Eps. 7 Gracia Setuju

1159 Words
Setelah kepulangan James Luxio, ayahnya Ansel. Fernando menemui istrinya yang ada di kamar. “Irina ada yang ingin ku bahas dengan mu." ucap Fernando memegang knop pintu berwarna coklat. Pria itu pun kemudian masuk dan menutup pintunya kembali agar tak ada yang mendengar percakapan mereka. Irina terlihat sedikit bengkak matanya akibat terus menangisi keadaan Giselle yang buta dan tak tahu kapan akan mendapatkan donor mata serta penglihatannya kembali. "Hapus air matamu dulu. Ada sesuatu yang lebih penting yang harus kita bahas." ucap Fernando. Ia duduk di kasur bersprei coklat gelap di samping istrinya lalu mengusap bahu Irina. "Apa yang ingin kau bicarakan denganku ?" balas Irina mengambil tisu yang ada di kotak tisu berbeda berwarna coklat di meja. Setelah menghapus air matanya, wanita itu kemudian berbalik dan menatap suaminya. "Ini tentang pernikahan Giselle." Seketika raut muka sedih wanita itu berubah menjadi tegang sekaligus serius. "Ya ? Semoga pernikahan ini tidak batal." "Pernikahan ini tidak akan batal hanya saja bukan Giselle yang akan menjadi mempelai wanitanya melainkan Gracia." jelas Fernando singkat. Ia berharap istrinya itu mau menerima keputusan itu yang tentu sejak sebenarnya juga berat untuk dirinya. "Fernando, bagaimana bisa kau punya pikiran picik seperti itu ? Tega sekali kau menukar mempelai wanitanya." Irina sampai berdiri karena marah dengan perilaku suaminya yang tidak berperikemanusiaan itu. Berpikir sebuah pernikahan adalah permainan yang dengan mudahnya mengganti penggantinya. "Aku belum selesai bicara dengarkan aku dulu." ucapnya lagi. Fernando menarik istrinya untuk kembali duduk. "Itu bukan kemauanku sendiri tapi itu keputusan dari James. Dia yang mempunyai ide tersebut. Disini aku meminta pertimbangan mu. Hanya ada dua pilihan saat ini. Membatalkan pernikahan atau melanjutkan pernikahan dengan Gracia sebagai pengganti mempelai wanitanya." lanjut pria itu menjelaskan. Irina tampak menarik nafas panjang sembari menatap karpet coklat di atas lantai putih kamarnya dengan wajah tertekuk dimana dia dihadapkan pada dua pilihan dan dua-duanya adalah putrinya. "Fernando tentu saja pernikahan ini tak boleh sampai batal. Bagaimana nanti dengan pemberitaan media massa dan status kita di mata publik ?" Irina beralih menatap suaminya dengan intens. "Lalu apa kau sudah membicarakannya dengan Gracia ?" tanya Irina menuntut. Ia tak mau jika suaminya itu ternyata memaksa putrinya menjalani pernikahan yang nanti membuatnya tidak bahagia. "Masalah itu aku belum membicarakannya dengan Gracia. Nomornya tak aktif." Ya, sebelum masuk ke kamar Fernando langsung menghubungi nomor Gracia namun ponselnya tidak aktif. "Baiklah aku akan bicarakan hal itu dengan Gracia nanti. Tapi jangan salahkan aku jika dia tak mau." ucap Irina sambil mengangkat kedua bahunya ke atas karena ia tahu persis bagaimana karakter putri pertamanya itu yang tak suka dipaksa. Di kamar lain berukuran 4x5 meter bercat kuning pucat terlihat Giselle yang duduk termenung di sudut tempat tidurnya. Dia sudah pulang dari rumah sakit pagi tadi dan sejak pagi dia belum keluar dari kamar sekalipun. hiks-hiks Gadis itu menangis seharian dari pagi bahkan sampai sekarang pun belum berhenti. "Kenapa aku bernasib sial seperti ini ?" gumamnya dengan suara parau dan gemetar juga masih dalam keadaan syok. Bagaimana dia tidak siap jika sebelumnya dokter bilang padanya matanya akan kenapa-napa tiga hari setelah perban dibuka. "Dokter itu bohong padaku." rutuknya sembari menggigit bibirnya yang bergetar dan kembali buliran air mata menetes meluncur melewati pipi dan bibirnya. "Seandainya aku tahu itu aku akan menunda kepulanganku satu atau dua hari jadi aku tak akan mengalami kebutaan seperti ini." Giselle kini justru menyalahkan dirinya sendiri dan menyesal kenapa buru-buru pulang. Namun sesal kini tak ada artinya baginya semuanya sudah terjadi dan penglihatannya tak akan kembali. "Nona apa anda sudah selesai makan malam ?" tanya seorang pelayan wanita memakai apron putih yang terikat di baju hitam polosnya. Wanita itu masuk ke kamar Giselle berniat untuk mengambil makan malam yang tadi ditaruhnya. Giselle tak merespon pertanyaan pelayan itu dan malah mengalihkan pandangan tak mau pelayan itu melihat dirinya menangis. "Astaga nona bahkan makan siangmu juga belum anda makan." pekik pelayan itu saat akan mengambil makan malam Giselle dan ada dua menu yang disajikannya untuk makan siang dan malam masih utuh tak tersentuh sama sekali. "Nona apa anda memerlukan bantuan ku ?" pelayan wanita itu duduk di tepi tempat tidur Giselle sambil mengambil menu makan malam. “Aku akan menyuapi anda jika berkenan." Pelayan tadi mengambil sesuap makanan bermaksud untuk menyuapi nona mudanya. "Pergi Miranda dari sini, pergi ! Aku tak mau makan !" bentak Giselle membuat pelangi itu sampai bergidik ngeri. Baru pertama kali ini Miranda melihat Nona mudanya meneriaki dirinya padahal sebelumnya Giselle sama sekali tak pernah berteriak pada siapapun di rumah ini. "Nona makanlah sesendok saja." "Tidak ! Bawa pergi makanan itu keluar dari sini. Cepat !" ucapnya masih membentak. "Ba-baik nona." jawabnya dengan terbata-bata dan ia pun keluar dari sana. Giselle mengetahui Miranda sudah pergi dari kamarnya dari suara pintu yang tertutup. Ia pun kembali menunduk dan hanyut dalam tangisannya. Di luar kamar, Irina berpapasan dengan Miranda. "Kenapa makanan itu masih utuh ?" tanya Irina berhenti di tengah jalan setelah melihat apa yang dibawa oleh pelayannya. "Nona Giselle tak mau memakannya, nyonya." "Apa ?" Irina terkejut. "Biar aku saja yang mencoba membujuknya." jawabnya lalu mengambil semangkuk makanan yang di bawa oleh Miranda. Sesampainya di depan kamar Giselle, Irina mencoba bicara baik-baik dengan putrinya itu. "Pergi ibu, aku tak lapar. Tolong bawa kembali makanan itu aku ingin tidur." ucap Giselle dari dalam dengan nada tinggi. Irina yang masih ada di depan pintu pun terpaksa berbalik dan membawa makanan itu kembali ke dapur karena tak ada gunanya memaksa putrinya itu. Di dapur wanita itu kembali berkaca-kaca matanya melihat kondisi mental Giselle seperti itu. "Ibu ?" Irina seketika mengangkat kepalanya menatap ke arah pintu di mana seseorang memanggilnya. "Gracia ? Kau dari mana saja ? Lalu kenapa ponselmu tak aktif ?" Irina berusaha tegar dan tenang di depan putrinya itu sembari mengusap air matanya. "Aku ada urusan dengan teman kantor, bu. Ya jangan hiraukan aku." jawabnya singkat. Ia pun kemudian menghampiri Ibunya dan duduk di kursi kayu di samping ibunya. "Kenapa ibu berada di sini malam-malam begini ?" Irina hanya menggelengkan kepalanya saja merespon pertanyaan putrinya itu. "Irina ini masalah pernikahan adikmu." tiba-tiba Irina teringat pada keputusan keluarga Luxio. "Kau harus menyelamatkan keluarga ini." Gracia tentu saja mengetahui hal itu karena sebelumnya Ansel sudah memberitahunya. jadi sedikit banyak dia mengetahui rencana itu. "Ada apa ibu ?" tanyanya dengan tenang pura-pura tidak mengetahui. "Gracia Hanya kaulah satu-satunya harapan dari keluarga ini." Irina memegang erat bahu Gracia. "Katakan dengan jelas ibu." desaknya lagi dengan menuntut. Irina kemudian memberitahukan keputusan dari keluarga Luxio tentang penggantian mempelai wanita yang dialihkan pada Gracia. "Apa ?!" pekik Gracia sekaligus menautkan kedua alisnya. "Aku tidak bisa ibu." tolaknya dengan tegas. Gracia sebenarnya hanya berakting saja dan ingin ibunya itu memohon pada dirinya sehingga dia akan dianggap sebagai seorang penolong dan juga penyelamat bagi keluarganya. "Tolong Gracia, ibu mohon." ucap Irina dengan tatapan memohon. Gracia tersenyum dalam hati meskipun menampilkan wajah menolak. Setelah beberapa kali Irina memohon padanya, akhirnya Gracia bersedia menuruti permintaan ibunya tersebut. "Terimakasih sayang." Irina langsung memeluk putrinya. Gracia tersenyum kecil balas memeluk ibunya tanpa sepengetahuan wanita itu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD