu menghampiriku. "Jangan salah paham, aku tadi curhat sama suami kamu. Kamu tahu kan, aku baperan. Aku baru saja putus sama pacarku. Aku cerita ke Mas Revan. Tadi aku sempat nangis. Makanya Mas Revan berusaha menenangkanku," jelas Mbak Agni. Aku hanya beroh ria saja. Dalam hati aku bertanya 'pantaskah seorang wanita menceritakan masalahnya pada pria yang telah beristri?' Tapi dengan kuat aku menepis semua itu. Aku selalu mensugestikan diriku, bahwa tak ada yang harus aku curigai. "Ya sudah, aku ke ruanganku dulu. Makasih Mas, sudah mendengarkan curhatku." Aku mengangguk, begitu juga dengan Mas Revan. Setelah Mbak Agni keluar, "Ada apa kamu datang ke sini?" tanya Mas Revan dingin menyapa telingaku. "Aku habis masak, aku ingin Mas mencobanya." "Zahra, bisa tidak kamu tidak menyiksaku dengan masakanmu sekali ini saja?!" Apa maksud Mas Revan? "Maksud, Mas?" "Apa kamu tahu, masakanmu tidak pernah terasa enak di lidahku. Aku diam bukan karena aku menyukainya, tapi karena aku tidak mau kamu tersinggung. Tapi kenapa kamu tidak pernah peka?" ucapan Mas Revan memang pelan, tapi entah mengapa begitu menusuk hatiku. "Jadi, Mas tidak mau mencicipinya?" "Tidak. Bawa saja kembali makanan itu. Kamu tidak perlu khawatir, lagipula di sini ada kantin. Restoran cepat saji juga banyak di seberang rumah sakit, jadi kamu tidak perlu repot-repot. Sekarang pulanglah, aku harus kembali bekerja." "Baiklah." Aku mencoba untuk menahan air mataku. Saat aku akan membuka pintu, Mas Revan memanggilku. "Zahra!" "Iya, Mas?" Aku membalikkan lagi tubuhku. "Hari ini aku pulang malam, jangan menungguku!" "Iya," jawabku. Sebelum aku berbalik, mataku menangkap sebuah kotak makan yang tak asing bagiku. Tutupnya setengah terbuka, sehingga terlihat ada ayam kecap dan capcay di sana. Mungkinkah? Lagi-lagi aku menepis kecurigaanku. Lalu aku lanjutkan untuk membuka pintu dan keluar dari ruangan Mas Revan. Aku mencari ruangan Mbak Agni, yang ternyata bersebelahan dengan ruangan Mas Revan. Aku mengetuk pintu, kemudian mendorongnya setelah mendapat perintah masuk dari dalam. "Ra ...." "Mbak, Mbak sampai jam berapa hari ini?" "Jam dua. Kenapa, Ra?" "Kita pulang bareng ya, aku pengen main ke kontrakan Mbak. Bosen di rumah, Mas Revan juga katanya pulang malam." "Oke. Yang penting kamu mau menunggu." "Beres, Mbak." "Kamu bawa apa?" tanya Mbak Agni saat melihat bungkusan yang aku bawa. "Oh ... ini? Makan siang buat Mas Revan, Mbak. Tapi Mas Revan menolak. Aku nggak bisa masak sih Mbak, nggak kayak Mbak Agni yang pinter masak," pujiku, yang sukses membuat Mbak Agni canggung. Entah karena apa. "Kamu juga pasti bisa, Ra, kalau mau belajar." "Ajarin ya, Mbak." "Iya, besok-besok kalau Mbak libur, ya." Aku mengangguk bersemangat. *** Jam dua lima belas menit aku dan Mbak Agni keluar dari rumah sakit. Kami menggunakan mobilku ke kontrakan Mbak Agni. Karena yang aku tahu, Mbak Agni naik taksi pulang pergi rumah sakit setiap harinya. Setengah jam perjalanan, kami sampai di kontrakan Mbak Agni. Tadinya aku dan Bunda meminta Mbak Agni untuk tinggal bersama bunda, karena Ayah sering pergi ke luar kota. Sehingga Bunda hanya berdua dengan ART. Tapi Mbak Agni menolaknya. Dengan alasan, tidak mau merepotkan. Dan kami memakluminya. Tapi yang membuat aku heran, kenapa Mbak Agni mengontrak rumah yang cukup besar, padahal dia tinggal sendiri. Aku ingin bertanya, tapi takut menyinggungnya. Jadi selalu saja aku urungkan. Aku mematikan mesin mobil. Mbak Agni turun terlebih dahulu untuk membuka pintu, kemudian aku mengekorinya. "Mbak mandi dulu ya, Ra. Kamu santai-santai saja dulu." "Oke, Mbak." Aku menyibukkan diri dengan menonton televisi. Sedang asyik menonton, aku melihat ke arah meja. Ada kacang kulit di sana. Aku jadi ingat Mas Revan. Dia sangat menyukai kacang kulit. Ya Allah, kenapa hari ini aku selalu suuzan. Semua hanya kebetulan Zahra ... hanya kebetulan .... Mbak Agni sudah selesai mandi sekarang. Dia sedang sibuk di dapur. Aku menghampirinya. "Masak apa, Mbak?" tanyaku menghampiri Mbak Agni. "Ini, menghangatkan capcay sama ayam kecap sisa tadi pagi. Kita makan ya, habis ini." Aku tidak salah dengar, kan? Katakanlah pendengaranku terganggu. Tapi, begitu mataku melihat ke arah kompor, memang benar ada capcay di atas wajan, dan ayam kecap yang masih ada di atas piring menanti giliran untuk di panaskan. "Ra ...." "Eh ..., oh ... iya, Mbak, aku tunggu sambil nonton tv ya, Mbak." Mbak Agni mengangguk. Jika ada yang bertanya dengan perasaanku saat ini, entahlah. Apa mungkin semua itu kebetulan? Aku menatap televisi. Namun, pikiranku entah kemana. Sampai bel rumah Mbak Agni berbunyi. "Biar aku saja yang buka, Mbak!" teriakku pada Mbak Agni. Setengah berlari aku menghampiri pintu. Kuturunkan knop pintu. Setelah pintu terbuka, sesosok pria memberikan bunga sambil berkata. "Ini buat kamu, Sayang." Aku ternganga. Kemudian aku tersadar. "Mas Revan?!" oOo
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD