9

1227 Words
"Saya suami kamu, Diajeng," bisiknya di telinganya. Jantung Diajeng mencelos. Sial. Bahaya. Diajeng menegakkan bahunya, menatap Bhaskara tanpa gentar. "Suami?" Ia terkekeh sinis. "Itu cuma status, Bhaskara. Lo lupa? Lo sendiri yang bilang kan? Lo dan gue nggak lebih dari sekadar kesepakatan yang kebetulan dicatat oleh negara." Bhaskara tidak langsung merespons. Rahangnya mengeras, tatapannya semakin dalam. "Kesepakatan?" gumamnya, nyaris seperti geraman. Diajeng menyilangkan tangan di d**a. "Iya. Nggak lebih." Pria itu menarik napas pelan, seolah menahan sesuatu di dalam dirinya. "Jadi menurutmu semua ini cuma status? Semua yang terjadi di antara kita, tidak ada artinya?" Diajeng tersenyum tipis. "Nggak ada yang berubah, Bhaskara. Gue tetap gue, lo tetap lo. Lo nggak bisa tiba-tiba mengatur hidup gue hanya karena kita sekarang punya hubungan di atas kertas." Bhaskara menatapnya tajam, matanya gelap dan berbahaya. "Lucu sekali." "Apa yang lucu?" "Tidak ada yang berubah, katamu?" Bhaskara melangkah lebih dekat, membuat Diajeng refleks mundur, tapi meja di belakangnya menghalangi. "Kamu pikir saya akan membiarkan istriku duduk di lantai bawah, bekerja di samping pria-pria yang tidak tahu batas?" Diajeng mendengus. "Mereka itu teman gue! Bukan musuh!" "Teman?" Bhaskara mengangkat alisnya. "Radit yang selalu pasang badan buatmu? Niel yang suka iseng tapi jelas perhatian?" Diajeng menatap Bhaskara dengan tidak percaya. "Astaga, lo cemburu?" Bhaskara tidak menjawab. Tapi sorot matanya berbicara lebih banyak dari kata-kata. Diajeng tertawa kecil. "Serius, Bhaskara? Lo cemburu sama mereka?" Pria itu masih diam, tapi tangannya terangkat ke meja, mengetukkan jemarinya dengan ritme pelan, berbahaya. Seolah sedang menahan sesuatu. "Saya tidak suka mengulang kata-kata saya, Diajeng." Suaranya rendah, dalam, dan dingin. "Mulai hari ini, kamu bekerja sebagai sekretarisku. Itu bukan tawaran, bukan permintaan. Itu keputusan." Diajeng mengepalkan tangannya. "Dan kalau gue nolak?" Bhaskara menatapnya tanpa ekspresi. "Kamu tidak punya pilihan." Diajeng mendengus, napasnya berat. Ia ingin membantah, ingin melawan. Tapi tatapan Bhaskara begitu tajam, begitu dominan, membuatnya merasa seolah melawan tembok baja. "Keluar," suara Bhaskara akhirnya terdengar, rendah dan dingin. "Bereskan barang-barangmu. Saya ingin kamu pindah ke ruangan baru dalam satu jam." Diajeng tetap berdiri di tempatnya, matanya yang penuh amarah kini berkaca-kaca. Dadanya naik turun, napasnya berat menahan gejolak dalam dirinya. Namun, sebelum Bhaskara bisa berkata apa pun, Diajeng melangkah maju. Mengikis jarak di antara mereka. Hingga tidak ada jarak sama sekali. Bhaskara masih diam, tatapannya tetap dingin dan tanpa emosi. Tapi Diajeng bisa melihat sorot matanya yang gelap, sesuatu yang mengancam di dalamnya, seolah sedang menahan sesuatu. Dengan suara bergetar, Diajeng membuka mulutnya. "Lo sendiri yang bilang kalau semua ini cuma status." Bhaskara tetap diam. "Tapi kenapa, Bhas?" suara Diajeng sedikit meninggi. "Kenapa lo yang sekarang malah bertingkah seolah gue ini milik lo? Lo melakukan semua ini sesuka hati, tanpa pernah lo pikirin gimana perasaan gue!" Dada Bhaskara naik turun perlahan. Diajeng menggigit bibirnya, menahan emosi yang sudah memuncak. "Lo tahu apa yang lebih menyakitkan?" bisiknya, suaranya hampir pecah. "Lo menghancurkan hati gue, Bhas. Lo membongkar semua yang udah gue bangun, lo porak-porandakan semuanya tanpa peduli apa yang gue rasain." Bhaskara tetap membisu. Diajeng tertawa kecil, getir. Matanya menatap Bhaskara dengan penuh kebencian yang mendalam. "Dan ya, terima kasih." Ia menelan ludah, lalu menghembuskan napas berat. "Terima kasih udah ngancurin gue. Terima kasih udah bikin gue nyesel pernah jatuh cinta sama lo." Kali ini, sesuatu berubah dalam ekspresi Bhaskara. Sebuah kedipan yang tertahan. Sepercik emosi yang nyaris tidak terlihat. Tapi Diajeng tidak peduli lagi. Dengan langkah penuh amarah, ia mundur, lalu berbalik dan melangkah keluar. Pintu tertutup dengan keras di belakangnya, menyisakan Bhaskara yang masih berdiri di tempatnya. Diam. Tanpa ekspresi. Namun, jemarinya mengepal kuat di sisi tubuhnya. Bhaskara mengeram pelan, rahangnya mengeras saat matanya menatap kosong ke pintu yang baru saja dibanting oleh Diajeng. Ucapan wanita itu masih terngiang di kepalanya. "Gue nyesel pernah jatuh cinta sama lo." Sial. Bhaskara memejamkan matanya, kedua tangannya mengepal di sisi tubuhnya. Ada sesuatu yang terasa menyesakkan di dadanya, seperti bara yang kembali menyala di dalam dirinya. Diajeng bilang dia sudah menghancurkan hatinya? Lucu. Sangat lucu. Karena selama ini, Bhaskara selalu berpikir bahwa dirinya lah yang dihancurkan. Dia yang ditinggalkan. Dia yang dicampakkan. Ketika ia pergi ke Australia, saat semuanya terasa begitu sulit, ia berharap ada seseorang yang datang kepadanya. Seseorang yang menahannya, yang setidaknya menunjukkan bahwa dirinya masih diinginkan. Tapi Diajeng tidak pernah datang. Diajeng tidak pernah menemuinya. Diajeng bahkan tidak pernah mencoba. Dan itu menyakitkan. Lebih menyakitkan dari apa pun. Bhaskara menghembuskan napas panjang, membuka matanya yang kini berkilat dengan emosi yang lebih gelap. Jari-jarinya bergerak melepas dua kancing teratas kemejanya, mencoba meredakan panas di dadanya. Bangsat. Sampai hari ini, sampai detik ini, perasaan itu masih ada. Rasa yang seharusnya sudah mati, seharusnya sudah ia buang jauh-jauh, tetapi tetap bertahan. Mencengkeramnya erat, tidak peduli seberapa keras ia mencoba mengabaikannya. Tapi Bhaskara tidak akan membiarkan dirinya jatuh lagi. Tidak akan membiarkan dirinya terluka untuk kedua kalinya. Jika Diajeng berpikir bahwa dirinya adalah korban, maka wanita itu salah besar. Jika ada yang harus dihancurkan, maka bukan dirinya yang akan jatuh. Bhaskara mengepalkan tangannya lebih erat, rahangnya mengatup rapat. Ia akan membuat Diajeng jatuh. Dan ketika saatnya tiba, ia sendiri yang akan mencampakkan wanita itu. *** Diajeng melangkah cepat menuju mejanya, jari-jarinya yang gemetar mulai mengemasi barang-barangnya ke dalam tas. Kepalanya terasa panas, dadanya sesak, dan tangannya terasa dingin. Tapi dia tidak boleh menangis. Tidak di sini. Tidak di tempat ini. Sialan Bhaskara! Diajeng meremas erat sebuah buku catatan sebelum membantingnya ke dalam tas dengan kasar, mencoba melampiaskan amarah dan kepedihannya. Ia ingin marah, ingin berteriak, ingin memaki, tetapi yang bisa ia lakukan hanyalah menahan napas dalam-dalam dan terus bergerak. Dari sudut matanya, dia bisa melihat Mita, Radit, dan Niel yang sejak tadi memperhatikannya dengan ekspresi penuh tanya. Sejak pengumuman itu muncul di grup karyawan, mereka jelas penasaran. “Jeng, lo serius?” Mita akhirnya membuka suara, nada suaranya lebih kepada tidak percaya daripada bertanya. “Ya kali becanda.” Diajeng merespons ketus, tangannya masih sibuk memasukkan barang-barangnya. “Jadi lo beneran sekretarisnya CEO?” Radit menimpali, masih sulit mempercayai kenyataan ini. Niel menyilangkan tangan di d**a. “Dan lo nggak bilang apa-apa sebelumnya? Tiba-tiba langsung ada pengumuman?” Diajeng berhenti sejenak, mengangkat wajahnya menatap mereka satu per satu. “Gue juga baru tahu tadi,” katanya pelan, lalu mendengus kesal. “Gue aja nggak ditanya dulu. Tahu-tahu dipindah. Suka-sukanya dia aja.” Mita melongo. “Lah, terus lo nggak ada rencana nolak?” Diajeng menatapnya tajam. “Gimana caranya? Itu bukan tawaran, Mit. Itu perintah.” Mita, Radit, dan Niel saling berpandangan, menyadari sesuatu yang lebih besar di balik keputusan ini. “Gue tahu Bhaskara bisa segalak itu,” gumam Niel. “Tapi kenapa dia sampai maksa lo jadi sekretarisnya?” Radit menatap Diajeng curiga. “Jeng, lo punya hubungan apa, sih, sama Bhaskara?” Diajeng terdiam sesaat, tetapi kemudian mendengus, menutup tasnya dengan kasar. “Nggak ada.” Radit mendengus. “Masa sih? Lo kayaknya spesial banget di mata dia.” Mita mengangguk setuju. “Iya. Bahkan pas Jesika nyinyir aja lo nggak kelihatan terlalu ambil pusing. Berarti lo udah tahu dari awal, kan?” Diajeng hanya mendesah panjang. Ia terlalu lelah untuk menjelaskan apa pun. “Sumpah, gue nggak ngerti sama jalan pikiran bos kita,” keluh Niel, lalu menepuk bahu Diajeng. “Tapi, ya udah. Selamat menempati posisi baru, Madam Sekretaris CEO.” Diajeng mendelik tajam. “Bacot, Niel.” Lalu, tanpa menunggu reaksi lebih lanjut, ia langsung melangkah pergi, meninggalkan tiga temannya yang masih terbengong di belakang.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD