8

1186 Words
[GROUP CHAT KARYAWAN – Bagaskara Group] 📢 PENGUMUMAN RESMI 📢 Mulai hari ini, berdasarkan keputusan langsung dari CEO Jayanta Bhaskara, terjadi perubahan dalam susunan jabatan di perusahaan. — Diajeng Kaluna secara resmi ditunjuk sebagai Sekretaris CEO terhitung mulai hari ini. — Segala urusan yang berkaitan dengan CEO akan dikoordinasikan melalui sekretaris baru. Harap diperhatikan dan dijalankan dengan baik. Terima kasih. HRD Bagaskara Group --- Diajeng baru saja menyelesaikan laporan keuangan ketika suara Mita yang heboh tiba-tiba meledak di ruangan. “JENG! ASTAGA! LO LIHAT CHAT DI GROUP?!” Diajeng mengerutkan kening, alisnya bertaut. Belum sempat ia membuka ponselnya, Mita sudah merangsek ke meja dengan layar ponsel menghadap ke wajahnya. Dengan huruf kapital yang mencolok, pengumuman HRD itu terpampang jelas. Diajeng terdiam. Otaknya masih memproses isi pesan itu. “Apaan ini?” tanyanya, lebih ke dirinya sendiri. “Oh my God! Lo sekarang jadi sekretaris CEO?! CEO, Jeng! CEO!!” Mita masih setengah berteriak, ekspresinya campuran antara kaget dan kagum. Sementara itu, dari meja seberang, suara yang paling ingin dihindari Diajeng pun terdengar. “Tuh, kan! Dapat fasilitas spesial,” ujar Jesika dengan nada sinis khasnya. Diajeng menoleh dengan tatapan datar. “Ngomong sekali lagi, Jes, gue sumpel mulut lo pakai nota-nota tagihan.” Jesika mendengus, menyilangkan tangan di d**a. “Ngaku aja, Jeng. Lo tuh enak banget, tahu nggak? Kerja nggak perlu capek-capek, tahu-tahu dapet posisi sekretaris CEO.” “Sekretaris CEO bukan posisi strategis, Bambang! Itu kerjaannya nambah, bukan dikurangin!” sahut Mita, membela Diajeng. “Tetap aja, enak. Deket banget sama bos,” cibir Jesika, lalu matanya menyipit curiga. “Jangan-jangan lo ada ‘main’ sama Pak Bhaskara?” Diajeng nyaris tersedak ludahnya sendiri. “HEH?!” Radit, yang sejak tadi sibuk dengan dokumen di mejanya, kini menoleh. “Buset, gosip lo makin nggak masuk akal, Jes.” Jesika mendengus. “Ya siapa tahu? Tiba-tiba aja si Diajeng dipilih langsung jadi sekretaris CEO. Padahal kan yang lain juga banyak yang lebih berpengalaman.” Diajeng menarik napas panjang. Oke, sabar. Sabar. Dia tahu betul ini pasti ulah Bhaskara. Pria itu memang sudah mengungkit soal ini semalam, tapi dia tidak menyangka kalau keputusannya langsung diumumkan begitu saja. Tanpa aba-aba. Tanpa konfirmasi ke dirinya. Diajeng meraih ponselnya dengan rahang mengeras. Jarinya mengetik cepat. [PRIVATE CHAT – JAYANTA BHASKARA] Diajeng: Bhaskara. APA-APAAN INI? Diajeng: Gue baru tahu lo bisa seenaknya main mutasi karyawan tanpa konfirmasi sama orangnya dulu? Bhaskara: Kamu sekretaris saya mulai hari ini. Titik. Diajeng: Lo pikir ini lucu? Gue punya kerjaan sendiri, Bhas! Bhaskara: Sekarang kerjaan kamu adalah mengurus saya. Diajeng menatap layar ponselnya dengan ekspresi tak percaya. Jemarinya mengetik dengan geram. Diajeng: Lo CEO atau raja, sih?! Bhaskara: Keduanya. Diajeng hampir melempar ponsel ke meja. “Fix, gue harus ngebakar ruang kerja CEO,” gumamnya penuh emosi. Jesika masih saja dengan mulutnya yang tak ada rem. “Paling juga dia masuk lewat jalur ‘khusus’,” lanjutnya dengan nada meremehkan. Diajeng yang sudah berusaha sabar akhirnya bangkit dari kursinya dengan gerakan cepat. Kursi itu bergeser kasar, menciptakan suara berdecit yang membuat beberapa karyawan lain menoleh. “Jeng! Lo mau ke mana?” tanya Mita panik. “Ke atas,” jawab Diajeng singkat, suaranya dingin. Mata Radit membelalak. “Buset, jangan gegabah! Lo mau ngamuk di ruang CEO?” Diajeng tak menjawab. Kakinya melangkah cepat menuju lift dengan wajah penuh emosi. Mita dan Radit saling pandang, lalu buru-buru menyusul. “Wah, gawat ini,” gumam Radit. Mita menggigit bibirnya, merasa gelisah. Mereka tahu kalau Bhaskara Jayanta dikenal sebagai atasan yang dingin dan tegas. Kalau ada karyawan yang berani melawan perintahnya, tamat riwayatnya. “Gimana kalau Ajeng dipecat?” bisik Mita panik. Radit menelan ludah. “Ya, kalau nggak dipecat, minimal dimakan hidup-hidup.” Mereka berdua semakin mempercepat langkah, takut kalau sesuatu yang buruk akan terjadi. Padahal, mereka tak tahu kalau Diajeng bukan hanya sekadar karyawan biasa. Dia adalah istri bos mereka. Diajeng melangkah cepat, langsung menuju lift yang akan membawanya ke lantai eksekutif. Kepalanya dipenuhi amarah. Jesika boleh saja nyinyir sepuasnya, tapi Bhaskara? Pria itu yang membuat keputusan sepihak tanpa memberi tahu dirinya lebih dulu. Begitu lift terbuka, ia masuk dan menekan tombol lantai tertinggi. Mita dan Radit berlari di belakangnya, tapi pintu lift sudah tertutup sebelum mereka sempat menyusul. Radit mengusap wajahnya frustasi. "Udah, Mi, kita siapin surat duka cita aja buat Ajeng." Mita menepuk jidatnya. "Mampus, ini sih bakal perang dunia!" Sementara itu, di lantai eksekutif, Diajeng keluar dari lift dengan wajah yang masih dipenuhi emosi. Ia berjalan lurus ke arah ruangan CEO tanpa mempedulikan tatapan karyawan lain yang terkejut melihatnya. Begitu sampai di depan pintu kaca bertuliskan "Bhaskara Jayanta - Chief Executive Officer", tanpa ragu ia langsung membukanya tanpa mengetuk lebih dulu. Brak! Pintu terbuka dengan keras, membuat pria di dalam ruangan itu mengangkat kepalanya dari laptopnya. Bhaskara menatapnya dengan alis sedikit terangkat, seolah kehadiran Diajeng sama sekali tidak mengejutkannya. "Ada perlu apa, Diajeng?" tanyanya santai, seakan tidak terjadi apa-apa. Diajeng berjalan mendekat, tangannya mengepal di sisi tubuhnya. "Maksud lo apa mengumumkan gue sebagai sekretaris lo tanpa bilang dulu ke gue?" Bhaskara menyandarkan punggungnya ke kursi, menautkan jemarinya di atas meja dengan ekspresi tenang. Mata tajamnya menatap lurus ke arah Diajeng yang masih berdiri di depannya dengan d**a naik turun menahan amarah. "Bukannya sudah saya beri tahu semalam?" "Tapi lo nggak nanya pendapat gue!" suara Diajeng meninggi. Bhaskara menghela napas pendek, seolah kesabaran tipisnya sedang diuji. "Kamu pikir saya perlu izin untuk memindahkan seorang karyawan ke posisi yang lebih baik?" Bibirnya melengkung tipis, nada suaranya tajam. Diajeng mengepalkan tangannya lebih kuat. "Lo pikir gue bakal senang dapat posisi itu?" Bhaskara berdiri perlahan, langkahnya tenang saat ia mengitari meja kerjanya, mendekat ke arah Diajeng yang tetap berdiri tegak. "Jadi kamu lebih suka ada di lantai bawah, duduk bersebelahan dengan Jesika yang terus mengoceh?" tanyanya dengan nada menohok. "Atau mungkin... lebih suka bersama Radit dan Niel?" Diajeng seketika terdiam. Oh. Jadi ini bukan cuma tentang posisi kerjaan. Bhaskara tidak suka dirinya berada di dekat pria lain. Pria itu kini berdiri tepat di depannya, menatapnya dengan ekspresi gelap. Tangan besar Bhaskara terangkat, jemarinya menyusuri garis rahang Diajeng, perlahan turun ke lehernya, seolah ingin menegaskan sesuatu. "Jangan bilang kamu lebih nyaman bekerja dengan mereka dibandingkan dengan saya?" suaranya dalam, hampir seperti bisikan. Diajeng menepis tangannya dengan kesal. "Lo itu kenapa sih? Obsesi banget!" Bhaskara tidak menjawab. Tapi tangan kirinya kini bertumpu di meja, sementara tangan kanannya dengan santai menekan pinggang Diajeng, menariknya sedikit lebih dekat. Diajeng tersentak. "Kalau memang gue mau kerja sama Radit dan Niel, emangnya kenapa?" tantangnya, meskipun ia bisa merasakan napas Bhaskara yang kini sangat dekat dengannya. Rahang pria itu mengeras. Mata gelapnya berkedip sekali sebelum tiba-tiba jemarinya bergerak, menekan dagu Diajeng agar mendongak menatapnya. "Karena saya tidak suka," jawab Bhaskara datar, namun penuh ketegasan. Diajeng menahan napas. "Saya tidak suka kamu dekat dengan pria lain. Saya tidak suka kamu tersenyum pada mereka. Dan saya lebih tidak suka jika kamj berbagi perhatian yang seharusnya hanya untuk saya," lanjutnya, suaranya terdengar semakin rendah. Diajeng tertawa kecil, sinis. "Lo pikir lo siapa?" Bhaskara menunduk, memperpendek jarak di antara mereka, hingga Diajeng bisa merasakan hawa panas tubuh pria itu. "Saya suami kamu, Diajeng," bisiknya di telinganya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD