Eps. 8 Darah Giselle

1316 Words
Setelah Gracia menyetujui menjadi mempelai pengganti maka keesokan harinya Fernando segera mendiskusikannya kembali dengan keluarga James. Mereka bertiga ada di rumah Ansel sedang membahas masalah pernikahan Gracia dan Ansel tentunya. "Semoga saja kalian berdua akan cocok dan pernikahan kalian akan abadi." tutur Kate setelah satu jam lebih mereka berlima berdiskusi bersama. "Kurasa pembicaraan kita cukup sampai di sini dan kita tinggal tunggu hari-H saja." ucap Fernando tanpa basa-basi lagi karena pria itu harus kembali ke kantor setelah meluangkan beberapa jam waktu kerjanya. "Ya, aku juga sudah cukup membahasnya dan semuanya sudah ku sampaikan." balas James menanggapi. Maka keluarga Fernando pun segera berpamitan undur diri dari sana. "Dimana Gracia ?" gumam Fernando Saya sudah sampai di depan pintu rumah James dan baru menyadari jika putrinya itu tak ada bersamanya. "Dia masih ada di dalam kita sedang bicara dengan Ansel." balas Irina sambari menoleh ke belakang menatap ke arah ruang tamu bersamaan dengan Fernando yang ikut menatap ke sana. "Kau mau kemana ?" Irina menarik lengan suaminya tersebut saat pria itu akan berjalan masuk kembali ke rumah keluarga Luxio. "Tentu saja memanggil Gracia." "Ayolah Fernando, putri kita itu sudah dewasa. Tak perlu kita mengawasinya. Lagi pula berikan mereka private time untuk saling mengenal dan lebih dekat." bisiknya lirih di telinga suaminya. Irina bahkan sampai menariknya masuk ke mobil karena Fernando bersikeras untuk kembali. "Mereka butuh privasi agar lebih dekat." jelas wanita itu dalam mobil merah mereka. "Yah jika menurutmu itu baik." Fernando pun segera melanjutkan mobil menuju ke rumah untuk mengantarkan istrinya barulah dia kembali ke kantor. Di ruang tamu Ansel saat kedua orang tuanya sudah pergi dari rumah dan kembali ke kantor maka dia pun bisa bicara lebih leluasa dengan Gracia. Dan ya, saat ini mereka berdua ada di kamar Ansel. "Aku tak menyangka sama sekali akhirnya kita bisa menikah dari kejadian buruk ini. Mungkin saja jika aku tetap menikah dengan Giselle, aku akan tetap menjalin hubungan rahasia ini denganmu di belakangnya nanti." ucap Ansel memeluk Gracia yang sedang berdiri di dekat jendela kamarnya dan memeluknya dari belakang. "Aku sudah tak sabar menjadi istrimu rasanya." Gracia kemudian berbalik menghadap Ansel lalu mengalungkan kedua tangannya ke leher pria itu. "Dua hari lagi kita akan menikah, bersabarlah." Ansel kemudian menyentuh bibir tebal Gracia dan langsung saja pria itu mendaratkan ciuman di sana. Gracia kemudian menarik tirai jendela berwarna kelabu yang terbuka di belakangnya karena Ansel kini sudah mencium telinga dan lehernya. Beberapa saat kemudian mereka berdua sudah berpindah ke tempat tidur Ansel, melepas rindu mereka dengan saling memberikan kenikmatan satu sama lainnya. Sementara di rumah Hose. Giselle yang beberapa hari mengurung dirinya di kamar kini mulai merasa bosan. Ia mencoba keluar dari kamar dengan membayangkan jalan juga letak semua ruangan beserta isinya yang masih ia hafal dengan jelas. "Pintu keluar ada di sebelah utara sedangkan aku menghadap ke barat." gumamnya sembari duduk. Ya, kamar Giselle sebelumnya ditata menghadap ke arah barat jadi dia tahu betul di mana posisinya saat ini. "Jadi aku hanya perlu berjalan ke arah kiri." ucapnya lagi. Ia pun kemudian berdiri dan Melangkah dengan perlahan sambil mengeluarkan tangannya mengambil arah kiri untuk menuju ke pintu. "Hiss." baru berjalan tiga langkah saja dia harus meringis kesakitan karena terbentur alamari pakaiannya. Ia memegang kepalanya yang sakit sambil berjalan lagi dengan perlahan. Namun ia menjadi bingung setelah dirinya salah langkah padahal menurutnya sudah benar tepat menuju ke pintu. "Dimana pintu kamar ini ?" Giselle kembali berjalan ke arah kanan kemudian lurus namun ternyata ia membentur dinding. “Argh." rintihnya kembali merasakan sakit di kepala. Ia pun kembali berjalan kali ini dengan merapat ke dinding dan merentangkan tangan sembari menyentuhnya ke dinding, meraba mencari pintu. "Sial ! Ini bukan pintu tapi almari." gerutunya kesal masih juga belum menemukan pintu kamarnya. Memang di kamar Giselle ada tiga almari pakaian. Dua ada di sudut ruangan dan satu ada di dekat jendela. Giselle kembali berjalan dan ia tak menemukan pintu, malahan ia jatuh saat menyentuh sisi dinding lain setelah merabanya. "Astaga, jadi pintu kamarku terbuka ?" pekiknya kemudian berdiri. Beberapa waktu yang lalu Miranda lupa menutup pintu kamar Giselle setelah mengambil piring makan siangnya. Giselle kembali berjalan dengan pelan dan hati-hati namun setiap kali berjalan ia kembali membentur semua perabotan yang ada di sana. "Susah sekali menemukan kursi di rumahku sendiri." ucap Giselle tampak sedih. Kali ini dia menyerah untuk kembali berjalan dan hanya meringkuk di tempatnya saat ini karena takut jika berjalan akan membentur barang-barang lainnya lagi yang tidak ia ketahui. Tak terasa air mata menitik dari sudut matanya dalam keputus asaannya saat kegelapan tak hanya hadir di matanya namun juga hadir dalam pikirannya. "Aku haus." gumamnya beberapa saat setelah air matanya mengering dan menyentuh tenggorokannya yang terasa kering terbakar. Di meja ruang tengah tempatnya berada saat ini ada dispenser dan juga gelas di sana. Giselle mencoba berjalan menuju ke meja dengan meraba. Namun tak sengaja tangannya justru meninggal gelas yang ada di meja. prang Gelas kaca itu pecah dan tentu saja Giselle tak bisa melihat di mana pecahan biasa di berada. "Argh !" Giselle berteriak nyaring sekaligus menyayat hati saat kakinya menginjak pecahan gelas kaca. Sontak saja Miranda yang saat itu berada di ruangan sebelah Giselle berada segera berlari ke ruang tengah. "Astaga nona !" pekiknya saat melihat darah berceceran di lantai juga pada pecahan gelas kaca bening. "Nona biar ku bantu." ia membersihkan pecahan gelas tadi agar tidak mengenai Giselle juga membersihkan pecahan lembut dari kaki nona mudanya. "Kenapa nona tidak memanggilku saja jika ingin berjalan ?" Miranda terlihat gemetar karena takut nyonya akan marah padanya karena ia lalai menjaga nona Giselle. Giselle hanya menggelengkan kepala saja sambil menundukkan kepalanya ketika ia sudah duduk di kursi dengan bantuan Miranda. "Miranda, ada apa ini ?" ucap Irina yang baru masuk ke rumah dan mendapati lainnya itu membawa pecahan gelas kaca bercampur darah dalam sebuah kantung kertas yang akan di buangnya. “Ma-ma-maaf nyonya." jawabnya pengen gemetar sekaligus gugup. Irina pun segera beralih menataplah ke arah lainnya dan menemukan putrinya, Giselle yang duduk di sofa dengan menangis tanpa bersuara. "Astaga Giselle, ada apa denganmu, nak ?" Ia pun segera menghampiri putrinya dan duduk di sampingnya. Betapa terkejutnya dia saat melihat darah menetes dari telapak kaki kiri Giselle. "Sakit, bu." itu yang di ucapkan Giselle sembari mengusap air matanya. "Miranda !" bentaknya sampai pelayan yang tak berani beranjak dari tempatnya berada saat ini gemetar setengah mati. "Bagaima bisa nona bisa sampai terluka seperti ini ?" "Maaf nyonya, aku mengaku salah karena tak bisa menjaga anak-anak dengan baik." jawabnya dengan tertunduk tak berani menatap langsung ke mata majikannya itu. "Kau ini, cepat panggilkan dokter keluarga saja. Aku tak mau putriku terkena infeksi atau menderita sesuatu yang lebih parah lagi." Segera saja Miranda menelepon nomor dokter keluarga dan tak lama kemudian dokter Craig, Dokter keluarga Hose datang. Dia memeriksa dan membersihkan serta merawat luka di telapak kaki Giselle yang sudah dipindahkan ke ruangan. "Nyonya lukanya tidak dalam dan tidak serius. Dalam tiga hari lukanya akan kering." ucap dr. Craig yang membuat Irina juga Giselle merasa lega. Setelah kepergian dr. Craig tinggallah Giselle dan ibunya saja di sana. "Bu, bukankah dua hari lagi pernikahanku akan digelar ?" tanha Giselle tiba-tiba karena ia merasa beberapa hari ini tak ada yang membahas pria itu sama sekali di rumah. "Apa pernikahannya dibatalkan, bu ?" deg Irina bingung dan takut salah menjawab pertanyaan putrinya itu. Ia tak tahu akan menjelaskan yang sebenarnya atau harus menutupinya. "Giselle kami belum membahas perihal pernikahanmu itu. Nanti aku akan membahasnya dengan ayah mu." jawabnya dengan panik dan berkeringat dingin. Untung saja Giselle tak bisa melihatnya. Jika dia tidak buta sudah pasti dia akan ketahuan jika berbohong saat ini. "Sebaiknya kau istirahat dulu, jangan pikirkan hal lainnya dulu." Irina segera membantu Giselle berbaring dan tak lama setelahnya ia segera keluar dari kamar tersebut. "Aneh sekali...kenapa tak ada pemberitahuan apapun mengenai pernikahan ku ?" gumam Giselle sembari mengerutkan keningnya. Setahunya keluarga Luxio itu tipikal keluarga serius apalagi dengan masalah pernikahan tak mungkin mereka main-main dengan itu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD