Sore harinya barulah Gracia keluar dari kamar Ansel setelah ketiduran beberapa jam di sana bersama pria itu.
"Lalu bagaimana dengan Giselle nanti, apakah dia sudah tahu tentang penggantian mempelai wanita ?" tanya Ansel memeluk Gracia dari belakang di luar pintu kamarnya.
Gracia sempat menarik nafas panjang kemudian berbalik menatap Ansel sembari melepas tangan pria itu dari pinggangnya.
"Sejujurnya aku masih memikirkan hal itu juga. Bagaimana cara menyampaikannya dengan baik agar tak menyinggung perasaannya."
"Jelaskan saja sejujurnya pada dia. Cepat atau lambat nanti dia akan tahu juga jadi secepatnya beritahu dia agar tidak kaget nanti." balas Ansel tegas, lugas dan tepat sasaran. Ia tak suka menutupi atau menyimpan sesuatu terlalu lama, seperti itu tipikal nya.
Gracia tak langsung menjawabnya dan mempertimbangkan saran dari Ansel terlebih dulu.
"Kau usah bingung dengan hal itu. Nanti biar ku pikirkan sendiri." jawabnya singkat sembari mengusap d**a Ansel. "Sekarang aku harus pulang."
Gracia melangkahkan kakinya ke depan namun baru tiga langkah dia berbalik lagi dan baru tersadar jika mobil ayahnya sudah menghilang dari sana.
"Mereka sudah pulang duluan." ucapnya dengan mengangkat kedua bahunya.
"Oh tentu saja karena ini sudah sore. Tunggu dulu, aku akan mengantarmu." Ansel kembali masuk ke kamar untuk mengambil kunci mobilnya kemudian segera mengunci pintu kamarnya setelah keluar.
"Kita berangkat sekarang."
Ansel dan Gracia sudah duduk di mobil putih mengkilap dan maju di jalanan menuju ke rumah keluarga Hose.
"Maaf aku hanya mengantarmu sampai depan saja dan tak masuk ke rumah." ucap Ansel Setelah tiba dan berhenti di depan pagar rumah keluarga Hose.
"Ya, tak apa. Jika kau ikut masuk bersamaku akan bertambah rumit nanti."
Gracia mengecup bibir Ansel kemudian turun dari mobil. Segera setelah wanita itu berjalan masuk ke rumah, Ansel segera melajukan mobilnya dengan cepat karena ia tak ingin ada siapapun yang melihatnya ke sana.
Gracia berhenti di depan kamar Giselle yang terbuka.
"Ada apa disana ?" gumamnya saat melihat ada beberapa obat-obatan di meja adiknya itu.
Ia melangkah pelan sampai menuju ke depan pintu baru berhenti.
"Astaga apa dia terluka ?" batinnya saat melihat telapak kaki kiri Giselle yang di perban. "Bagaimana itu bisa terjadi ?" tentu saja itu ya ucapkan dalam hati karena tak mau sampai adiknya itu bangun.
Tac
Gracia berbalik dengan pelan dan melangkahkan kakinya.
"Ibu, kaukah itu ?" tiba-tiba Giselle duduk karena mendengar suara langkah kaki.
Ya, pendengarannya menjadi tajam setelah ia mengalami kebutaan dan suara sekecil apapun ia bisa mendengarnya dengan jelas.
Gracia tak menjawab karena pasti adiknya itu akan mengetahui jika itu dia nanti. Ia pun kembali melangkah.
tac-tac
"Suara heels tajam dan hentakan seperti itu adalah suara..." batin Giselle mencoba menebak setelah beberapa waktu yang lalu dia mengamati dan mendengarkan setiap cara berjalan semua penghuni rumahnya. "Gracia, apa itu kau ?"
Gracia segera menghentikan langkahnya dan berbalik. "Bagaimana bisa dia tahu jika ini adalah aku ?" batinnya ragu apakah terus melangkah atau kembali ke kamar adiknya.
"Gracia." panggilnya lagi sembari tersenyum kecil dan beralih duduk.
Karena sudah ketangkap basah maka ia pun tak bisa mengalah dan terpaksa berjalan masuk kembali ke kamar adiknya.
"Giselle kau bangun ? Kukira kau tidur dan aku tak mau mengganggu mu." ucapnya mencoba untuk tenang saat ia mulai berbohong.
Ia pun terpaksa duduk sebentar di tempat tidur adiknya itu.
"Ada apa dengan kakimu ?" tanyanya langsung.
"Ini..." Giselle menceritakan kejadiannya bagaimana ia bisa sampai terluka seperti itu.
Gracia sebenarnya merasa ibah pada kondisi adiknya itu, namun tak ada yang bisa dia lakukan.
"Sebaiknya lain kali jika berjalan kau panggil Miranda saja." timpalnya. Karena hanya itu saja yang bisa diucapkan saat ini.
"Gracia, dua hari lagi adalah hari pernikahanku tapi kenapa tak ada satupun orang yang membahas hal itu denganku ?" tanya Giselle tiba-tiba yang membuat Gracia terkejut.
Gracia terlihat panik apa yang ditakutkannya ditanyakan juga oleh adiknya. Ia diam untuk berpikir sebelum menjawabnya.
"Sepertinya pernikahanmu diundur sampai kondisimu stabil." jawabnya bohong.
Dia benar-benar tak tahu harus berkata apa daripada salah ucap maka dia pun bilang begitu.
"Tapi kenapa Ansel juga tidak memberitahu ku hal itu ?" tambahnya lagi merasa aneh, dan mungkin saja kakaknya itu mengetahui alasannya.
"Mungkin dia sibuk. Apa kau ingin bicara dengannya ? Aku akan meneleponnya ?"
Gracia langsung saja mengeluarkan ponselnya.
"Tidak-tidak. Tak perlu." tolaknya. Karena Giselle ingin pria itu di jalan secara langsung padanya atau menghubungi sendiri bukan melalui perantara seperti ini.
Mereka berdua kemudian mengobrol sebentar dan beberapa saat setelahnya Gracia berpamitan untuk kembali ke kamarnya saja dengan alasan baru pulang kerja dan ingin membersihkan dirinya.
Giselle percaya saja dengan kebohongan kakaknya itu.
"Kenapa Gracia juga tidak mengetahui perihal tentang pernikahan ku ? Miranda juga tidak mengetahui hal itu saat aku bertanya padanya. Bahkan ibu juga bilang sama seperti ini ucapkan oleh Gracia." gumamnya merasa aneh saja namun dia tak sampai berpikiran jauh ataupun curiga sama sekali.
Malam hari Fernando bicara empat mata dengan Irina setelah selesai makan malam di balkon rumah lantai dua.
Sengaja mereka bicara di sana agar tak ada yang mendengar pembicaraan mereka, terlebih Giselle yang ada di lantai 1.
"Aku sudah mengatakan pada Giselle jika pernikahannya diundur. Sungguh aku tak kuasa menyampaikan yang sebenarnya padanya." ucap Irina memulai pembicaraan terlebih dulu.
Mereka berdua duduk di kursi kayu menghadap ke jalanan dengan angin semilir berhembus
"Aku sebenarnya juga ingin mengatakan hal itu padamu kita jangan memberitahu yang sebenarnya daripada dia kecewa dan terluka." timpal Fernando tersenyum tipis ternyata istrinya sudah mengambil langkah yang benar tanpa komando darinya.
"Jadi beritahukan hal ini pada Gracia dan juga Miranda agar mereka menjawab seperti yang kita sebutkan." sambung Fernando sedikit tegang dan segera menenggak moccacino nya.
Ya, pria itu tak pernah mengosongkan jadwalnya untuk absen minum moccacino terlebih di saat banyak masalah yang mendera. Moccacino akan membuat syaraf di otaknya rileks dan tentu saja membawa ketenangan untuknya.
Irina pun sedikit bersantai bersama suaminya di sana menikmati semilir angin di tengah tegangnya suasana.
Sampai keesokan harinya setiap orang yang ada di rumah itu tak pernah membahas perihal pernikahan Giselle sampai dua hari kemudian sampai tepat di hari H pernikahan dilaksanakan.
Pagi itu semua orang di rumah terlihat sibuk. Meskipun tak bisa melihat namun Giselle bisa mendengar lalu lalang semua penghuni rumah itu yang terus bergerak setiap saat.
"Ada apa sebenarnya, kenapa mereka semua tampak sibuk ? Apakah hari ini hari spesial atau ada acara spesial ?" gumamnya.
Ia ingin bertanya kepada siapa saja yang lewat namun tak satupun dari mereka yang berhenti, termasuk Miranda yang biasa mengantarkan sarapan pagi.
"Miranda." panggilnya bukan ingin meminta sarapan pagi tapi ingin bertanya ada apa di rumahnya.
Namun sayang yang dipanggilnya tak muncul juga.
"Ibu." panggil Giselle saat mendengar suara langkah kaki ibunya yang melewati kamarnya.
Namun sama seperti sebelumnya wanita itu juga tidak berhenti, bahkan mungkin dia tak mendengarnya karena terlalu fokus dengan pakaian yang akan dikenakannya dan juga suaminya untuk acara pernikahan kali ini.
"Ada apa ini sebenarnya ?" tanya Giselle pada dirinya sendiri karena tak biasanya ibunya cuek pada dirinya seperti ini.