10

1597 Words
Diajeng menopang dagunya, menatap kosong ke meja barunya yang kini jauh lebih luas dan lebih rapi dibandingkan mejanya di lantai bawah. Semua barang miliknya sudah tersusun dengan baik, tapi perasaannya masih kacau. Dongkol. Kesal. Dan sedikit... entah. Ponselnya bergetar di atas meja, menampilkan sederet pesan dari grup Para Pencari Tuhan. Mita: Tetap semangat, Madam Sekretaris CEO! ✨ Radit: Kalau butuh tempat curhat, kita siap sedia, kok. Dengan syarat, traktir kopi. Niel: Jangan nangis ya, Jeng. Lo kan harus tetap elegan sebagai sekretaris. Harus strong! Harus independen! Harus— Mita: Udah, Niel. Lo juga kalau jadi Diajeng pasti udah ngamuk-ngamuk. Radit: Btw, buat ngerayain promosi mendadak ini, kita party, nggak? Diajeng tersenyum kecil membaca chat mereka. Jujur, ini pertama kalinya sejak pagi ini dia merasa agak tenang. Lalu, jemarinya mulai mengetik. Diajeng: Club. Nanti malam. Gue traktir. Balasan dari teman-temannya langsung muncul seketika. Mita: WOY SERIUSAN?! Radit: LOH??? Niel: Ya Allah, Jeng. Ada apa ini? Ini selebrasi atau pelampiasan? Diajeng belum sempat membalas ketika tiba-tiba suara rendah yang dingin terdengar di depannya. “Kalau kau punya waktu untuk main ponsel, lebih baik gunakan untuk bekerja.” Diajeng hampir saja menjatuhkan ponselnya. Sial. Dia baru sadar ada Bhaskara yang kini berdiri di depan mejanya. Tatapan pria itu sama dinginnya seperti biasa. Matanya gelap, ekspresinya datar, dan tangannya kini meletakkan setumpuk berkas di atas meja Diajeng. “Susun jadwal saya selama dua minggu ke depan. Dan pastikan tidak ada jadwal yang bertabrakan,” ucapnya singkat. Diajeng hanya menatap berkas-berkas itu tanpa menjawab. Rasanya ingin sekali membanting semuanya ke lantai dan pergi. Tapi dia tidak mungkin melakukan itu. Dengan gerakan malas, dia meraih berkas-berkas itu. "Baik, Pak CEO," balasnya dengan nada datar. Bhaskara tidak merespons, hanya menatapnya sejenak sebelum berbalik dan kembali ke ruangannya. Diajeng menggigit bibir, menahan segala emosi yang masih menggelegak dalam dirinya. Kenapa rasanya ingin menghantam kepala pria itu dengan map folder?! ** Bhaskara menyandarkan punggung ke kursi, matanya masih fokus pada layar ponsel saat sebuah pesan masuk. Bara: "Gue baru landing. Sore ini ke kantor, sekalian bawa kabar baik buat lo." Bhaskara mengangkat alis, jarinya langsung mengetik balasan. "Langsung ke ruangan gue." Dia baru saja hendak meletakkan ponselnya ketika notifikasi lain muncul. Kali ini, pesan dari Sambara lebih spesifik. "Lo bakal seneng denger ini. Perusahaan yang lo incar udah jatuh ke tangan Bagaskara Group." Sejenak, Bhaskara terdiam. Sudut bibirnya perlahan melengkung. Rasa puas merayap dalam dirinya. Satu lagi kemenangan. Satu lagi langkah maju untuk memperkuat Bagaskara Group. Tapi di saat yang sama, kesal itu masih ada. Kesal kepada satu wanita yang sejak tadi pagi sukses mengganggu pikirannya. Diajeng. Sialan. Bhaskara mengusap wajahnya, menghela napas panjang. Gue udah berusaha menahan diri. Udah berusaha untuk nggak terpengaruh. Tapi kenapa tiap lihat dia, tiap dengar suaranya, tiap lihat ekspresi keras kepalanya... gue makin kepengin— Bhaskara mendengus, mendongak menatap langit-langit ruangannya. Oke. Kalau memang harus seperti ini, biar gue yang nentuin permainannya. Diajeng nggak akan bisa lari. Bhaskara meletakkan ponselnya di meja, jemarinya mengetuk permukaan kayu dengan ritme teratur. Sambara Lakeswara. Adik angkatnya. Bocah tujuh tahun yang dulu kehilangan kedua orang tuanya dalam kecelakaan tragis. Bhaskara masih ingat hari ketika pertama kali bertemu Bara—anak kecil dengan mata tajam yang penuh kehati-hatian, seolah tidak percaya pada siapa pun di dunia ini. Saat itu, Papa dan Mama membawanya pulang, memperkenalkannya sebagai bagian dari keluarga mereka. Bhaskara yang saat itu masih berusia sebelas tahun hanya diam menatap anak itu. Sambara tidak menangis. Tidak merengek. Tidak bertanya-tanya kenapa dia dibawa ke rumah asing ini. Dia hanya berdiri dengan bahu tegap, menatap Bhaskara balik dengan sorot mata yang terlalu dewasa untuk anak seusianya. Dari situlah semuanya dimulai. Bhaskara tidak pernah menganggap Sambara sebagai orang asing. Mereka tumbuh bersama, saling memahami tanpa banyak bicara. Dan kini, bertahun-tahun kemudian, Sambara sudah bukan bocah tujuh tahun yang rapuh. Dia sudah menjadi pria dewasa, sama ambisiusnya, sama tajamnya. Sekarang, dia kembali dari Australia, membawa kabar kemenangan. Bhaskara menyandarkan tubuh ke kursi, menarik napas panjang. Gue harus mengakui, di antara semua orang, Sambara adalah satu-satunya yang gue percaya sepenuhnya. Dan kalau dia bilang perusahaan itu sekarang jatuh ke tangan Bagaskara Group... Bhaskara tersenyum tipis. Bagus. Satu langkah lebih dekat ke tujuan. Tapi untuk sekarang, ada satu hal lain yang lebih mendesak. Tatapannya kembali jatuh pada wanita yang duduk di seberang meja, yang masih sibuk dengan berkas-berkas yang tadi ia berikan. Diajeng. Bahkan setelah semua ini, wanita itu masih bisa mengalihkan pikirannya. *** Diajeng berdiri di depan cermin, menatap refleksinya dengan penuh kepuasan. Gaun hitam ketat tanpa lengan yang membungkus tubuhnya sempurna, menonjolkan setiap lekuk yang seharusnya. Belahan tinggi di bagian bawah memberikan kesan menggoda tanpa terkesan berlebihan. Rambut panjangnya ia biarkan tergerai dengan sedikit gelombang di ujungnya, sementara riasan smoky eyes mempertegas tatapan matanya yang penuh tantangan. Sepatu hak tinggi menambah kesan elegan sekaligus berbahaya. Seksi. Berkelas. Dan siap untuk menghilangkan segala kekesalannya malam ini. Diajeng meraih coat panjangnya, menutup tubuhnya sebelum keluar dari kamar. Meski ia tak peduli dengan pendapat orang lain, tetap saja tak ingin menimbulkan pertanyaan yang tidak perlu di rumah ini. Menuruni tangga, matanya sempat melirik ke sekitar. Tidak ada tanda-tanda Bhaskara. Entah pria itu di mana. Tidak peduli. Ia dan Bhaskara memang selalu menjalani hidup masing-masing, bahkan setelah lebih dari seminggu menikah. Pernikahan ini bukan atas dasar cinta, jadi buat apa ia harus memusingkan keberadaan lelaki itu? Saat langkahnya menuju pintu, Bu Tari, pengurus rumah tangga mereka, menyambutnya dengan tatapan penuh selidik. “Nona Diajeng, mau ke luar?” tanyanya lembut. Diajeng mengangguk, tersenyum tipis. “Iya, Bu Tari. Sekalian cari angin.” Bu Tari melirik ke luar, lalu kembali menatap Diajeng. “Tuan Bhaskara belum pulang, Nona. Dari tadi belum ada kabarnya juga.” Diajeng hanya mengangkat bahu. “Kalau begitu, tolong sampaikan saja kalau dia mencari saya bu.” Nada acuh tak acuh dalam suaranya jelas terdengar. Bu Tari tampak ragu, tapi akhirnya mengangguk. “Baik, Nona. Hati-hati di luar.” Diajeng tersenyum sekilas sebelum melangkah ke luar. Begitu berada di dalam mobil, ia melepas coat panjangnya, melemparkannya ke jok belakang. Saatnya bersenang-senang. Dengan tarikan gas yang stabil, Civic Turbo putihnya melaju membelah jalanan, menuju apartemen Mita sebelum ke tempat tujuan mereka malam ini—club yang akan menjadi pelariannya dari segala kekacauan yang mengisi pikirannya. *** Surabaya Timur – Inside the Club Lampu-lampu neon berkedip liar di setiap sudut ruangan, membias pada gelas-gelas cocktail yang berbaris rapi di atas meja bar. Dentuman musik EDM menggema, berpadu dengan suara tawa dan obrolan dari para pengunjung yang memadati lantai dansa. Di salah satu area VIP yang lebih tenang, Diajeng berjalan menghampiri meja yang sudah dipesan. Niel dan Radit sudah menunggu di sana, masing-masing dengan segelas minuman di tangan. Mita yang datang bersamanya langsung menjatuhkan diri ke sofa, melepas high heelsnya sesaat sebelum menyambar gelas koktail dari tangan Radit. “Gila! Nggak ngerti lagi deh sama kota ini,” Mita mendesah, lalu meneguk minumannya dalam satu tarikan napas. “Baru datang udah berisik,” cibir Radit. “Kita baru mulai, santai dikit napa.” Diajeng ikut duduk, menyilangkan kaki sambil menyandarkan punggungnya ke sofa. Ia menatap sekeliling, menikmati suasana, mencoba membuang jauh-jauh kejadian tadi siang di kantor. Namun, suasana nyaman itu tidak bertahan lama. “Eh, bukannya itu bos kita?” bisiknya pelan, menyikut lengan Niel. Niel yang awalnya santai langsung menoleh, lalu matanya membulat. “Anjir.” Radit, yang penasaran dengan reaksi mereka, ikut melirik. “Apa sih?” Diajeng ikut melirik ke arah yang sama, dan detik itu juga, senyumnya lenyap. Di salah satu meja yang tak jauh dari mereka, duduk tiga pria dengan beberapa wanita yang menempel manja di sisi mereka. Dua pria asing, dan satu pria yang mereka kenal dengan sangat baik. Bhaskara. Tangan Diajeng di bawah meja mengepal erat, rahangnya mengeras saat melihat pemandangan itu. Mata Diajeng refleks menajam, mengawasi pria itu yang masih dengan ekspresi datarnya, mengabaikan wanita di sampingnya yang berbicara sesuatu di telinganya. Bhaskara tidak menolak, hanya mengangguk kecil sebelum mengambil gelasnya. Brengsek. Diajeng menggertakkan giginya, tangannya mencengkeram gelas dengan kuat. Kalau dia ingin mencari pelampiasan malam ini, kenapa malah menemukan fakta menjijikkan? Satu lagi yang Diajeng kenal. Bara. Adik angkat Bhaskara. Bara duduk dengan santai, satu lengannya terkalung di bahu wanita bergaun merah yang tertawa sambil menyandarkan kepalanya ke d**a pria itu. Sementara itu, dua pria lainnya juga asyik berbicara dan tertawa, dengan masing-masing wanita di samping mereka. Sementara itu, Mita yang baru saja melihat ke arah meja itu mendadak menegang. Niel menyeringai kecil. “gila bos kita mainnya jauh brey.” Radit memperhatikan, lalu mengernyit. “Oh, Pak Bhaskara? Ya ampun, Mita, lo ngomong kayak liat seleb aja.” Mita mengabaikan ledekan Radit, masih menatap ke arah pria itu. “Gue kira dia nggak tipe yang suka main ke tempat begini.” Radit tertawa lebih keras. “Serius? Bos gitu, Mit. Duitnya ngalir terus. Mau yang lebih eksklusif dari club ini juga bisa.” Niel ikut menimpali, “Gue kira dia bakal sama cewek high class gitu, sih. Tapi kok…” Ia mengangguk ke arah wanita di samping Bhaskara. “Yang itu kayaknya model biasa aja.” Mita mengangguk setuju. “Bener juga.” Diajeng mendengarkan percakapan itu dalam diam, emosinya makin menggumpal. Inikah teman lamanya? Inikah lelaki yang dulu dia cintai? Ah, bahkan sampai sekarang? Giginya bergemeletuk menahan marah. Rasanya ingin melempar sesuatu ke arah pria itu. Tapi ia masih sadar ada rahasia yang harus ia simpan. Tanpa pikir panjang, Diajeng merogoh ponselnya dan mengetik pesan dengan penuh emosi. > Wah, cepat banget dapet hiburan. Pantas nggak pulang-pulang. Nikmatin aja, toh kita cuma status, kan? Pesan itu dikirim. Tapi, tentu saja Bhaskara tidak melihatnya. Karena lelaki itu sedang sibuk menikmati dunianya sendiri.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD